CERITA GURU: Berkawan dan Bertaruh dengan Mesin Kecerdasan
Mesin kecerdasan buatan ini seolah menjadi tombol "shortcut" yang membuat sebagian mahasiswa ketergantungan untuk mencari jawaban dari sebuah permasalahan.

Septiana Yustika W
Buruh akademis yang berpijak pada fragmen aktivis. Mendalami riset media baru sekaligus penari paruh waktu.
29 April 2025
BandungBergerak.id – Narasi AI (Artificial Intelligence) pertama kali saya dapati di bangku sekolah menengah. Bapak, Ibu guru, acap kali mengulang istilah tersebut untuk menakut-nakuti kami yang malas belajar. Katanya nanti, ketika manusia mulai enggan untuk berpikir, semua pekerjaan rumah tangga-dan-non rumah tangga akan dikerjakan oleh mesin kecerdasan.
Lantas kenapa, pikirku saat ini. Buat apa takut dengan kemajuan teknologi? Buat apa menghindari mesin-mesin yang katanya akan lebih cerdas daripada manusia (si pembuat) itu sendiri?
Pertanyaanku 15 tahun yang lalu itu masih valid untuk diutarakan hingga detik ini. Toh, memang sudah masanya kita berdampingan dengan segala transformasi kecerdasan, dalam bentuk mesin, dalam bentuk virtual, bahkan dalam sebuah bentuk yang tak lagi “berbentuk”. Negara maju adidaya kini sudah berlomba-lomba menciptakan mesin pintar yang bisa mengerjakan ina-inu kebutuhan manusia. Batasan antara tahu dan tidak tahu kini bisa terjawab dengan satu sentuhan tombol enter, dan dalam hitungan detik; voila, you got what you need.
Namun rupanya segala bentuk kemudahan itu kini menjadi sebuah tantangan yang kulewati setiap harinya. Sekarang aku mengerti mengapa guru-guruku di bangku sekolah menyerukan kekhawatiran tentang adanya mesin kecerdasan yang akan menggantikan manusia. Walau secara harfiah bukan itu yang benar-benar ditakutkan, tapi bagaimana siswa-siswanya tidak lagi menghargai sebuah proses belajar untuk menemukan solusi dari sebuah pertanyaan.
Baca Juga: CERITA GURU: Belajar Menjadi Guru dan Bermasyarakat di Kampung Halaman
CERITA GURU: Menjadi Pedagog yang Inspiratif di Sekolah
CERITA GURU: Bagaimana Hendaknya Guru Memandang Teknologi
Penggunaan AI dalam Dunia Pendidikan
Satu hari, mantan Menteri Pendidikan Anies Baswedan menyuarakan opininya mengenai keberadaan AI di tengah-tengah dunia akademik. Sebuah ulasan menohok yang berulang-ulang aku baca dan resapi, berisi: “Pendidikan harus tetap berpijak pada manusia, bukan mesin. Sebab teknologi hanya hebat, jika ia tetap tahu tempat”.
Renungan ini mengantarkan saya pada diskusi keresahan para dosen yang mendapati oknum-oknum mahasiswa dengan tulisan hasil catut AI untuk paper tugasnya. Sesuatu yang cukup disayangkan, melihat sebagai mahasiswa di rumpun ilmu komunikasi, menulis seharusnya menjadi skill-set wajib. Pengalaman tersebut pun kemudian saya alami sendiri di lapangan. Menjadi sebuah dilema sendiri, karena meskipun saya tidak membatasi total penggunaan AI sebagai media yang membantu proses pengajaran, pada praktiknya lagi-lagi kami sebagai dosen sering kecolongan. Mesin kecerdasan ini seolah menjadi tombol shortcut yang membuat sebagian mahasiswa ketergantungan untuk mencari jawaban dari sebuah permasalahan.
Bukan bermaksud untuk mengharamkan mesin kecerdasan, namun landasan literasi digital yang kiranya belum mumpuni di kalangan mahasiswa akan membawa miskonsepsi dunia akademik. Kelihaian seseorang dalam menjawab pertanyaan hanyalah potongan kue kecil dalam dunia pendidikan. Namun seni dalam belajar dan mengenyam pendidikan adalah bagaimana kita membuka jendela wawasan lewat berpikir kritis, kemampuan mengambil keputusan, kemandirian dalam berpijak dalam sebuah teori, dan fondasi-fondasi ilmiah lainnya yang membangun makna “kecerdasan” itu sendiri.
Bagiku, kemutakhiran AI memang melampaui hal yang sebelumnya tak bisa dibayangkan. Seminar dan pengajaran dalam penggunaan AI di dunia pendidikan beberapa kali saya ikuti untuk memahami lebih dalam benang merah yang menegaskan etik penggunaannya. Namun berpangku sepenuhnya terhadap mesin buatan mencederai makna kecerdasan yang lahir dan bertumbuh bersama akal manusia. Anak-cucu kita sekiranya harus (tetap) percaya diri bahwa kemampuannya akan selalu melampaui mesin-mesin kecerdasan buatan itu.
Maka dari itu, saya mengajak para guru, yang digugu dan ditiru, untuk terus menarasikan hal-hal positif dalam mendukung semangat anak bangsa dalam menggali potensi kecerdasannya. AI bukanlah sesuatu yang mutlak untuk diperangi. Dampingilah anak-anak kita agar mereka tahu kapan harus “berkawan” dan “bertaruh” dengan mesin kecerdasan itu. Jangan lupa unsur humanis dalam proses pengajaran, agar kita semua terus menghargai perjalanan untuk meraih kecerdasan yang sebenarnya.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan tentang Cerita Guru