• Narasi
  • CERITA GURU: Menegakkan Disiplin di Sekolah dengan Sistem Poin Terintegrasi

CERITA GURU: Menegakkan Disiplin di Sekolah dengan Sistem Poin Terintegrasi

Pengelolaan disiplin peserta didik di sekolah diterapkan dengan sistem input poin online yang dibuat sekolah dan terkoneksi dengan orang tua peserta didik.

Mohammad Rifai

Tenaga Pendidik di SMA Al Umanaa Boarding School

Ilustrasi. Aktivitas manusia dengan gawainya di era teknologi digital. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

12 Maret 2025


BandungBergerak.id – Disiplin merupakan seperangkat aturan yang “mengikat” seseorang atau sekelompok orang untuk dipatuhi dan dijalankan sebagaimana mestinya. Disiplin berfungsi sebagai “daya atau kekuatan” demi (tujuan) terciptanya kehidupan yang “harmonis dan bahagia” (sukses). Dalam konsep ini, disiplin artinya bersifat mengikat, bukan berarti mengikat kebebasan orang lain, melainkan sebagai pengontrol agar kebebasan tersebut tidak mengganggu kebebasan orang lain. Kita tahu bahwa kebebasan adalah hak asasi manusia yang sangat mendasar, tapi kita juga harus tahu dan mengerti bahwa kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Di sinilah disiplin berperan sebagai daya atau kekuatan untuk mengikat kebebasan-kebebasan tersebut agar dapat terkontrol sesuai ranahnya dan tidak menimbulkan kerusakan dan pecah belah di mana-mana sehingga kehidupan romantis dan bahagia tersebar di sekitar kita. Bayangkan saja, jika kebebasan itu dijunjung tinggi atas nama HAM tanpa adanya disiplin yang mengikat, kita bisa bebas melakukan apa saja, bukan? Semoga pemahaman tentang ini meresap ke dalam otak dan pemikiran kita semua, di segala aspek kehidupan kita.

Dalam dunia pendidikan, misalnya, kerap kali menjadi tantangan bagi seorang pendidik untuk menerapkan kehidupan berdisiplin terhadap peserta didik, karena lagi-lagi atas nama HAM dan perlindungan anak, semua penerapan disiplin tersebut seakan ilegal di mata hukum. Seperti kasus Supriyani, seorang guru honorer di sebuah SD di Konawe Selatan yang sempat marak diberitakan lantaran niatnya untuk mendisiplinkan peserta didik, malah dianggap sebagai kekerasan dan penganiayaan sehingga dilaporkan ke polisi dan masuk ke ranah hukum. Sampai tulisan ini selesai ditulis, mungkin kasusnya masih belum usai.

Memang betul, bahwa kekerasan fisik yang dilakukan di sekolah sekalipun dalam rangka penegakan disiplin akan tetap dikenai hukuman pidana. Hal itu diatur dalam banyak pasal di Undang-undang. Jangankan kekerasan fisik, kekerasan verbal seperti berkata kasar, menghina dan semacamnya juga diatur di dalamnya. Sehingga hal ini menuntut guru atau para pendidik di lingkungan lembaga pendidikan berpikir keras untuk mengawal kedisiplinan peserta didik di sekolah dengan tetap taat akan aturan dan ketetapan hukum yang berlaku.

Di satu sisi, hal ini menjadi baik, agar guru di lingkungan sekolah tidak semena-mena terhadap peserta didik serta bisa bersama-sama bergerak mencari solusi atas penegakan disiplin yang tidak melanggar hukum. Tapi di sisi lain, guru bisa saja enggan untuk mendisiplinkan peserta didik karena khawatir terjerat hukum sehingga memilih diam dan membiarkan saja tindakan indisipliner peserta didik. Akibatnya, guru bisa kehilangan muruahnya, anak-anak bisa seenaknya, pendidikan karakter tidak terkawal, dan disiplin yang sifatnya mengikat bisa lumpuh tak berdaya sehingga tujuannya untuk menghadirkan kehidupan romantis dan bahagia sirna.

Baca Juga: CERITA GURU: Nasib Study Tour, antara Rekreasi dan Tujuan PendidikanCERITA GURU: Menilik (Kembali) Wacana Pengurangan Mata Pelajaran SejarahCERITA GURU: Tangan, Alat Ajaib Membentuk Sebuah Kecerdasan Anak

Mengelola Disiplin dengan Sistem Poin

Pengelolaan disiplin peserta didik di sekolah dengan tetap taat hukum dapat diusahakan bersama-sama dengan kerja sama antara pihak sekolah, orang tua, dan peserta didik. Bisa dimulai dengan pengawalan dan penegasan tata tertib yang sudah dibuat oleh sekolah dan disepakati bersama. Tata tertib ini salah satunya dapat diterapkan dengan sistem input poin secara online yang dibuat oleh sekolah dan terkoneksi dengan orang tua sesuai jenis pelanggaran yang ada. Mulai dari pelanggaran kecil atau ringan hingga pelanggaran berat. Atau pelanggaran level rendah hingga level tinggi yang bisa berujung pada Surat Peringatan Ketiga (SP 3), yakni pendidikan peserta didik diserahkan kepada orang tua. Jenis dan level pelanggaran ini harus tertuang dalam tata tertib dan disepakati oleh orang tua dan peserta didik sendiri saat penerimaan peserta didik baru dengan penandatanganan kontrak bermeterai.

Penerapan sistem poin ini terdiri dari dua, yakni sistem poin apresiasi dan poin pelanggaran. Poin apresiasi diberikan kepada semua peserta didik yang melakukan kebaikan-kebaikan, sekecil apa pun kebaikan tersebut, seperti membantu guru membawa buku ke kantor, membuang sampah pada tempatnya, dan lain-lain. Artinya apresiasi diberikan secara menyeluruh, tidak hanya diberikan kepada peserta didik yang berprestasi atau menang dalam lomba-lomba. Sementara poin pelanggaran diberikan kepada peserta didik yang melakukan pelanggaran terhadap tata tertib yang sudah ditentukan, sekecil apa pun pelanggaran itu, seperti membuang sampah sembarangan, tidak mengucapkan salam saat masuk kelas, dan sebagainya. Tentu jumlah poin yang diberikan sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan.

Poin pelanggaran ini berjenjang mulai dari pelanggaran level I dengan poin 1, pelanggaran level II dengan poin 5, dan pelanggaran level III dengan poin 25. Semua guru atau pendidik dan tenaga kependidikan berhak memberikan input poin pada sistem apabila menemukan peserta didik yang melakukan kebaikan dan perlu diapresiasi atau yang melakukan pelanggaran dan perlu diberi sanksi. Peserta didik yang mendapatkan poin pelanggaran 25 ke atas –entah itu berasal dari hasil akumulasi pelanggaran level 1 atau 2, maupun hasil pelanggaran level 3– menjadi perhatian bersama seluruh guru, khususnya wali kelas. Sehingga nanti perlu ada pengawalan khusus dengan bekerja sama dengan guru BK. Sistem poin ini dipantau secara berkala setiap pekan oleh bidang kesiswaan, dan orang tua mendapatkan akses untuk melihat rekapitulasi poin yang diperoleh oleh anaknya, baik poin apresiasi maupun poin pelanggaran yang dilengkapi dengan keterangan dari poin tersebut. Sehingga orang tua tahu dan ikut mengawal perkembangan anaknya di sekolah.

Peserta didik yang mendapatkan poin pelanggaran 100 –entah itu diperoleh dari akumulasi pelanggaran level 1 hingga 3– dianggap setara dengan pelanggaran berat, yakni akan dikenakan surat peringatan dan pemanggilan orang tua. Surat peringatan (SP) ini memiliki tingkatan, yakni dari SP1, SP2, dan SP3 dengan jenis konsekuensi atau hukuman yang berbeda.

Setiap akhir semester, saat pembagian rapor atau kenaikan kelas dan kelulusan, setiap wali kelas selain menyampaikan hasil ujian atau nilai rapor, juga menyampaikan perkembangan akhlak atau karakter serta catatan evaluasi peserta didik kepada orang tua melalui data dari sistem poin tersebut. Sehingga nanti saat ada peserta didik yang harus mengulang kelas atau tidak lulus, orang tua dari awal sudah paham karena sudah ikut serta mengawal perkembangan anaknya. Juga tidak akan melakukan penuntutan secara hukum, karena hal yang dilakukan sekolah sudah berdasarkan ketetapan tata tertib yang sudah disepakati bersama.

Dari sistem ini, diharapkan akhlak, disiplin dan prestasi peserta didik dari yang kecil hingga yang besar dapat terkawal, semua guru dengan mudah menjalankan tugasnya sebagai pendidik tanpa harus takut akan ancaman hukum, dan semua pihak hidup harmonis tanpa saling menyalahkan.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang pendidikan

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//