Bisakah Lirik Lagu jadi Sumber Sejarah?
Di antara ribuan karya yang lahir dari komponis Indonesia terdapat lagu-lagu yang menggambarkan realitas masa lalu yang memungkinkan untuk dijadikan sumber sejarah.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
28 Desember 2023
BandungBergerak.id – Melalui esai berjudul Hari Ini Kita Bicara Sejarah dan Pansos, Eka Kurniawan mengingatkan publik bahwa "belajar sejarah adalah mengetahui bahwa dunia dan manusia berubah". Ada yang menggerakkan perubahan tersebut. Ada sebab dan akibatnya. Dan itu semua terjadi di berbagai jenis sejarah lain.
Sejarah filsafat memberi pelajaran hari ini bahwa Aristoteles mencoba cara melihat dunia dengan kerangka berbeda dari Plato; Marx berupaya menggenapi kekurangan Hegel dan Feuerbach. Sejarah sastra memperlihatkan bahwa Chairil Anwar mengharapkan ekspresi puitik yang lebih segar dari Amir Hamzah.
Barangkali hal semacam itu pula yang menjadi alasan utama komunitas Sintas (Sejarah Lintas Batas) mengadakan diskusi edisi Ngabuburit, Jumat 8 April 2022. Topik diskusi itu mengangkat tema Lirik Lagu Sebagai Sumber Sejarah. Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, Prof. Dr. Purnawan Basundoro, didapuk sebagai pembicara.
Jalannya diskusi berlangsung menarik. Ia menjadi penanda bahwa perubahan dalam hal kelengkapan metode sejarah juga niscaya. Terlebih selama ini mayoritas publik memahami jika sumber yang memadai bagi sejarah hanyalah yang bersifat resmi. Seperti misal arsip, surat kabar, dan hal lain semacamnya.
Padahal, menurut Purnawan Basundoro, ilmu sejarah merupakan sesuatu yang longgar ---dalam hal ini, merujuk pada sumber-sumber yang bisa digunakan. "Asalkan sumber yang disebut mengacu pada peristiwa yang sedang diteliti, maka itu boleh digunakan," katanya, sebagaimana dikutip dari Kanal YouTube PARTIHISTORI, Rabu 13 Desember 2023.
Ia lantas mengacu pada apa yang telah dilakukan Sarah Barber. Seorang ilmuwan yang menulis buku berjudul History Beyond the Text; sebuah kumpulan esai yang berupaya menjelaskan soal mengapa, kapan dan bagaimana sumber-sumber alternatif ---dalam konteks diskusi ini, bebunyian--- yang dapat digunakan.
Dalam penjelasannya ---merujuk Sarah Barber dan Corinna Peniston-Bird, seorang dosen di University of Lancaster, Inggris--- dikatakan bahwa pemanfaatan sumber alternatif yang tersedia bisa pula yang berkaitan dengan fotografi, film, musik, kartun, dan lanskap budaya.
Usai memperkenalkan sumber yang mungkin bisa digunakan kepada peserta, ia juga menyodorkan sejumlah pertanyaan metodologis (juga teoritis) yang harus diingat ketika menggunakannya. Selain itu, juga memberikan contoh kasus untuk memperkuat analisis dan penafsiran.
Ini merupakan suatu langkah brilian dari sejarawan yang kian memandang lebih jauh dari perangkat "resmi" mereka, dan berupaya untuk memperkaya khazanah dengan sumber alternatif ---sebagaimana disebut di muka--- untuk menyajikan suatu karya.
"Tinggal kita, sebagai sejarawan, mampu atau tidak memanfaatkan sumber-sumber tersebut untuk mendukung narasi masa lalu," ujar Purnawan Basundoro.
Baca Juga: Kecamatan Kiaracondong: Perang Buruh Kereta dan Lagu Leo Kristi
Lirik Lagu Malaria Harry Roesli, Musik Protes yang masih Relevan
Menelusuri Aman Pertama dalam Novel Langit Magenta dan Lagu SoulM
Serupa Karya Sastra
Kita tahu bahwa di antara ribuan karya —yang lahir dari komponis Indonesia— terdapat lagu-lagu yang menggambarkan realitas masa lalu. Inilah yang memungkinkan untuk dijadikan sumber sejarah.
Menurut Purnawan Basundoro, lagu secara umum tidak bisa lahir dari ruang kosong, bahkan terdapat lagu yang sengaja dicipta untuk "menceritakan" sebuah peristiwa. Ia nyaris serupa dengan karya sastra.
“Atas dasar itu, untuk menganalisis sebuah lagu, sejarawan harus memposisikan sebuah teks sejajar dengan karya sastra,” kata Purnawan Basundoro. “Sebab teori sastra mampu menjelaskan lebih detil mengenai hubungan antara teks dan realitas.”
Mula-mula beberapa karya-karya sastra dinilai semata karya imajinatif dan fiktif. Ahli teori sastra, Rene Wellek dan Austin Warren, penuh keyakinan mengamini hal tersebut. Ia berkata, bahwa acuan karya sastra bukanlah dunia nyata, melainkan dunia fiksi. Dan karya sastra dipahami sebagai hasil proses kreatif; merupakan hasil ciptaan pengarang.
Namun seiring waktu berjalan, karya sastra rupanya tidak bisa dianggap semata-mata karya fiktif; atau tidak memiliki referensi dalam kenyataan sosial. Walau pun kadang realitas itu diolah sedemikian rupa secara Imajinatif oleh si pengarang ---sebagaimana kelak bisa diketahui dari Cantik itu Luka, karya Eka Kurniawan.
Hal itu dilontarkan oleh Paul Ricoeur yang lebih lanjut mengatakan bahwa kenyataan sosial akan turut membentuk kesadaran mengenai diri si pengarang. Sejalan dengan pendapat demikian, seorang sejarawan ---sekaligus sastrawan--- Kuntowijoyo berpendapat bahwa, walau pun, karya sastra bersifat fiktif, namun ia tidak dianggap bertentangan dengan kenyataan sosial.
Karya sastra, menurutnya, adalah karya imajinatif yang mampu menangkap bangunan sosial yang berada di luar kekaryaan tersebut. Ini disampaikan di dalam salah satu karya tulis beliau yang berjudul Budaya dan Masyarakat ---dan terbit tahun 80an. Karenanya, tidak heran jika banyak karya beliau yang mengacu pada realitas, seperti misal novel yang berjudul Pasar. Sebab apa yang ditulisnya nyaris mirip dengan kehidupan harian yang terjadi di pasar era 80an.
Kuntowijoyo bahkan menekankan bahwa beberapa aspek realitas historis itu banyak pula yang menggambarkan realitas sosial masa lalu, maka jangan heran jika banyak dijadikan latar belakang penulisan karya sastra. Dan karenanya, lahir dengan apa yang dikenal sebagai novel sejarah atau novel sosial.
Kita tahu, ada beberapa karya jempolan yang lahir dengan latar belakang sejarah. Ada buku-buku Pramoedya Ananta Toer, Eka Kurniawan. Atau dalam konteks lokal, kita bisa membaca novel Melukis Jalan Astana karya editor Bandungbergerak.ID ---Iman Herdiana. Pertanyaan selanjutnya, lirik lagu macam apa yang bisa memenuhi kriteria?
Tidak banyak memang lirik lagu yang memiliki latar belakang kenyataan. Jika dibanding dengan lagu yang murni imajinatif pengarang, rasanya hanya secuil. Namun, tentu bukannya berarti sama sekali tidak ada. Dan lagu yang mengacu pada kenyataan sosial itu, menurut Purnawan Basundoro, umumnya dikategorikan sebagai lagu Balada.
Dalam penelusuran, lagu Balada merupakan sebuah karya yang berbentuk narasi, yang liriknya mengacu pada peristiwa sehari-hari, yang sesungguhnya (dan/atau pernah terjadi). Seperti misal yang kerap dinyanyikan Meriam Bellina atau Rinto Haraphap. Atau Mukti-Mukti (almarhum) jika di Bandung.
Dengan pengertian, lagu semacam itulah yang biasa merekam peristiwa di tengah masyarakat dan kemudian menjadi perhatian publik. Sehingga dengan lirik lagu itulah mampu memperkuat narasi-narasi yang ditulis sejarawan.
Lagu balada sendiri sebetulnya memiliki akar yang cukup panjang. Bisa ditelusuri sejak abad pertengahan, saat itu muncul syair-syair semacam balada. Tetapi tampaknya, syair-syair tersebut baru dijadikan lagu sekitar abad-19.
Ciri umum lagu balada juga persis sebuah cerita. Atau dengan kata lain, itu merupakan sebuah cerita yang dilagukan. Tidak heran jika kemudian lagu-lagu balada itu sangat dekat dengan kenyataan yang sesungguhnya. Lirik lagu-lagu balada inilah yang, menurut Purnawan Basundoro, paling memungkinkan untuk dijadikan sumber sejarah karena mengacu pada waktu (dan lokasi) tertentu.
Dalam konteks Indonesia, misalnya, cukup banyak pemusik balada. Di antaranya ada Franky dan Jane, Ebiet G Ade, Ully Sigar Rusady, Rita Rubby Harland. Bahkan Benyamin S (yang lebih dikenal sebagai pelawak), Iwan Fals, Meggy Z, dan Roma Irama bisa masuk kategori ini. Yang selanjutnya layak diajukan menjadi sebuah pertanyaan, apa implikasinya?
"Realitas orang kecil zaman dulu agak jarang dikaji oleh para sejarawan," tulis Purnawan Basundoro, dalam buku Merebut Ruang Kota; Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an (2013, hlm. 17). Sejak Sartono Kartodirdjo melahirkan studi kritis ihwal Pemberontakan Petani Banten 1888, perhatian sejarawan masih tertuju pada kelompok kelas bawah di pedesaan.
Menurut Purnawan Basundoro, pada konteks ini, kota merupakan cakupan yang seakan-akan terlupakan. Padahal, jika merujuk Kuntowijoyo, sejak awal abad ke-20 kota-kota di Indonesia telah beranjak menjadi kekuatan sejarah tersendiri yang juga turut andil dalam menggerakkan sejarah Indonesia. Salah satu kelompok masyarakat kota yang menjadi penggerak sejarah adalah rakyat miskin perkotaan.
Mereka memiliki peranan penting. Tetapi kerap dianggap tidak bermanfaat; dinilai tidak berguna. Itu yang membuat orang kecil sulit masuk ke panggung sejarah. Sebab kerap dianggap tidak memiliki peran signifikan dalam perubahan. Itu pula yang sekaligus menjawab keresahan Sartono Kartodirdjo bahwa penulisan sejarah periode awal lebih menekankan aspek-aspek politis dengan menonjolkan peran elit yang berlebihan. Seolah-olah penentu jalannya sejarah adalah The Rulling Class dengan mengabaikan peran-peran masyarakat bawah.
Di tengah kemajuan teknologi informasi seperti sekarang, orang kecil juga sepertinya masih jarang diberi panggung yang cukup. Dengan demikian, kisah dan sumber sejarah mengenai mereka tidak memungkinkan; pemberitaan tentang mereka juga kerap tidak proporsional. Bahkan ada yang memiliki kecenderungan untuk menjelek-jelekkan. Padahal, Amarzan Loebis —mantan jurnalis Tempo, sekaligus, seniman Lekra----- pernah berkata, bahwa "berita adalah sejarah yang tulis hari ini".
Yang menarik, ada beberapa pencipta lagu yang memberikan porsi lebih pada orang-orang kecil. Lagu-lagu itulah yang bisa dijadikan sumber alternatif ketika sejarawan hendak menulis sejarah orang kecil, khususnya dalam konteks perkotaan.
"Beberapa lagu Ebiet G Ade, misalnya, mengangkat realitas pengemis (Nasihat pengemis untuk Istri), residivis (orang-orang terkucil), atau tukang sapu (Cinta Suminah dan Tukang Sapu). Atau juga misalnya, lagu judi dan gelandangan dari Roma Irama," kata Purnawan Basundoro.
Ia menambahkan, ada juga kisah seorang tukang becak, yang menjadi subjek utama beberapa lagu di Indonesia. Ibu Sud, Ebiet G Ade, dan Benyamin Sueb pernah membuat lagu tentang mereka. Ibu Sud, pertama-tama, menempatkan becak sebagai kendaraan nyaman untuk berkeliling kota di masa lampau.
Selanjutnya, Benyamin Sueb menceritakan tentang solidaritas sosial, asal tukang becak di Jakarta, serta derita tukang becak yang lagu berjudul Tukang Becak 1. Lagu tersebut menceritakan seorang bernama Bang Samiun yang melawan ketika becaknya ditabrak orang.
Ia lantas mengumpulkan teman-temannya untuk memberi perhitungan. Jika merujuk pada temuan aktual sejarawan, ini memang merupakan sebuah kenyataan sosial. Di sana disebutkan bahwa satu-satunya kekuatan yang dimiliki tukang becak ketika menghadapi tekanan adalah solidaritas.
Sementara Ebiet G Ade menceritakan penderitaan tukang becak di tengah aturan pelarangan becak di Jakarta (dengan judul Opera Tukang Becak). Ini juga merupakan kenyataan sosial. Kala itu, pada akhir 70an, dan menjelang masa jabatan Ali Sadikin usai, otoritas Jakarta merancang kebijakan yang merugikan tukang becak. Kelak, Pangkopkamtib -yang saat itu dipimpin Sudomo- melanjutkan kebijakan tersebut secara lebih meluas.
Demikianlah implikasi penting lirik lagu bagi penulisan sejarah orang kecil. Barangkali bisa digunakan untuk sekadar melengkapi sejarah transportasi era 1930-1980. Sekurang-kurangnya, dapat memperkuat pemahaman umat manusia di masa depan bahwa pernah ada kendaraan umum yang namanya becak.
Sejarah Kecelakaan
Satu hal menarik lainnya, dalam beberapa lagu, terdapat lirik yang merekam peristiwa kecelakaan. Ia pernah dijadikan lagu oleh Iwan Fals dan Ebiet G Ade. Sebagian mungkin tahu, bahwa Iwan Fals menulis lagu berjudul 1910 untuk menceritakan kecelakaan kereta api di Bintaro tahun 1987. Selain itu, ia menulis lagu Celoteh Camar Tolol dan Cemar dalam mengisahkan tenggelamnya kapal Tampomas II.
Sementara Ebiet G Ade menulis lagu yang berjudul Sebuah Tragedi 1981 untuk menceritakan tenggelamnya Kapal Tampomas II pada tanggal 27 Januari 1981. Tetapi, secara isi, ada sedikit perbedaan. Jika Iwan Fals lebih menyoroti kasus ini secara umum yang tak pernah diungkap secara jernih, maka Ebiet G Ade menceritakan khusus seorang Nakhoda yang bernama Pak Ahmad Rivai.
Beliau dinilai Ebiet G Ade sebagai sosok yang hebat. Sebab, di saat darurat masih memikirkan keselamatan orang banyak. Ia juga terlihat masih memberi pelampung pada sejumlah penumpang, hingga akhirnya tenggelam bersama Kapal Tampomas II.
Selain daripada itu, sebetulnya beberapa peneliti luar sudah banyak yang turut memanfaatkan lirik lagu sebagai sumber sejarah. Kelak, mereka diketahui mengacu pada tembang-tembang Jawa. Sebagaimana pernah dilakukan M.C Ricklefs; Ia yang dalam penelitiannya banyak menggunakan tembang.
Dan pada akhirnya, semua itu bermuara pada sebuah konvensi bahwa lirik lagu terbukti mampu menambah kekayaan perspektif yang dimiliki sejarawan. Sebab ia dibantu kerja para seniman yang acapkali mengandalkan perasaan.
* Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan Yogi Esa Sukma Nugraha atau tulisan-tulisan lain tentang sejarah.