• Narasi
  • CERITA GURU: Melawan dengan Narasi Kritis

CERITA GURU: Melawan dengan Narasi Kritis

Membangun pemahaman tentang narasi kritis dalam ruang akademik bisa memantik sikap dan pemikiran yang dialektis di kalangan pelajar atau mahasiswa.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Ilustrasi. Ilmu pengetahuan mesti bermanfaat bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

30 April 2025


BandungBergerak.id – Akhir-akhir ini muncul pemberitaan mengenai berbagai tanda pagar. Sebut saja Indonesia Gelap, Kabur Aja Dulu, atau Tolak UU TNI. Beragam tanda pagar yang tersebar itu bukan tanpa alasan. Ini menggambarkan kondisi Indonesia yang semakin tidak keruan, semenjak adanya kebijakan dan rencana-rencana pemerintah yang dianggap merusak tatanan. 

Tanda pagar, dengan bahasa lainnya hashtag, merupakan representasi atas perlawanan dari akar rumput. Jika kalangan mahasiswa melawan dengan berorasi di depan gedung-gedung pemerintahan, maka yang tidak ikut ke jalan bisa menyebarkan tanda pagar lewat media digital. Tanda pagar itu, galibnya disertai dengan ilustrasi, potret atau karya visual lain, untuk menegaskan berbagai contoh kekacauan yang terjadi. 

Sebagai pengajar, saya pun turut merasakan kekacauan ini. Pengurangan anggaran yang memangkas gaji guru menjadi salah satu indikasi adanya kebijakan yang tidak masuk akal. Alih-alih efisiensi anggaran, nyatanya hal ini semacam cara pemerintah untuk bersilat lidah karena tujuan yang tidak terpenuhi. Sebetulnya, efisiensi untuk siapa? 

Efisiensi yang berangkat dari program Makan Bergizi Gratis, jelas bukan menjadi patokan bagi keberlangsungan hajat hidup orang banyak. Sialnya pemerintah keukeuh agar kebijakan ini dijalankan, meski yang mendapat program itu hanya sekolah-sekolah negeri yang tampak berkecukupan. Akhirnya, masalah ini terus menggelinding seperti bola salju dan membentuk polemik tersendiri sehingga menggerus ranah lainnya. Pantas bila banyak warga yang geram dengan membuat tanda pagar, sekalipun pemerintah tidak peka dengan adanya protes semacam itu. 

Dalam konteks lokal, isu-isu pelik hadir di ruang-ruang yang tidak diperhatikan. Belakangan, misalnya, dua area di Bandung menjadi sorotan linimassa. Ratusan warga di Kawasan Sukahaji, Kota Bandung, dan di Desa Tenjolaya, Kecamatan Cicalengka, terancam kehilangan tempat tinggalnya. Kedua kasus itu disinyalir berhubungan dengan mafia tanah, sekaligus menegaskan problem penggusuran di Bandung masih terus menghantui. 

Belum lagi soal lingkungan yang semakin tidak terkondisikan, dan juga soal pungutan liar dari para jagoan yang tidak pernah tuntas. Maka, pertanyaan menyusul kemudian, sejauh mana pemerintah sudah mengakomodasi keluhan warganya yang tertindas? Jika tidak, perlawanan organik akan terus bermunculan. 

Baca Juga: CERITA GURU: Menjadi Pedagog yang Inspiratif di Sekolah
CERITA GURU: Bagaimana Hendaknya Guru Memandang Teknologi
CERITA GURU: Berkawan dan Bertaruh dengan Mesin Kecerdasan

Membangun Narasi

Untuk melakukan perlawanan, rupanya saya memiliki cara yang lazim dilakukan seorang pengajar. Cara itu saya wujudkan melalui ruang-ruang akademik, baik di sekolah maupun di kampus. Di sekolah, misalnya, saya jelaskan materi yang berkaitan erat dengan urusan politik dan ekonomi. Kebetulan saya mengajar sejarah. Dalam benak saya, timbul gagasan supaya para peserta didik mampu memahami narasi kritis dengan mengorek informasi yang mereka dapat. Oleh karena itu, metode yang saya bangun dengan cara berdialog. 

Mula-mula saya tawarkan beragam isu yang baru-baru ini mencuat. Seperti UU TNI yang sudah disahkan bulan lalu, atau teror yang menyasar media Tempo berupa kepala babi dan beberapa bangkai tikus. Baik RUU TNI maupun teror terhadap Tempo, sama-sama mengandung unsur intimidasi. Kata kunci ini lalu saya elaborasi dengan sudut pandang historis. RUU TNI, misalnya, melekat erat dengan Dwifungsi ABRI yang pernah bercokol pada masa Orde Baru. Kapan Dwifungsi itu dimulai, lalu seperti apa sistem itu bekerja, merupakan dua pertanyaan yang menjadi poin utama untuk dibahas. Sementara teror terhadap Tempo mengembalikan ingatan kala media itu dibredel oleh Rezim Suharto tahun 1994. 

Beberapa siswa memang mencerna dengan baik, kendatipun mereka perlu disokong berbagai bacaan yang relevan. Untuk itu, saya lantas memberikan beberapa rekomendasi buku, terutama ihwal genealogi TNI dan Dwifungsi ABRI, atau terkait dengan praktik militerisme yang berujung pada kekerasan. 

Buku pertama yang saya rekomendasikan berjudul Dwifungsi ABRI: Asal-usul, Aktualisasi dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan, karya Bilveer Singh. Buku ini menjabarkan bagaimana lembaga militer seperti TNI dibentuk bersamaan dengan adanya agresi Belanda ke Indonesia pasca-Kemerdekaan. Tidak hanya itu, tugas ganda tentara Indonesia dijelaskan pula di buku ini sejak Sudirman memimpin sebagai panglima dan puncaknya pada masa Orde Baru.

Kedua, buku Golkar dan Militer: Studi tentang Budaya Politik, karya Leo Suryadinata. Dalam buku ini Leo menjabarkan kemunculan Golkar sekaligus menjadi mesin politik militer pada era Orde Baru. 

Selanjutnya, buku Politik Jatah Preman, karya Ian Douglas Wilson. Ian menggambarkan fungsi preman sejak zaman VOC hingga setelah Reformasi. Tidak hanya itu, buku tersebut juga menjelaskan peran negara dengan menghasilkan kekerasan lewat kelompok-kelompok yang melekat sebagai preman. Preman memiliki relasi kuasa dengan pihak-pihak di pemerintahan, terutama tampak setelah masa Reformasi. 

Bagi yang menyukai fiksi, saya memberikan beberapa rekomendasi. Antara lain, dua karya Leila S Chudori, yakni Laut Bercerita dan Pulang. Selain itu saya pun merekomendasikan salah satu roman karya Pramoedya Ananta Toer, Arok Dedes, untuk memahami prinsip politik yang dijalankan oleh elite Jawa. 

Di kampus, narasi serupa saya bangun melalui pemetaan secara kritis. Misalnya, dalam salah satu mata kuliah yang saya ampu, saya coba menjelaskan tentang sistem pemerintahan. Seperti sistem demokrasi yang sampai ke Indonesia. Meski di Indonesia menganut demokrasi, namun terdapat catatan untuk pemerintah yang tidak mencerminkan sikap demokratis secara ideal. Berbagai kasus di atas telah membuktikan, sebagaimana dicontohkan pada Tempo yang mendapatkan serangan teror. Atau adanya manipulasi dalam pemilihan pejabat negara, serta kekerasan yang kerap dialami oleh para aktivis. Hal ini saya tekankan kepada mahasiswa-i, bahwa demokrasi yang seperti apa yang selalu membuat rakyatnya merasa tidak aman.

Lewat narasi-narasi seperti itu, saya berharap perlawanan dalam ruang akademik bisa memantik sikap dan pemikiran yang dialektis di kalangan pelajar atau mahasiswa. Analisis terhadap suatu permasalahan menjadi penting agar memahami akar yang bercabang itu dan tidak sekadar ikut-ikutan atau melakukan aksi spontan. Dengan demikian, baik guru maupun dosen, sebetulnya, mempunyai andil besar dengan memberikan kesadaran kritis di tengah kegusaran yang dilakukan oleh negara. 

 

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan menarik lain Hafidz Azhar, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//