• Narasi
  • CERITA GURU: Kata Mereka (Kekhawatiran) ini Berlebihan

CERITA GURU: Kata Mereka (Kekhawatiran) ini Berlebihan

Kekhawatiran menjadi salah satu dari sekian banyak naluri orang dewasa yang ditujukan pada generasi muda.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Suasana di tempat peristirahatan bus. Sejumlah anak-anak mengharapkan sang supir menyalakan klakson telolet. (Foto: Dokumentasi Yogi Esa Sukma Nugraha)

28 Agustus 2024


BandungBergerak.id – Selalu ada kesan di setiap liburan. Begitu kalimat yang saya dapat di media sosial. Banyak hal bisa diceritakan, tentunya. Seperti peristiwa yang saya alami pada hari Sabtu, 13 Juli 2024.

Kira-kira satu bulan yang lalu, saya memutuskan ikut bertamasya ke Pantai. Lumayan, pikir saya ketika itu. Bisa menyegarkan isi kepala. Sebab kegiatan belajar mengajar belum berjalan seperti biasa. Masih ada waktu untuk rehat sekitar dua Minggu.

Di tengah perjalanan, saya menepi sejenak. Sekadar meluruskan kaki; menghilangkan rasa lelah, dengan kretek di tangan kiri dan kopi di tangan kanan. Tetapi, sial. Keadaan malah memaksa saya menyaksikan momen-momen menegangkan; mengalami kejadian yang cukup membuat jantung berdegup kencang.

Sejumlah bocah berusia kira-kira 7 tahun sedang asyik bermain di pinggir Jalan Raya Tasikmalaya-Ciamis. Tak lama kemudian salah satu dari mereka tiba-tiba bereaksi ketika ada bus melaju dari arah utara. "Om, telolet! Om!" ungkapnya, seolah memberi isyarat pada sang supir untuk menyalakan klakson telolet dalam tempo sesingkat-singkatnya. Beberapa bus yang hilir-mudik di jalanan sore itu lebih banyak dari biasanya.

Tetapi saya merasa sesuatu yang buruk mungkin bakal terjadi, dan itu merujuk pada suatu hal yang bisa membuat si bocah terjerembap. Sebab, jarak antara Jalan raya dengan posisi si bocah cukup dekat. Seorang lelaki tua yang duduk di sebelah, dengan separuh rambutnya yang sudah menjadi uban, berupaya membuka obrolan kepada saya.

"Hariwang, nya? (Khawatir, ya?)" ujarnya, seolah memberi sinyal bahwa ia, seperti saya, memiliki kesan yang serupa. Saya menduga orang di sekitar juga memiliki alasan sama: melihat sejumlah bocah tadi sebagai anak lembut yang rentan kerasukan roh halus –bahkan bisa saja tiba-tiba mengejar bus tanpa melihat kiri-kanan, dan karena itu memerlukan peringatan, mungkin dalam kategori mendesak.

Barangkali ini merupakan salah satu dari sekian banyak naluri orang dewasa. Boleh-boleh saja dianggap kekhawatiran yang berlebihan. Tetapi menjadi persoalan serius jika subjek yang dikhawatirkan enggan menerima pesan atau mungkin menutup hati dan pikiran dari kebenaran. Biasanya, ini menjangkiti orang bebal.

Baca Juga: CERITA GURU: Berusaha Melampaui Ruang Kelas
CERITA GURU: Menemani Mereka yang Mulai Menulis Esai
CERITA GURU: Guru TK Laki-laki, sebuah Anugerah

Sialnya, ini (Bukan Hanya) Problematika Anak Muda

Ada sebuah fase dalam hidup ketika saya –dan mungkin banyak orang di luar sana– merasa “gerah” dengan apa yang muncul dari kalangan lebih dewasa. Memaknai perangai antik generasi sebelumnya dengan istilah jadul. Kuno. Apa pun kata ganti semacam itu.

Rasanya sulit untuk menahan gejolak yang timbul. Konon, inilah salah satu "penyakit" yang biasa menjangkiti masa-masa remaja. Kalau kata Pak Haji Roma Irama, adalah masa yang berapi-api, mau menang sendiri. Walau salah, tak peduli.

Entah siapa yang kala itu menjadi inspirasi penciptaan lagu Darah Muda dari Pak Haji Roma Irama. Tetapi yang terang, dengan makna nyaris serupa, satu karya yang digagas Iwan Fals dan The Who mampu menggambarkan friksi antargenerasi dengan lirik yang lebih ofensif. Ini bisa dilihat, misal, dalam penggalan lagu Bongkar. Dengan cakap Iwan Fals menuliskan:

"Oraaannggg tuaaaaaaa.. pandanglah kami sebagai manusiaaaaa.. Kami bertanyaaaa, tolong kau jawab dengan cintaaaaa.. Oooh! oooooh!"

Narasi pembangkangan pada kalangan dewasa lainnya ada di dalam lirik The Who yang berjudul My Generation. Konon, My Generation dirancang untuk menarik garis demarkasi antara pihak yang terlibat dalam Perang Dunia Kedua dan yang terlahir pasca-perang.

Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa My Generation bermula dari kekesalan Pete Townshend, sang gitaris, lantaran mobilnya –sebuah mobil jenazah– diderek atas perintah Ibu Suri Elizabeth. Kabar yang beredar mengatakan bahwa, setiap mobil Pete Townshend lewat Istana Buckingham, sang ratu merasa muak. Sebab mobil itu mengingatkan dia pada satu peristiwa kelam: kehilangan suami. Untuk merespons hal tersebut, My Generation pun diciptakan Pete Townshend. Saya coba kutip penggalan awal lirik My Generation agar kita bisa lihat sama-sama:

"People try to put us d-down (talkin' 'bout my generation)

Just because we get around (talkin' 'bout my generation)

Things they do look awful c-c-cold (talkin' 'bout my generation)

I hope I die before I get old (talkin' 'bout my generation)."

Bahkan sejarah awal republik turut mencatat gairah anak-anak muda yang kelak mewujud pada upaya "penculikan" orang dewasa seperti Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Orang boleh saja menilai tindakan pemuda ini berlebihan. Tetapi, kekuatan semacam itulah yang, menurut penjelasan Benedict Anderson –pada taraf menentukan, merupakan pusat daya dorong kekuatan revolusi Indonesia dalam perjuangan merebut kemerdekaan.

Keadaan serupa termanifestasi pula dengan maraknya ungkapan “Ok Boomers” belum lama ini. Tanggapannya beragam. Ada yang menyikapi dengan santai. Ada orang yang terhibur. Ada yang jadi tersinggung. Marah karena sebutan itu.

Setelah (cukup merasa) dewasa –dengan penuh pertimbangan tidak menggunakan diksi tua, saya punya tekad untuk menghindari segala macam perilaku yang menyerupai orang yang biasa dipanggil “Boomers”. Bukan karena apa-apa.

Kadang saya teringat dengan laku sebagian Boomers yang kelewat omong banyak itu. Bawel. Terlalu cerewet. Kadang bikin jengkel jika sok tahu. Walaupun tak jarang menghibur.

Tapi, ternyata sulit untuk tidak ikut banyak omong seperti yang dilakukan orang-orang yang disebut 'Boomers'. Sejak berkecimpung di sekolah, saya juga kerap merasa khawatir. Bagaimana kalau, misalnya, anak-anak terjerumus ke dalam pergaulan bebas? Bagaimana jadinya jika mereka juga menjalin hubungan informal dengan para pengedar narkoba? Astaghfirullah. Naudzubillah.

Untungnya, itu Kenyataan Palsu

Di kemudian hari, saya baru menyadari bahwa beberapa ilmuwan terlibat dalam upaya menjelaskan fenomena semacam ini. Ia cuma satu dari sekian gejala sosial yang telah lama dicari asal-usul dan akar permasalahannya. Ada sejumlah perdebatan yang mengiringi para ahli saat menerangkan soal tersebut, tentu saja.

Sependek temuan saya melakukan upaya pencarian, gagasan menyoal "kesenjangan generasi" ini mulanya dicetuskan Karl Mannheim pada 1928. Ia merupakan seorang sosiolog Hungaria keturunan Yahudi. Kelak, saat gerombolan fasis menerjang negeri tersebut, ia mengungsi ke Jerman lantas menerbitkan esai berjudul Das Problem der Generationen.

Pada tahun 1952, esai ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, diberi judul The Problem of Generations. Nahas, sebagaimana uraian Ken Budha Kusumandaru dalam tulisan berjudul "Mitos Kesenjangan Generasi", teori Mannheim telah dipelintir dan disalahgunakan. Menurutnya, gagasan awal Mannheim sebetulnya turut mendorong orang untuk melihat bagaimana perubahan struktur ekonomi-politik bisa mempengaruhi cara pandang manusia – terutama yang berbeda generasi– terhadap dunia; tetapi teori ini dipelintir menjadi "generasi menentukan bagaimana manusia memandang dunia”.

Padahal, rumusan Mannheim menunjukkan secara jelas bahwa posisi kelas seseorang tetaplah merupakan faktor dominan yang menentukan cara pandang untuk melihat kenyataan. Sialnya, teori "Kesenjangan Generasi" yang diamplifikasi media massa hari-hari ini malah menerangkan sebaliknya: bahwa "generasi adalah faktor utama perbedaan cara pandang atas dunia."

Media massa konvensional –beserta pendengung dan segenap aktor bernama influencer– itulah yang nantinya, menurut Ken Budha Kusumandaru, memungkinkan terjadi bias kelas. Ia telah dimanfaatkan pihak yang berkuasa untuk meracuni teori Kesenjangan Generasi; menciptakan konflik antar generasi, dan mengalihkan perhatian publik dari faktor-faktor perubahan sosial yang kongkret.

Pasalnya, alih-alih melihat kegelisahan generasi muda dari faktor-faktor kelas, ras, gender, dan ketimpangan sosial, "pembangkangan" ala generasi muda ini malah cenderung menyesatkan. Banyak yang melihat hal ini semata-mata terjadi karena disebabkan "generasinya”. Sebagai satu tulisan yang memiliki kecenderungan Marxis yang kafah, tentu saja analisis yang dirancang ini menyasarkan problem pembelokan kacamata "Kesenjangan Generasi" pada musuh bebuyutan: neoliberal.

Semua dijawab usai pertanyaan diajukan: "Mengapa banyak orang yang tidak mempertanyakan agenda di balik paparan media massa yang begitu rajin bicara tentang 'kesenjangan generasi' itu?"

Ia geram, tentu. Sebagaimana saya yang seketika khawatir tatkala melihat secara langsung peristiwa aktual di depan mata. Kala itu, sesampainya di Pantai, saya menyaksikan sejumlah anak-anak berenang agak ke tengah. Mungkin bisa dibilang berlebihan. Tetapi entah kenapa naluri "orang dewasa" semacam ini tiba-tiba kembali mengemuka.

Saya menyadari bahwa dalam dosis tertentu, saya sudah berlaku seperti orang-orang yang disebut “Boomers”. Bahkan yang paling terbaru, adalah ketika melihat informasi mengenai cara untuk mendapatkan tiket masuk ke konser yang bisa dicicil. Pikiran saya menunjukkan bahwa "skema jualan" model ini bisa menjerat anak-anak muda, bahkan menjadi permasalahan yang sangat serius.

Tetapi, saya belum mengetahui bagaimana strategi yang efektif untuk memberi penjelasan pada anak-anak bahwa ini merupakan sesuatu hal yang krusial. Saya khawatir jika kelak mereka turut menyematkan label jadul –tentu saja dengan penuh canda– seperti sebelumnya. Dan itu hanya karena saya belum hafal lagu Bernadya.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//