• Narasi
  • CERITA GURU: Maafkan jika Belum Optimal

CERITA GURU: Maafkan jika Belum Optimal

Rasa kagum pada perangai anak-anak di kelas membuat saya diam-diam menetapkan cita-cita untuk menjadi pengajar yang paripurna dan bisa lebih memahami mereka.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Keceriaan di Hari Guru Nasional 2024. Diunggah atas seizin anak-anak semua. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

25 Desember 2024


BandungBergerak.id – Tahun 2024 terasa sedemikian cepat. Nyaris tak ada jeda bagi saya untuk mengikuti semua hal yang relevan, atau sekadar merenungkan peristiwa aktual. Mungkin banyak pula momen bernilai yang telah terlewati. Saya sedikit menyesal, tetapi jika dipikir lagi, sebetulnya itu merupakan sesuatu hal wajar mengingat usia sekarang yang genap memasuki windu keempat.

Di bulan penghujung ini, yang segera muncul di benak tentang 2024, adalah pada saat orang ramai-ramai menggunakan frasa "menyala abangku" untuk menanggapi segala sesuatu; Persib tersungkur di kancah Asia; dan forum warga Dago Elos bertarung habis-habisan menghadapi setan tanah di pengadilan. Persoalan terakhir ini saya kira amat pantas dicermati.

Tahun 2024 juga merupakan tahun kedua saya didapuk menjadi Wali Kelas. Artinya, jika sebelumnya hanya sekadar menjalankan kewajiban sebagai guru mata pelajaran (mapel), maka kini beban ganda bersemayam di pundak. Mungkin ini sebabnya mengapa begitu banyak hal penting dilewati. Namun tentu tidak sedikit pula hal yang didapat selama memberikan pelayanan akademik; mengamati laku siswa-siswi jaman kiwari, dan mengelola administrasi.

Sebagai pengajar yang hidup di era kecanggihan teknologi, saya juga dituntut lebih banyak untuk melakukan inovasi. Selain itu, di tahun kedua ini, saya merasa harus banyak belajar mengenai persoalan yang datang secara tiba-tiba. Sebabnya kita tahu belaka bahwa secara normatif, tugas-tugas kami (siapa pun, dan di mana pun wali kelas) serupa jembatan yang menjadi penghubung siswa, guru mapel, dan orang tua. Itu jelas.

Namun dinamika yang membuntuti di belakangnya begitu kompleks –jika penggunaan diksi ruwet dianggap terlalu urakan. Dan saya kira Pram benar ketika mengatakan bahwa kehidupan itu seimbang. "Barang siapa yang memandang kebahagiaan saja, ia gila. Barang siapa yang melihat segi penderitaan saja, ia sakit," katanya.

Hanya beberapa kali anak-anak membuat saya kurang sedap, ialah pada suatu ketika, awal tahun tepatnya, ada salah satu dari mereka –yang entah punya alasan apa– pulang ke rumah dengan terlambat, dan karenanya membuat kita (saya dan orang tua mereka) panik. Saya geram pada saat itu, dan dikuasai perasaan sentimental, dan khawatir sekali jika hal itu terulang, tetapi saya mampu memaafkannya.

Bagaimanapun mereka adalah remaja yang menyenangkan, dan selalu punya tindakan di luar dugaan: tiba-tiba berniat melanjutkan pelajaran mandiri di luar jam formal, tiba-tiba membuat kejutan di Hari Guru Nasional. Dalam istilah Sunda, perangai demikian dikenal dengan sebutan kayungyun. Saya relatif jarang mendengar perkataan itu sekarang, dan entah kenapa, ada semacam perasaan nostalgik jika orang mengucapkannya depan mata: kayungyun....

Pantun untuk setiap yang telat dari tangkapan layar grup kelas. (Foto: Dokumentasi Yogi Esa Sukma Nugraha)
Pantun untuk setiap yang telat dari tangkapan layar grup kelas. (Foto: Dokumentasi Yogi Esa Sukma Nugraha)

Baca Juga: CERITA GURU: Kata Mereka (Kekhawatiran) ini Berlebihan
CERITA GURU: Sang Pencipta Seribu Profesi
CERITA GURU: Tangan Guru

Pantun

Rabu, 4 Desember 2024. Pagi itu langit Bandung agak kusam. Tidak ada terang dunia yang biasa hadir beberapa waktu setelahnya. Di tengah hujan yang sejak malam masih juga belum reda, ratusan siswa-siswi mulai berdatangan menuju salah satu sekolah swasta di Bandung. Beberapa panitia telah menyiapkan perangkat lunak untuk mengerjakan soal PSAS (Penilaian Sumatif Akhir Semester).

"Maaf, Pak, Izin telat," kata salah satu di antara siswa melalui pesan singkat.

Namanya berinisial HS. Ia bertubuh jangkung, dan memang bukan satu-satunya anak yang kerap terlambat. Dalam derajat yang nyaris pasti, sebetulnya ia dan sebagian besar dari anak-anak di kelas jarang berperilaku macam-macam. Pemahaman menyoal sejarah –mapel yang kebetulan saya pegang– juga boleh dibilang lumayan.

"Ya, silakan," kata saya.

Menurut keterangan teman-temannya, HS merupakan seorang generalis maksimum. Namun, keterlambatan tentu merupakan satu persoalan. Saya berupaya menimbang. Apa yang sebaiknya dilakukan sebagai subjek yang bernaung di lembaga pendidikan?

Secara singkat, intuisi saya mengarah pada penerapan punishment yang sepadan. Itu mudah saja. Namun kita tahu bahwa belakangan di republik ini timbul persoalan mengenai penerapan punishment yang dilakukan beberapa tenaga pengajar. Di Sulawesi Utara, bahkan situasi seperti ini berujung ke pengadilan. Karenanya, saya berpikir ulang dan masih terus berupaya menilik dengan cermat, apa kira-kira punishment yang layak untuk murid yang telat?

Sejak awal saya menjauhi kehendak menerapkan punishment yang tidak masuk akal. Bukan berarti merasa khawatir akan pasal pidana yang mengancam –seperti masalah yang viral belakangan ini– namun lebih kepada efektivitas dalam membentuk kepribadian. Saya memilih jalan untuk menggunakan pantun. Bagi anak-anak, adalah wajib hukumnya membuat pantun setiap kali ada dari mereka yang terlambat datang ke sekolah.

Itu sesuai dengan penjelasan Gary Gore –yang dikutip Musta'in Romli dalam studi berkepala Pemberian Hukuman di Dunia Pendidikan Perspektif Islam (2023, hal. 78)– bahwa peserta didik tidak diperkenankan mendapat ajaran yang diiringi rasa ketakutan. Pembinaan, yang biasa dilakukan Wali Kelas, alangkah baiknya tidak memiliki watak yang punya kecenderungan memaksa.

Menurut penjelasannya lebih lanjut, apabila seorang pendidik hendak menjejalkan punishment yang kontraproduktif kepada peserta didik, secara tidak sadar ia sedang mengajarkan bahwa kebenaran itu mengandung sifat paksaan. Dampak buruknya, kelak bukan kesadaran yang bersemayam dalam diri mereka, tetapi ketakutan semata.

Pojok baca di kelas. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)
Pojok baca di kelas. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

Sembilan Belas Individu Berbeda

Keberagaman merupakan suatu hal yang niscaya. Begitu pula sembilan belas individu yang saya banggakan di kelas XI. Mereka bukan gelas kosong yang bisa diisi cairan apa saja. Mereka manusia. Itu sudah.

Saya akan sedikit bercerita mengenai kesan saya terhadap sembilan belas anak-anak yang ada di kelas. Yang pertama, seseorang dengan inisial AA, yang sangat menggandrungi fisika. Ia pandai menyedot perhatian massa. Memiliki kemampuan mengorganisasi yang mumpuni. Barangkali karena sejak kecil ia mengikuti ekstrakulikuler Pramuka. Namun seperti pada umumnya mereka yang aktif bergelut di organisasi, ia terkadang lupa terhadap apa yang telah menjadi tugas akademiknya. Saya kira itu wajar.

Sementara untuk ketua kelas, dipimpin oleh perempuan berinisial ZF. Ia seorang generalis, dan sekilas terkesan cerewet. Namun sejauh ini mampu memimpin rekan-rekannya yang lain. Ditopang oleh tiga perempuan lainnya, AJ, AF, dan HH, selaku bendahara dan sekretaris kelas, mereka semua telah menjalankan dengan baik kewajiban masing-masing.

Yang unik, perhatian anak-anak di kelas ini bukan cuma melulu berkutat di ranah akademik, tetapi ada juga pegiat seni. Adalah AS dan SF yang merupakan seorang penari, juga musisi. Ada pula KH yang punya keterampilan menggambar, dan hasilnya, cukup memukau. Mereka menaruh concern terhadap apa yang memang telah lama menjadi kesukaannya. Sementara dalam soal bahasa, kemampuan kelima siswa lelaki di kelas muskil diragukan lagi.

Dengan keterangan itu, jelas semua punya peran dan minat berbeda. Saya kira asupan nutrisi yang mereka terima juga berbeda-beda. Jelas pula semua memiliki lingkungan berbeda. Bahkan lingkar pergaulan di luar sekolah yang kemungkinan besar juga berbeda.

Namun, di samping itu semua, tentu saja kita –maksudnya, saya dan orang tua mereka– memiliki angan-angan yang serupa: hendak mengantar pada impian masing-masing anak via pendidikan. Jika kelak menemukan momentum yang tepat, saya berencana mengatakan pada mereka semua untuk menghaturkan permintaan maaf sebesar-besarnya.

Dengan penuh kesadaran, saya mengakui bahwa apa yang sejauh ini diupayakan masih belum bisa berjalan secara optimal. Dalam beberapa kali pertemuan saya harus membagi waktu –untuk tidak menggunakan diksi meninggalkan kelas sekadar mencari tambahan uang saku– yang seharusnya dicurahkan semaksimal mungkin pada mereka. Namun ada alasan yang rasional untuk menjelaskan itu.

Dan semoga kelak mereka juga akan mengerti bagaimana duduk perkara sejelas-jelasnya. Sebab, saya kagum benar atas kesungguhan mereka dalam belajar. Rasa kagum pada perangai yang dipantulkan anak-anak di kelas juga membuat saya diam-diam menetapkan cita-cita luhur untuk menjadi pengajar yang paripurna, dan bisa lebih memahami keinginan mereka.

Itulah alasannya mengapa saya terus berupaya memantaskan diri dengan mendatangi sejumlah diskusi. Dan itu demi punya pemahaman yang memadai. Dalam beberapa kesempatan, saya juga membeli dan melahap habis buku-buku bertema pendidikan yang dipinjam dari seorang teman.

"Tanpa teori revolusi, tidak mungkin ada gerakan revolusi," kata seorang besar yang memiliki cita-cita membawa dunia ke arah keadilan yang nyata.

Ia hidup nun jauh di Timur Eropa sana. Saya merasa ia benar, dan berupaya memodifikasi sedikit kalimatnya dengan pendidikan; meski sadar, bahwa dalam penemuan ilmiah gurunya, pendidikan ditempatkan sebagai suprastruktur atau bangunan atas, dan karenanya, bukan fondasi dasar. Namun apa boleh bikin, itu sudah sesuai dengan kemampuan dan tugas yang sedang –dan mungkin akan terus– saya emban.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//