CERITA GURU: Belajar Menjadi Guru dan Bermasyarakat di Kampung Halaman
Ide membangun ruang belajar di Masjid Al Furqan Ciwidey muncul begitu saja. Ruang bagi siapa pun yang ingin belajar, bersenang-senang, dan tumbuh bersama.
Reza Khoerul Iman
Pegiat Komunitas Aleut
10 April 2025
BandungBergerak.id – Di hari-hari libur Lebaran kali ini, saya memiliki banyak waktu luang. Rasanya agak aneh –tapi sekaligus melegakan– mengingat Ramadan kemarin begitu padat oleh beragam kegiatan dan urusan pekerjaan.
Tak banyak yang saya lakukan di waktu lenggang ini. Saya bukan orang yang pandai bersosialisasi atau jago membuat hal-hal produktif untuk membunuh waktu. Jadi saya menghabiskan waktu dengan menggulir layar gawai, sambil sesekali membuka galeri foto yang makin menumpuk.
Setelah beratus foto digulirkan, saya terhenti di satu foto hitam putih yang menunjukkan beberapa anak muda tanggung sedang duduk melingkar di atas karpet di depan rak buku yang hampir penuh. Lalu ada papan tulis kecil di sisi ruangan yang biasa digunakan sebagai alat bantu belajar.
Tak lama saya langsung mengenali tempat itu dengan mudah: Majelis Al Furqan, ruang kecil yang kami (saya, Alvin, Ari, Doni, dan Naufal) bangun bersama di kampung halaman, Ciwidey. Melihat foto itu, saya seperti ditarik kembali ke momen-momen hangat yang pernah terjadi di sana sekitar lima tahun silam. Penuh percakapan, diskusi, gelak tawa, semangat, dan bahkan sesekali suasana berubah jadi panas karena saling beradu argumen.
Hati kecil saya sebenarnya sempat tertawa dan sedikit tak menyangka bahwa saya pernah punya masa sebagai seorang guru.
Meski berada dalam ruang yang sangat informal, Majelis Al Furqan sedikit mengajarkan saya bagaimana menjadi guru. Ini memang bukan pengalaman pertama saya mengajar, tapi di sinilah saya benar-benar ditempa. Di sinilah saya belajar bermasyarakat, belajar menyampaikan, belajar mendengarkan.
Meski sebagian ingatan mulai kabur dimakan waktu, saya akan berusaha menceritakan kembali apa yang masih tersisa.
Baca Juga: CERITA GURU: Menegakkan Disiplin di Sekolah dengan Sistem Poin Terintegrasi
CERITA GURU: Ketika Haruki Murakami Membongkar “Neraka” Pendidikan Jepang
CERITA GURU: Menelusuri Sejarah Keluarga
Begini Awalnya
Majelis atau ruang berkumpul ini dulu kami bangun sebagai tempat untuk belajar mengajar ilmu agama Islam, sekaligus menjadi motor pergerakan orang-orang muda di lingkungan terdekat. Persamaan latar belakang sebagai sesama santri dan keresahan melihat minimnya para pengajar muda yang bisa mengajarkan dasar ilmu agama ke masyarakat adalah dua hal yang mempersatukan lima pemuda idealis berumur 20 tahunan.
Kami berlima sebenarnya tak pernah rutin bertemu. Dulu kami satu almamater –tapi tidak semuanya satu angkatan yang sama— di Madrasah Tsanawiyah Al Manar (MTs/setara SMP). Namun, pilihan sekolah yang berbeda di jenjang berikutnya lalu memisahkan kami.
Tapi satu saat (waktu itu saya sudah lulus Madrasah Aliyah atau setara SMA di Pajagalan Bandung), ketika sama-sama sedang pulang kampung, kami tak sengaja bertemu setelah menunaikan salat Zuhur di Masjid Al Furqan. Kami lalu berkumpul dan banyak mengobrol tentang masa lalu dan saling bertukar pengalaman tentang apa yang kami dapatkan di perantauan. Dari sana pembicaraan malah semakin berkembang jadi panjang membahas soal kondisi masyarakat, pendidikan, dan apa yang bisa kami lakukan.
Ide membangun ruang belajar itu muncul begitu saja. Mungkin karena semangat kami sedang membuncah dan mungkin ada sedikit kerinduan terhadap suasana belajar seperti di pesantren dulu yang tidak saya dapatkan lagi saat itu. Kami tidak langsung memikirkan nama atau bentuknya. Yang kami tahu saat itu cuma satu, kami ingin ada tempat yang bisa jadi ruang bagi siapa pun yang ingin belajar, bersenang-senang, dan tumbuh bersama.
Di majelis ini, dengan memanfaatkan masjid Al Furqan sebagai ruang pertemuannya, kami meramaikan malam dengan mengadakan banyak pertemuan tiap pekannya untuk belajar bersama. Ada beragam tema pembelajaran yang sudah dirancang, mulai dari dasar-dasar ilmu agama seperti bagaimana cara membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar, belajar ilmu fiqh (ilmu yang mempelajari hukum-hukum syariat Islam), mendiskusikan persoalan sosial, politik, cinta, hingga tren media sosial pada waktu itu.
Tentu setiap pertemuan tidak selalu di isi dengan sesi pembelajaran. Bakal terlalu kaku apabila dibuat seperti itu. Makanya di beberapa kesempatan kami mengisinya dengan menonton film atau berolahraga seperti bersepeda, futsal, memanah, dan bermain tenis meja. Bahkan beberapa kali melakukan rekreasi alam ke Ranca Upas, atau tempat semacamnya untuk memperkuat ikatan emosional.
Setelah beberapa bulan dan beragam ajakan untuk bergabung, tampaknya aktivitas Majelis Al Furqan mengundang perhatian orang-orang sekitar. Baik yang dewasa dan yang muda mulai melirik kami. Hingga yang asalnya hanya berlima, lalu bertambah menjadi tujuh, bahkan sepuluh. Suasana berubah menjadi semakin ramai.
Saya sih merasa beruntung ketika satu per satu orang muda di sekitar mulai tertarik untuk belajar bersama. Terutama ketika dipercaya untuk membagikan ilmu kepada masyarakat sekitar. Di titik itulah saya seperti orang yang melampiaskan dendam, karena setelah menuntut ilmu sekian lama akhirnya terlampiaskan dengan mengajarkannya.

Mengeja Al-Qur’an bersama Anak-anak, Membuat Buletin, dan Berbisnis
Masjid Al Furqan berada di lingkungan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al Manar. Posisinya dekat pusat keramaian Desa Ciwidey. Letaknya juga tidak terlalu jauh dengan Jalan Raya Ciwidey, mungkin hanya butuh 20 meter saja untuk sampai ke masjid dari jalan raya. Kondisi ini membuat kawasan ini tak pernah sepi dari lalu-lalang orang, terutama ketika waktu Magrib tiba anak-anak akan berbondong-bondong datang ke masjid untuk mengaji.
Nahas waktu itu tak ada sosok pengajar yang membimbing anak-anak. Padahal, setahu saya, dulu ada kegiatan mengajarkan Al-Qur’an. Memang, kegiatan belajarnya tidak pernah formal. Lebih bersifat sukarela, siapa pun yang punya waktu dan niat boleh ikut mengajar.
Di situlah saya mengambil inisiatif untuk mengajarkan mereka membaca Al-Qur’an. Ini memang bukan pengalaman pertama saya mengajar anak-anak, tapi selalu ada saja tantangan. Anak-anak cukup sulit diatur dan mudah bosan, jadi pembelajaran harus dibuat semenarik mungkin.
Inisiatif kecil lainnya yang pernah dilakukan bersama kawan-kawan di Majelis Al Furqan adalah membuat buletin yang rutin diterbitkan dan dibagikan tiap Jumat. Isinya sederhana dan rencananya akan banyak menyinggung persoalan yang dihadapi masyarakat seperti tata cara salat, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim, doa-doa, hingga sejarah Islam.
Jujur kami tidak memperhitungkan ongkos produksi dan ternyata tidak semua dari kami bisa menulis. Akibatnya buletin hanya terbit beberapa kali.
Sadar bahwa pergerakan ini butuh ongkos, kami lalu mencoba berbisnis. Sesuatu yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikiran sebelumnya. Beruntung ada satu kawan yang sudah cukup berpengalaman. Saat itu kami pernah berjualan kopi “serius” di Kawah Putih dan sempat juga menjadi reseller makaroni.
Penyebarannya? Kami bergerilya lewat online di WhatsApp dan menyebarkan ke banyak grup. Lalu hasilnya? Jelas kami banyak buntungnya. Kalian mungkin tidak percaya, tapi waktu itu tak satu gelas pun kopi kami yang terjual. Pada akhirnya tidak melanjutkan bisnis itu.
Sepertinya membangun satu ruang pembelajaran sekaligus pergerakan tidak cukup dengan modal niat baik saja. Harus ada pengetahuan, kolaborasi, dan keberanian untuk mencoba hal-hal di luar zona nyaman. Kalau tidak itu hanya dunia utopismu saja.
Hari-hari penuh lika-liku itu setidaknya sudah mengukir cerita dan pembelajaran berkesan dalam potongan-potongan hidup kami. Di sini juga saya tidak hanya belajar menjadi seorang pendidik, tapi juga sebagai bagian dari masyarakat.
Ada kepuasan tersendiri ketika apa yang selama ini kita pelajari akhirnya bisa bermanfaat untuk masyarakat. Saya jadi teringat pada satu bait puisi Wiji Thukul yang mempertanyakan apa gunanya punya ilmu kalau hanya untuk mengibuli atau diam saja ketika melihat kondisi di masyarakat tidak baik-baik saja.
Apa guna punya ilmu
kalau hanya untuk mengibuli
Apa gunanya banyak baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Reza Khoerul Iman, dan tulisan-tulisan menarik Cerita Guru