CERITA GURU: Salah Kaprah Dedi Mulyadi Membawa Siswa ke Barak Militer
Tugas pendidikan bukan untuk membuat peserta didik patuh, tetapi membuat mereka sadar. Tentu saja kesadaran dapat lahir ketika terjadi proses dialog.

Aditya Rachman
Guru Honorer SMA Pasundan 2 Bandung
21 Mei 2025
BandungBergerak.id – Pemerintah Provinsi Jawa Barat sedang menggagas pembangunan karakter peserta didik pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, serta pendidikan menengah di wilayahnya melalui Surat Edaran NOMOR : 43/PK.03.04/KESRA tentang Sembilan (9) Langkah Pembangunan Pendidikan Jawa Barat Menuju Terwujudnya Gapura Panca Waluya. Termaktub di dalamnya, beberapa nilai yang diharapkan ada pada peserta didik, yakni cageur, bageur, bener, pinter, tur singer. Dalam sembilan langkah tersebut, langkah kedelapan ditujukan khusus bagi peserta didik yang dianggap memiliki perilaku khusus, seperti tawuran, main game, merokok, mabuk, balapan motor, dan perilaku tidak terpuji lainnya. Bagi mereka, ada pembinaan khusus yang dilakukan di barak militer.
Harapan yang termaktub dalam Gapura Panca Waluya tersebut berhubungan dengan nilai-nilai filosofis budaya Sunda dalam hal pengasuhan dan pendidikan karakter anak. Cageur yang artinya Baik, Bener yang artinya Benar, Pinter yang artinya Pintar atau Berilmu, dan Singer yang artinya Mawas Diri. Nilai-nilai ini ditanamkan biasanya sejak dini melalui berbagai cara, tetapi tidak pernah sekalipun melalui barak militer. Agaknya kita perlu menyoroti hal ini, terutama guru dan orang tua peserta didik. Tentu inisiatif ini dapat dipandang sebagai niat baik “yang belum tentu baik”.
Baca Juga: CERITA GURU: Melawan dengan Narasi Kritis
CERITA GURU: Hierarki Sosial yang Kabur dari Inklusivitas Sekolah
CERITA GURU: Peran Guru Profesional di Era Global
Pendidikan Militer
Pendidikan melalui barak militer sudah barang tentu tidak sesuai dengan Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan yang termaktub dalam Pasal 4 BAB III Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003. Bukan hanya itu, kebijakan ini dapat mendiskreditkan guru sebagai pendidik yang dalam Undang-undang yang sama sudah dianggap sebagai tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, serta melakukan pembimbingan dan pelatihan. Jika guru dipandang sebagai tenaga profesional yang tidak mampu menjadi fasilitator dalam pengembangan karakter siswa “khusus” tersebut dan pemerintah memandang TNI sebagai lembaga yang lebih mampu, agaknya di sini terdapat kecacatan berpikir.
Pendidikan sipil dengan pendidikan militer sudah barang tentu sangat berbeda. Pendidikan sipil berfokus pada pengembangan pengetahuan dan keterampilan, sedangkan pendidikan militer berfokus pada disiplin dan pelatihan fisik. Bukan hanya itu, perbedaan pendidikan sipil dan militer yang paling fundamental dan esensial terdapat dalam prosesnya. Pendidikan sipil mengutamakan dialog, sedangkan pendidikan militer mengutamakan kepatuhan dan ketaatan dalam sistem komandonya.
Meskipun pemerintah mengklaim masih menggunakan kurikulum yang sama serta sistem pembelajaran yang sama seperti di sekolah, apakah mereka dapat menjamin para aparat militer dengan latar pendidikan komando dapat memberikan pembelajaran yang dialogis? Hal ini perlu dipertanyakan. Jika tujuan pemerintah Jawa Barat mengirim peserta didik ke barak militer adalah untuk mendisiplinkan siswa-siswa 'nakal', sudah tentu yang akan terbangun bukanlah pendidikan yang bersifat dialogis, melainkan pemosisian peserta didik sebagai objek.
Paulo Freire, dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas, menyebut bahwa peserta didik adalah manusia, bukan tanah liat. Mereka adalah subjek yang tumbuh bukan karena tekanan, tapi karena percakapan. Lebih lanjut, Freire mengungkapkan bahwa disiplin bukanlah buah dari perintah. Disiplin sejati tumbuh dari kesadaran.
Freire pun menyebutkan bahwa hal tersebut merupakan kekeliruan epistemologis yang memandang manusia sebagai objek, bukan subjek dalam pendidikan. Demikianlah jika peserta didik dibentuk melalui barak, yang tumbuh bukanlah potensi mereka dalam kreativitas dan kesadaran mereka, tetapi kepatuhan dan ketaatan yang buta karena ketakutan.
Tujuan Pendidikan Bukan Membuat Patuh
Jika pendidikan formal di sekolah dianggap atau tampak gagal, tentu yang harus dibenahi sistem pembelajaran itu sendiri. Bukan lalu secara salah kaprah membawa peserta didik ke barak militer yang sudah barang tentu tidak sejalan dengan “pendidikan” itu sendiri. Tugas pendidikan bukan untuk membuat peserta didik patuh, tetapi membuat mereka sadar. Dan tentu saja kesadaran dapat lahir ketika terjadi proses dialog.
Ketika peserta didik masuk ke barak militer, secara psikologis apakah mereka akan mendapatkan trauma di hari ini? Atau mungkin mendapatkan trauma di kemudian hari? Atau dengan langkah tersebut Gubernur Jawa Barat sudah tidak percaya lagi terhadap guru? Di mana pelibatan suara sipil dalam kebijakan ini? Atau lebih khusus di mana pelibatan tokoh-tokoh pendidikan? Lebih elok jika pemerintah memberikan landasan-landasan yang menopang kebijakan pendidikan di barak militer tersebut. Buktikan lewat kajian bahwa pendidikan militer lebih efektif. Ini diperlukan agar kebijakan tidak salah kaprah.
Di tengah gejolak yang masih belum reda mengenai pengesahan Undang-Undang (UU) TNI yang menimbulkan polemik publik, Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat malah menggandeng TNI untuk menyelesaikan pelbagai persoalan di Jawa Barat, termasuk urusan pendidikan. Jika militer secara masif mengambil peran dalam ranah-ranah sipil, niscaya tercipta dominasi militer yang dapat membuat impunitas militer semakin kuat.
Kita perlu mengingat bahwa lembaga-lembaga swadaya masyarakat seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) telah mengkhawatirkan timbulnya banyak dampak buruk dari kebijakan ini. Banyak jabatan sipil akan direbut, sementara ASN dan Perempuan akan terpinggirkan dalam akses posisi-posisi strategis. Lebih jauh lagi, ini merupakan ancaman bagi demokrasi dan profesionalisme TNI. Maka, bukan tanpa alasan jika kebijakan mempercayai TNI untuk mengurusi pendidikan sipil akan memarginalkan guru sebagai pendidik profesional yang sudah diakui dalam UU Sisdiknas.
Jika kita melihat kebijakan siswa ke barak ini, bolehlah kita mengasumsikannya sebagai langkah politis Dedi Mulyadi agar tersorot oleh pusat pemerintahan, yang sekarang dinakhodai (Presiden) Prabowo Subianto yang adalah seorang militer. Langkah tersebut perlulah kita tinjau dalam berbagai aspeknya, baik dari pemerintahan, militer, sosok guru, maupun peserta didik itu sendiri. Jangan sampai kebijakan ini mendiskreditkan guru sebagai pendidik profesional yang dianggap tidak mampu mengurusi peserta didik “khusus”. Juga jangan sampai kebijakan ini mengesampingkan peserta didik sebagai subjek yang perlu dibimbing dengan dialog, bukan dengan ketaatan dan kepatuhan yang buta karena ketakutan.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan menarik lainnya tentang Cerita Guru