CERITA GURU: Menggambar Sejarah
Banyak cara untuk belajar sejarah. Siswa-siswi PPI 24 Rancaekek melakukannya dengan menggambar bebas bernuansa sejarah.

Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
18 Juni 2025
BandungBergerak.id – Pagi itu, seorang lelaki paruh baya baru tiba di Stasiun Cicalengka. Lelaki itu mengenakan kemeja abu-abu tua dengan tas selendang dikaitkan ke bahunya. Seraya menunggu kedatangan saya, lelaki itu duduk di peron sambil menggenggam botol alumunium berukuran sedang. Saya lihat dari jarak 7 meter. Kacamatanya yang khas tersorot matahari. Lelaki itu pun sama-sama melihat saya dan langsung menghampiri.
"Ti rumah jam sabaraha, Mang?"
"Tabuh 9-an, Kang, angkat mah" jawab saya kepada Kang Hawe, sapaan untuk lelaki paruh baya bernama lengkap Hawe Setiawan.
Beberapa hari sebelumnya, kami merencanakan untuk menggambar di sekolah. Waktu itu kami berbincang di Kedai Jante. Di sela-sela obrolan itu tercetus niatan Kang Hawe untuk mengunjungi Cicalengka. Maka saya langsung menjawab niatan itu, dan menawarkan ajakan untuk menggambar bersama di PPI 24 Rancaekek.
Baca Juga: CERITA GURU: Salah Kaprah Dedi Mulyadi Membawa Siswa ke Barak Militer
CERITA GURU: Walau Habis Terang
CERITA GURU: Ketika “Menemani Bermain” Membutuhkan Gelar Sarjana
Menggambar di Djuantika
Seminggu sebelum kegiatan menggambar di PPI 24 Rancaekek, Kang Hawe lebih dulu berkunjung ke SMP Djuantika. Sekolah ini terletak di Kampung Tanjungwangi, Kecamatan Cicalengka. Saya pun mengajar di sana. Usai dari Djuantika, biasanya berlanjut untuk mengajar di PPI 24 Rancaekek. Jarak dari SMP Djuantika menuju PPI 24 sekitar 15 kilometer.
Waktu Kang Hawe berkunjung kegiatan belajar tidak digelar seperti biasa. Saya mengarahkan siswa-siswi untuk menggambar di luar kelas, bahkan di luar sekolah yang letaknya tidak lebih lima ratus kilometer. Kami menyusuri jalanan setapak dengan tanah merah yang agak basah dan lekas menuju sebuah gubuk milik warga. Pemandangan yang indah berupa undakan bukit, beberapa hektar kebun jagung dan puluhan petak persawahan menjadi bahan untuk memantik anak-anak berimajinasi.
"Bapak, kami menggambar bebas, kan?" ujar Linda, kelas 9, sambil berjalan menuju gubuk milik Asep yang menjadi tempat anak-anak menggambar.
Di gubuk itu empat orang antusias mengikuti kegiatan menggambar ini. Sebut saja Linda, Dea, Najwa dan Arneta. Bersama Kang Hawe mereka turut memotret bayangan mengenai sawah, Gunung Mandalawangi dan pepohonan hijau yang menjuntai di pelataran rumah salah satu warga.
Tiga meter dari gubuk itu Kang Hawe berdiri seperti mematung. Tetapi matanya fokus ke arah Gunung Mandalawangi dari ketinggian 700 meter di bawah permukaan laut. Sambil mengamati bentuk dan bayangan di sekelilingnya, tangannya tak henti bergerak, memoleskan semua yang tampak dari arah pandangan.

Menuju PPI 24 Rancaekek
Selasa, 28 April 2025, saya dan Kang Hawe pergi menuju PPI 24 Rancaekek. Kami berangkat dari Stasiun Cicalengka sekitar pukul 11 pagi. Tiba di Rancaekek kami langsung disambut beberapa orang siswa. Satu per satu menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
Kami lalu memasuki ruang guru. Dari depan pintu sudah tampak Buya Ma'mun Hanafiah asyik dengan gawainya di balik meja berukuran satu meter. Terdengar suara yang muncul dari gawainya itu. Tercium pula bau asap rokok yang menyeruak dan kepulan asap tipis yang muncul dari arah Buya.
Sebelum membuka obrolan, saya mengenalkan Kang Hawe kepada Buya. Rupanya Buya mesti keluar dari belakang mejanya itu untuk bersalaman, namun Kang Hawe lebih dulu mendekatinya.
"Tepangkeun, abdi Hawe".
"Ieu teh Buya, Kang" sambut saya memperkenalkan.
Buya Ma'mun sendiri merupakan Wakil Kepala Sekolah. Bagi seluruh siswa bahkan guru-guru di PPI 24 Rancaekek, Buya adalah sosok yang serba tahu soal Desa Linggar, Rancaekek. Tidak jarang ketika siswa diberi tugas oleh gurunya mengenai Desa Linggar, Buya kerap diwawancarai.
Setelah perkenalan itu, obrolan pun mengalir seketika, mulai soal sekolah sampai pembicaraan sejarah orang-orang penting di Desa Linggar. Kang Hawe tampak tertarik dengan kisah sekolah yang dituturkan oleh Buya. Saking asyiknya, Kang Hawe melihat Buya dengan saksama. Lalu Kang Hawe melontarkan beberapa pertanyaan terutama ihwal kondisi sosial sebelum sekolah itu dibangun.
Sayangnya, obrolan hangat itu terpaksa berhenti oleh bunyi bel pergantian pelajaran. Tanda agar saya segera masuk ruangan.
"Hayu, Kang, ka kelas" ajak saya kepada Kang Hawe.
Kami kemudian bergegas menuju lantai 3 memasuki kelas 11A. Dalam cuaca cerah dan panas keringat kecil bercucuran. Suhu panas kala itu menembus kemeja kotak putih yang saya kenakan, bahkan Kang Hawe membuka kemeja tebalnya lantaran sama-sama merasakan panasnya cuaca hari itu.

Membuat Doodle
Kang Hawe mengeluarkan buku sketch andalannya. Buku itu berisi beragam rupa gambar. Lebih tepatnya, berisi coretan sehari-hari berupa doodle, sketsa atau ilustrasi.
Seraya duduk di kursi guru, Kang Hawe mengamati satu per satu siswa-siswi di kelas itu, sementara saya memperkenalkan sosok baru yang ada di hadapan siswa-siswi tersebut. Karena hari itu saya mengajar sejarah, anak-anak lantas diberi instruksi untuk menggambar sejarah. Saya memanfaatkan kegiatan itu sebagai output dalam memahami sejarah yang pernah diterangkan.
Beberapa siswi tampak kebingungan. Akhirnya Kang Hawe bangkit dari tempat duduknya, lalu memberikan usul untuk membuat doodle. Bagi saya doodle bukan istilah asing. Pun demikian dengan siswa-siswi di kelas itu. Tentu saja metode ini bisa digunakan sebagai media untuk mengejawantahkan narasi sejarah melalui karya visual. Apalagi siapa pun bisa membuat doodle, tidak hanya orang yang mempunyai basic seni menggambar.
"Kalian bisa memanfaatkan bentuk kotak, bulat atau segitiga. Nanti bisa disisipi penjelasan sejarah atau tentang apa saja" jelas Kang Hawe.

Tak ada pertanyaan dari anak-anak. Artinya mereka mulai memahami apa yang mesti dikerjakan. Masing-masing sudah menyiapkan peralatan sederhana, dengan bermodalkan selembar kertas putih polos dan pensil biasa.
Belum genap tiga puluh menit, di luar kelas terdengar bising dari para siswa. Rupanya kelas 11B sudah bersiap-siap untuk menggambar. Biasanya, usai mengajar dari kelas A saya beralih ke kelas 11B dengan materi pelajaran yang sama. Ternyata hari itu mereka keluar lebih cepat.
"Kita menggambar di luar, Pak!" ucap seorang siswi dari kelas 11B.
Lain halnya dengan 11A, Kelas 11 B saya instruksikan untuk menggambar bebas, tetapi masih bernuansa sejarah. Hasilnya sangat beragam. Ada yang merespons isu pembungkaman, seperti yang dibuat oleh Rosihan. Ada juga yang menampilkan isu premanisme sebagaimana digambarkan oleh Nazril. Kedua respons ini, pada mulanya, berangkat dari penjelasan Orde Baru, meskipun konteksnya direpresentasikan dengan kondisi sekarang.

Bel berbunyi, dan jarum jam sudah mengarahkan pada angka 3. Ini berarti kami mesti segera mengakhiri kegiatan menggambar ini. Hari itu anak-anak terlihat menikmati, meski tidak sedikit yang terlihat lelah dengan banyaknya pelajaran yang diikuti. Saya dan Kang Hawe berpamitan, tetapi beberapa siswa meminta berfoto bersama.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan menarik lain Hafidz Azhar, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru