CERITA GURU: Nasib Study Tour, antara Rekreasi dan Tujuan Pendidikan
Akar masalah study tour sekolah adalah kurangnya perencanaan pembelajaran dan kurangnya integrasi dengan kurikulum.

Laila Nursaliha
Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.
19 Februari 2025
BandungBergerak.id – Ketika melaksanakan study tour dan pembelajaran di luar kelas, seharusnya yang melekat adalah pembelajaran di ruang kelas. Sebab, pembelajaran bukan hanya bersumber pada guru ataupun pada buku tetapi juga pada lingkungan, alat, teknik, pesan, dan orang di luar gurunya sendiri. Begitulah asal mula pembelajaran di luar kelas menjadi diperlukan. Selain menambah pengetahuan, ia juga bisa menambah pengalaman peserta didik menjadi lebih bermakna dan nyata. Tak hanya merekam melalui pikiran, tetapi melalui tubuhnya.
Kurang lebih sejak tahun 2020, beberapa pemerintah provinsi melarang satuan pendidikan untuk melakukan study tour ke luar daerah. Pasalnya, banyak kecelakaan yang mengintai dan permasalahan lain dalam mengelola perjalanan. Selain itu, study tour yang dilakukan di akhir tahun tak bisa diambil manfaatnya secara berarti dalam desain pembelajaran. Bahkan terkadang tidak memiliki korelasi dengan pembelajaran.
Baru saya terima beberapa hari lalu, larangan study tour ke luar kabupaten. Sayangnya, pemerintah baru melarang. Belum melakukan ke tingkat yang lebih lanjut adalah membenahi akar dari melencengnya study tour dan metode pembelajaran di luar kelas. Sehingga, meskipun larangan pemerintah itu ada, tidak serta merta menjadikan study tour metode pembelajaran yang efektif untuk pembelajaran.
Baca Juga: CERITA GURU: Maafkan jika Belum Optimal
CERITA GURU: Belajar Asal Usul dan Proses Melalui Proyek Membuat Mi Sehat
CERITA GURU: Belajar Bersama Pramoedya Ananta Toer dan Ajip Rosidi
Tujuan Pembelajaran Luput
Kerap terjadi dalam praktik di berbagai sekolah adalah perencanaan terbalik. Idealnya, sekolah dan guru melakukan analisis kebutuhan terlebih dahulu. Selanjutnya, menentukan tujuan pembelajaran. Dimulai dari tujuan pembelajaran ini, pada akhirnya perlu diterjemahkan dalam kegiatan pembelajaran. Sehingga kegiatan yang berlangsung di lingkungan persekolahan adalah kegiatan yang membelajarkan.
Hal yang ada di lapangan malah terjadi sebaliknya, menentukan destinasi terlebih dahulu dan rancangan kegiatannya tanpa tahu apa yang akan dibelajarkan. Inilah yang menjadi akar masalah dari study tour sekolah seperti kurang perencanaan pembelajaran dan kurangnya integrasi dengan kurikulum. Karena memang pada mulanya tidak dirancang untuk belajar. Hanya sebatas rutinitas dan rekreasi biasa. Kegiatan tersebut sebetulnya bisa dilaksanakan bersama keluarga.
Terlebih lagi, banyak sekolah yang kurang memperhatikan kondisi finansial orang tua. Rata-rata, study tour diadakan di akhir jenjang sekolah sebagai ajang perpisahan dan sebagainya. Pada waktu kritis ini, seharusnya peserta didik sudah fokus persiapan untuk ke jenjang berikutnya, dan pembelajarannya sudah selesai. Di sisi lain, orang tua peserta didik perlu menyiapkan finansial untuk memasuki jenjang berikutnya.
Maka menjadi wajar apabila Darmaningtyas, pakar transportasi dan pengamat pendidikan, menyebutkan study tour kurang memiliki manfaat. Sebab tak dirancang pembelajarannya dan tidak disiapkan untuk belajar. Termasuk perhitungan waktu konsentrasi peserta didik, kelelahan dalam perjalanan, bagaimana peserta didik menyerap dengan energi yang cukup, dan sebagainya.
Pembelajaran di luar kelas bisa dilaksanakan tanpa jauh-jauh ke luar daerah dan ongkos yang mahal. Asal dengan syarat mengerti apa yang menjadi tujuan pembelajarannya. Selain memiliki manfaat bagi siswa untuk bisa merasakan pengalaman di luar kelas, siswa juga mengenal lingkungan di sekitarnya.
Alternatif lain di abad ini untuk menghadirkan pengalaman pelajar dari luar adalah dengan virtual tour. Melalui teknologi ini, ia bisa mewakilkan beberapa pengalaman yang ada di luar kelas ke dalam kelas tanpa harus melangkahkan kaki. Betapa banyak sekolah yang berlomba memperkaya dengan peralatan teknologi tapi tak dimanfaatkan. Selain lebih ringkas juga akan lebih murah biaya yang dikeluarkan. Bahkan tanpa mengeluarkan biaya selain listrik dan internet.
Luputnya penerjemahan tujuan pembelajaran ke dalam konteks kebutuhan belajar siswa ini yang menjadi biang keladi dari berbagai masalah pembelajaran. Termasuk salah satunya adalah study tour atau pembelajaran yang memerlukan kunjungan di luar kelas lainnya. Sehingga, merusak citra study tour sebagai metode yang mahal, merepotkan semua orang bahkan menelan korban jiwa.

Perlu “Ngobrol” antar Instansi Pemerintah
Baru setahun lalu, sekolah kami melakukan field trip ke science center. Atas rekomendasi beberapa guru, kami menemukan tempat yang cukup potensial yang masih dalam lingkup wilayah kami. Desainnya menarik, seperti Taman Pintar Yogyakarta versi mini. “Kok saya baru tahu ada wisata pendidikan macam begini” ujarku dalam hati. Sebab, sepanjang perjalanan bolak-balik ke pemerintah kabupaten, tak pernah ada informasi kalau di wilayah kami punya wisata yang sains. Tak ada semacam sosialisasi juga kepada sekolah.
Menurut resepsionis yang waktu itu saya temui, wisata edukasi tersebut sudah ada sejak tahun 2017. Selain lokasinya di seberang wilayah kantor Pemkab, Science Center ini berada di bawah naungan dinas pariwisata kabupaten. Bukankah seharusnya kunjungan ke tempat semacam ini yang perlu dikenalkan kepada anak-anak? Baik sekolah bawah maupun sekolah atas. Karena mereka mengadakan pengembangan kegiatan yang beragam.
Saya semakin heran ketika resepsionis menanyakan kami tahu dari mana keberadaan tempat ini?. Karena, menurut pengalamannya, rata-rata yang datang ke sana adalah warga masyarakat sekitar yang baru tahu. Cukup mengecewakan. Seharusnya dengan pusat pembelajaran sains yang dikemas wisata seperti ini, erat kaitannya kerja sama dengan dinas pendidikan dan sekolah-sekolah yang berada di bawah naungannya. Terutama sekolah negeri.
Selain peran aktif sekolah untuk menentukan tujuan pembelajaran dan menentukan destinasi yang tepat, perlu juga inisiatif dari instansi pemerintah untuk membelajarkan masyarakat. Pasalnya, jika sekolah memiliki kerja sama dengan tempat tertentu, seharusnya ada pihak lain yang bisa mengevaluasi apakah destinasi tersebut memiliki tujuan pembelajaran yang relevan dengan kurikulum di sekolahnya.
Tak jarang kerja sama tersebut bukan untuk kepentingan pembelajaran peserta didik. Jika boleh diamati, lebih sering ada kepentingan lain yang mengabaikan tujuan pembelajarannya bahkan tak ada pembelajaran. Sehingga mendegradasi pembelajaran study tour yang hanya sekedar piknik.
Sudah saatnya guru, sekolah, dan pemangku kebijakan mengevaluasi diri dalam pelaksanaan study tour dan metode pembelajaran di luar kelas. Bagaimana mengefektifkan pelaksanaan pembelajaran ini agar bisa lebih bermakna kepada peserta didik dan dibingkai dalam pembelajaran. Kemudian, orang tua dan masyarakat turut membantu dalam proses pembelajaran peserta didik.
Seperti kata William F. Pinar, seorang pakar kurikulum, pendidikan kita tak akan berubah apabila semua proses pembelajaran dan praktik pendidikan dilaksanakan dalam kerangka business as usual. Dilaksanakan hanya sekadar rutinitas dan tak ada semacam pemberian ruh ke dalamnya.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru