• Narasi
  • CERITA GURU: Menemani Mereka yang Mulai Menulis Esai

CERITA GURU: Menemani Mereka yang Mulai Menulis Esai

Kita butuh keterampilan untuk bertahan hidup. Saya kira menulis adalah satu dari sekian ribu kecakapan yang dibutuhkan itu.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Ilustrasi guru. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

14 Agustus 2024


BandungBergerak.id – Alifa, Syafiq, Alwan, dan Aisha. Sembari menenteng sejumlah buku bacaan, mereka tampak duduk-duduk santai di satu sudut perpustakaan (Dispusipda Jabar). Hari itu, Jumat, 9 Agustus 2024.

Beberapa hari lagi momen krusial bagi mereka akan segera tiba. Formulir pendaftaran untuk melibatkan diri dalam satu rangkaian acara telah diisi, dan setelahnya, sejarah hidup yang berbicara: empat pelajar dari salah satu SMA swasta di Bandung bakal mengikuti lomba menulis, dan kini, mereka sedang mencari sejumlah informasi dan data yang diperlukan.

"Gugup, euy," kata Alwan.

Ia mengaku gelisah sejak ide mengikuti lomba menulis esai disepakati bersama. Pasalnya, sebagaimana ketiga temannya, ia baru kali ini mengikuti lomba menulis esai. Kawannya yang lain juga tampak berupaya menghalau keresahan yang ada dalam diri masing-masing.

Saya mencoba menenangkan mereka. Dengan penuh keyakinan, saya mengatakan pada mereka bahwa akan ada yang lebih membuat gelisah selain urusan lomba. Itu adalah menunggu hari pengumuman, yang rasanya seperti menunggu pergantian abad.

Mereka pasti ingin melihat karyanya keluar sebagai pemenang. Dan kelak, jika memang kenyataan tidak sesuai harapan, pada detik itu pula saya berencana menemui mereka untuk mengatakan dengan bangga bahwa apa yang sudah mereka ikhtiarkan bukanlah sebuah kesia-siaan.

Lagi pula, kekalahan adalah saudara kembar kemenangan. Kegagalan saudara kembar keberhasilan. Kekalahan dan kegagalan adalah ulah dunia, sebagaimana halnya kemenangan dan keberhasilan.

Ini semacam petuah bijak yang saya dapat dari Koesalah Soebagyo Toer. Di sisi lain, ada orang yang mengatakan bahwa keberhasilan ialah kesanggupan memenuhi tujuan. Tetapi kita mesti lebih dulu bertanya: memangnya apa, sih, yang menjadi tujuan orang untuk menulis?

Jawabannya tentu saja beragam. Ada yang bertujuan untuk mengungkapkan ekspresi diri, ada yang gemar membuat konten berbasis teks, ada yang menggunakannya demi kelancaran komunikasi, atau bisa juga sekadar mencari pundi-pundi. Tetapi, menurut George Saunders, sebagaimana dipetik dari tulisan Dea Anugrah bertajuk "Asal-usul Penderitaan", selagi menulis dia cuma berpikir untuk mengurangi keburukan tulisannya.

"Jika ada kalimat sembrono, ia membuatnya lebih kaya. Jika ada karakter yang terkesan cuma seperti setan, ia memberinya kepribadian dan latar belakang. Begitu seterusnya hingga alat ukur imajiner dalam kepala menunjukkan bahwa ia sudah menulis sebaik yang ia bisa."

Baca Juga: CERITA GURU: Kait Kelindan Kesadaran dan Kesejahteraan
CERITA GURU: Secuplik Kenangan tentang Pak Iwan
CERITA GURU: Berusaha Melampaui Ruang Kelas

Sebuah Gagasan yang Kebetulan

Sebagaimana layaknya sebuah kegiatan di sekolah pada jam-jam istirahat, para murid berkelompok di serambi kelas, tertawa riang dan mengobrol. Ada pula yang berkejaran atau sekadar berjalan-jalan di halaman. Suasana riuh rendah, khas remaja, mengiringi langkah saya di sepanjang koridor.

Siang itu saya hendak menawarkan pada siswa-siswi untuk mengikuti lomba esai. Sebagian mengelak, karena merasa tugas yang sedang dihadapi terlampau banyak. Tetapi, beberapa mengiyakan tawaran saya. Dan itu adalah Alifa, Syafiq, Alwan, dan Aisha.

"Ayo, Pak, gassss!" kata salah satu di antaranya.

Ada yang tersirat dari raut wajah mereka: semangat menyala, gairah ingin tahu, dan tekad untuk bisa menyelesaikan sesuatu. Meski, sekali lagi saya ulangi, ini adalah kali pertama mereka berempat mengikuti lomba menulis esai. Itu pun tidak direncanakan sebetulnya.

Pada hari Senin, 5 Agustus 2024. Secara kebetulan saya membaca satu pengumuman tentang akan diselenggarakannya lomba menulis esai. Informasi tersebut disiarkan melalui akun Instagram Mahasiswa dari kampus Universitas Persatuan Islam. Kemudian, sebagaimana yang sudah dijelaskan di muka, saya menawarkan kepada sejumlah siswa-siswi di sekolah. Alhamdulillah beberapa di antara mereka mengiyakan.

Saya kemudian segera menghubungi “atasan” yang berfokus mengurusi bidang kesiswaan. Ia menerima saya di ruangannya. Meski sejujurnya sampai saat itu pun saya sama sekali belum pernah menemani anak-anak mengikuti lomba, dan saya merasa agak bingung juga menjelaskan kenapa saya tiba-tiba “mendesak” padanya agar anak-anak diikutsertakan.

"Setidaknya ini bisa menambah pengalaman anak-anak," pikir saya. "Atau, minimal untuk bekal mereka dalam menghadapi dunia di luar sana."

Sebab kita tahu belaka bahwa dunia bukan tempat yang sempurna, dan kadang tidak ramah bagi siapa-siapa yang terpaksa memerankan laku semenjana. Kehidupan juga tidak selalu baik-baik saja: ia bisa menghadirkan tantang yang mungkin tidak pernah mereka hadapi sebelumnya. Tetapi, jelas kita butuh keterampilan untuk bertahan.

Saya kira menulis adalah satu dari sekian ribu kecakapan yang dibutuhkan itu. Namun entah karena perasaan ragu, dan sedikit cemas kalau-kalau tidak diberi izin, maka ucapan saya terdengar seperti menggumam ketika menjelaskan kepada “atasan” saya mengenai lomba apa saja yang bakal diikuti. Syukurnya, Wakil Kepala Sekolah Bagian Kesiswaan tidak menunjukkan keberatannya sama sekali.

Ia seumuran paman saya, sikapnya santun, dan saya menduga itu karena ia telah berupaya mengamalkan seluruh butir P4 yang dulu dijejalkan rezim kepadanya. Dengan enteng ia mengizinkan dan memberi kepercayaan pada saya untuk mempersiapkan segalanya.

Rupanya ia cukup senang ada siswa-siswi di sekolah yang cakap menulis. Dan itu terwujud dalam satu pertanyaan yang timbul kemudian: "Siapa saja yang kira-kira bakal ikut lomba, dan bagaimana teknis pelaksanaannya?"

Alifa, Syafiq, Alwan, dan Aisha. Mereka mengunjungi perpustakaan (Dispusipda Jabar) untuk menggali bahan-bahan yang bisa menopang keperluan menulis esai. (Foto: Alifa)
Alifa, Syafiq, Alwan, dan Aisha. Mereka mengunjungi perpustakaan (Dispusipda Jabar) untuk menggali bahan-bahan yang bisa menopang keperluan menulis esai. (Foto: Alifa)

Bermodal Kemauan

"Belum, euy. Sangat buntu. Belum nemu referensi," ujar Aisha, dalam satu percakapan di grup WhatsApp dengan temannya, Alwan.

Memang tampak sekali pikiran buntu menyergap diri masing-masing dari raut wajah mereka. Tetapi semua sirna usai kami sepakat untuk berlatih bersama. Barangkali persiapan lomba juga telah menyatukan mereka dalam persahabatan yang semakin erat, meskipun latar belakang topik yang digarap jelas berbeda-beda.

Kini, saban hari mereka menggali bahan-bahan tulisan sesuai pembahasan masing-masing. Hampir di waktu senggang, mereka juga membicarakan pokok-pokok keperluan menulis yang sudah mulai dikerjakan. Ibarat pada kawan akrab yang begitu bisa dipercaya, bukan tidak mungkin pula mereka saling menceritakan masalah-masalah personalnya.

Keakraban mereka bisa terbukti pada satu kesempatan, sepulang sekolah di hari Jumat, 9 Agustus 2024. Entah siapa yang pertama kali mengajukan ide untuk mengunjungi perpustakaan (Dispusipda Jabar). Kala itu, saya hanya bisa memantau secara virtual.

Saya merasa bahkan upaya yang mereka lakukan bisa menepis kekhawatiran para pendidik atas kehadiran AI. Seperti kita ketahui, konon ia bisa mengancam keterampilan menulis siswa, dan mengurangi pemahaman akan pentingnya merancang sebuah tulisan sebagai upaya mempergunakan isi kepala semaksimal mungkin. Pendek kata, eksistensi AI –beserta derasnya arus konten audiovisual berdurasi singkat– dinilai dapat membuat pikiran semakin runyam.

Tetapi dalam konteks tulisan ini, rasanya seluruh kekhawatiran bisa tertangguhkan. Jika pun ada keterlambatan dalam pengerjaan sebuah esai, saya kira pemakluman harus diberikan. Sebab, mereka semua adalah siswa-siswi kelas XII yang disibukkan oleh berbagai macam tugas harian, dan tentu saja menjaga pikiran untuk tetap fokus menjadi persoalan yang sangat serius. Terlebih ini dilakukan menjelang perayaan hari kemerdekaan –yang mana, bakal disibukkan dengan berbagai lomba di internal sekolah.

Pada akhirnya itu semua “pecah” tatkala melihat “kemajuan” yang perlahan tampak dari tindakan konkret mereka. Saya telah menyaksikan bagaimana mereka semua mengerahkan seluruh kecakapan. Menggunakan segenap pikiran, tenaga, dan perasaan untuk melakukan sesuatu hal yang dapat menjadi pelajaran amat bernilai.

Sejak itu saya meyakini bahwa kelak mereka akan dapat menghasilkan sejumlah karya yang memiliki manfaat bagi orang banyak; menyalakan api dalam diri anak-anak seusianya. Dan bukan suatu kemustahilan jika nanti buah pikiran mereka seliweran di kolom esai bandungbergerak.id.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//