• Kolom
  • CERITA GURU: Profesi yang Tidak Boleh Dibayar Murah Hanya karena Disebut Pengabdian

CERITA GURU: Profesi yang Tidak Boleh Dibayar Murah Hanya karena Disebut Pengabdian

Kita butuh sistem yang adil di mana guru diperlakukan sebagaimana mestinya, dibayar dengan layak, dilatih secara profesional, dan diberikan ruang untuk berkembang.

Ibram Ibrahim

Penulis dan guru muda. Dapat dihubungi di Instagram @Ibrmmu

Ilustrasi guru. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

6 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Jadi, sampai kapan guru hidup di persimpangan antara mengabdi dan bekerja?

Pertanyaan seperti ini sering muncul dalam drama dan diskusi pendidikan, yang menyakitkan adalah bukan karena pertanyaannya, melainkan karena jawabannya, sebab jawaban yang menjadi favorit masyarakat adalah: guru itu hidup di pengabdian. Guru diromantisasi sebagai sosok penuh keikhlasan, pahlawan tanpa tanda jasa, pejuang sunyi yang bekerja tanpa mengeluh. Tapi di balik semua itu, ada sisi yang tak boleh diabaikan: guru juga pekerja profesional.

Dengan kesadaran penuh, saya tidak dapat menolak bahwa profesi guru adalah profesi yang penuh dengan semangat pengabdian. Saya rasa hampir sebagian besar guru tetap mengajar meski gajinya kecil, mengurus siswanya di luar jam sekolah, bahkan tak sedikit yang mendampingi keluarga siswa dalam masalah sosial. Tetapi, jika guru terus-terusan diklasifikasikan sebagai pengabdian, maka ketidakdilan struktural adalah hal yang pasti terjadi.

Di Negara kita yang batu dan tongkat saja bisa jadi tanaman ini, ternyata masih banyak guru yang digaji jauh di bawah upah layak. Tak sedikit guru honorer yang masih menerima bayaran tidak sampai Rp 500.000 per bulan. Yang membuat hal ini lucu adalah, Ketika para guru ini bersuara, mereka akan dituding dengan makian seperti “guru kok tidak Ikhlas”, “kurang dedikasi”, atau malah “jadi guru hanya cari uang”. Dapat saya pastikan, bahwa ini adalah jebakan moral yang menyakitkan bagi para guru muda di Indonesia –guru dituntut bekerja secara profesional, tapi dibayar seperti relawan.

Padahal dalam teori keislaman saja, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang artinya kurang lebih adalah, “Bayarlah upah mereka sebelum keringatnya kering.” Guru itu keringatnya sudah bukan kering lagi, tapi sudah berkarak, tapi masih kadang telat bayarnya dan lain sebagainya. Dalam beberapa teori barat pun seperti itu, Marx pun berpikir demikian, bahwa pekerja harus mendapatkan hak yang layak. Jadi mau dipandang dari segi apa pun, saya rasa guru harus diberikan penghargaan yang layak.

Baca Juga: CERITA GURU: Menggambar Sejarah
CERITA GURU: Tantangan Meningkatkan Mental Belajar Siswa
CERITA GURU: Dari Rak Kosong hingga Mimpi Literasi, Dilema Pengadaan Buku di Sekolah

Guru adalah Pekerjaan Profesional

Dengan hati yang mantap dan penuh keyakinan, saya sering berujar bahwa, guru itu adalah pekerjaan profesional, bagaimana tidak. Pertama, guru itu digaji oleh negara jika PNS atau digaji oleh swasta. Kedua, guru sudah jelas memiliki jam kerja, beban administrasi, dan target kinerja. Ketiga, harus menjalani Pendidikan profesi, sertifikasi, juga mendapatkan evaluasi per tahun. Keempat, guru itu terikat pada aturan ketenagakerjaan, seperti cuti, tunjangan hingga pensiun. Oleh karena itu, guru sebagai pekerja berarti sah-sah saja menuntut upah yang layak. Malah wajib menuntut upah yang layak.

Guru itu wajib punya serikat, sama halnya seperti buruh, karena guru adalah pekerjaan profesional juga sama seperti buruh. Serikat guru yang ada di Indonesia adalah PGRI, namun bukannya menyuarakan suara guru yang terimpit, malah menjadi alat bagi oligarki dan pemerintah. PGRI adalah satu-satunya wadah guru yang paling besar yang ada di Indonesia, PGRI hadir pada jaman orde baru, kemudian mengalami kooptasi sebagaimana wadah-wadah serikat yang lainnya, PGRI dijadikan alat negara dan tidak boleh berurusan dengan politik dan lainnya. Menurutku, ini masih terjadi sampai sekarang, karena PGRI merupakan warisan orde baru. Ciri-ciri oligarki dalam tubuh PGRI itu sendiri adalah elite yang langgeng, kepengurusan yang dikuasai oleh orang itu-itu saja dan lainnya, dekat dengan pemerintah dan juga jauh dari Gerakan akar rumput.

Jika terus-terusan begini, lantas ke mana lagi para guru muda mencari perlindungan dan advokasi untuk pemenuhan hak-haknya sebagai pekerja profesional, belum lagi budaya ruang guru yang sering kali disebut banyak unsur senioritas dan lain sebagainya. Hal ini tentu saja memunculkan semangat yang menurun bagi seorang guru muda, sudah tidak digaji dengan layak, ditambah dengan banyaknya perlakuan tidak menyenangkan dari guru yang katanya lebih senior itu. Gaji yang tak seberapa itu pun akhirnya harus dipakai untuk ke psikiater, hahaha.

Pengabdian adalah Semangat

Di awal saya sempat menyinggung bahwa guru memang pekerjaan yang syarat dengan semangat pengabdian, di sini saya katakan sebagai semangat, bukan pengabdian. Karena ada hal yang berbeda jika guru terus menerus dianggap mengabdi. Memang guru itu harus bekerja dengan ikhlas, tapi kalau begitu narasi yang dibangunnya, saya rasa tukang becak dan tukang gali kubur juga harus mendapatkan tuntutan yang sama, yaitu bekerjalah dengan Ikhlas. Karena guru dan mereka itu sama, sama-sama pekerja.

Adapun hal-hal yang menurutku layak disebut sebagai pengabadian dalam profesi guru hanyalah ketika, guru tetap mengajar meskipun murid tidak sopan dan guru melihat anak didiknya berhasil  dan merasa “cukup bahagia” dengan hal itu. Jika guru bekerja lebih dari kontrak yang telah ditetapkan, menurutku itu agak berlebihan saja. Tapi tidak salah, mungkin beban moral dan empati menjadi dalih ketika ada guru yang seperti itu, tapi bukan untuk dieksploitasi dan dimanfaatkan.

Hal-hal seperti ini sangat penting untuk disadari bersama, sebab pendidikan adalah fondasi dari peradaban itu sendiri, dan untuk membangun peradaban, kita tak boleh hanya berharap pada keikhlasan yang dieksploitasi, kita butuh sistem yang adil, di mana guru bisa diperlakukan sebagaimana mestinya, dibayar dengan layak, dilatih secara profesional dan diberikan ruang untuk berkembang.

Pengabdian yang tulus tidak akan pernah lahir dari tekanan ataupun kemiskinan, ia harus tumbuh dari rasa dihargai, didukung dan diberi kepercayaan. Maka menjadi guru adalah pekerjaan yang penuh dengan semangat mengabdi, (pengabdian yang tidak boleh bertentangan dengan hak-hak profesional). Justru Ketika guru dipenuhi haknya, ia akan bekerja lebih optimal. Keikhlasan dan dedikasi pun akan tumbuh dengan wajar, sebab motivasi terbagi menjadi dua bagian, yaitu motivasi eksternal seperti upah dan tekanan, juga motivasi internal seperti moral dan etika.

Guru memang bukan pedagang ilmu, tapi negara dan masyarakat harus memahami betul: mendidik manusia bukan pekerjaan murah. Sudah waktunya kita berhenti melabeli guru dan meninabobokan guru dengan pujian-pujian kosong. Ganti dengan penghargaan nyata, karena masa depan peradaban tergantung pada Pendidikan, maka profesionalisme guru adalah investasi utama, bukan cuman pengorbanan yang diminta diam-diam.

Guru tak hanya bekerja untuk hidup, tapi juga hidup untuk menghidupkan kehidupan orang lain, dan itu pantas dihargai dengan layak serta dihormati dengan sepenuh hati.

 

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan tentang Cerita Guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//