• Narasi
  • CERITA GURU: Kait Kelindan Kesadaran dan Kesejahteraan

CERITA GURU: Kait Kelindan Kesadaran dan Kesejahteraan

Kehendak politik menentukan kemajuan dalam aspek pendidikan. Pada skala kebijakan kurikulum dan perangkat turunannya, hingga keadilan dan pemerataan pendidikan.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Seorang guru honorer membacakan puisi di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat di Bandung, Kamis (25/11/2021). Guru dari sejumlah forum guru honorer menuntut pemerintah segera mengangkat guru PNS. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

20 Maret 2024


BandungBergerak.id – Tampaknya sebagian publik mulai melupakan hingar-bingar yang dipicu momen politik (praktis). Di sekitar saya misalnya –yang sebelumnya didominasi omon-omon kontestasi elektoral, kini berganti menjadi soal lain. Dari mulai kenaikan harga barang-barang pokok, hingga penantian hilal di awal bulan suci Ramadan.

Tetapi, bukan berarti percakapan tentang politik (praktis) ini mengendur sama sekali. Di sosial media, sejumlah cerdik cendekia berupaya merefleksikan peristiwa politik yang memicu (trigger) publik untuk mengemukakan hasil amatannya masing-masing. Ulil Abshar Abdalla, misal.

Ia berupaya menjelaskan fenomena kemenangan salah satu paslon. Dengan ganas ia melabrak kalangan menengah terdidik yang dianggapnya hanya bergulat di seputar isu "kemunduran demokrasi", dan menyebut kelompok ini mengidap gejala middle class intellectual bias.

Saya kira apa yang disampaikan cukup jelas, dan –ya, tentu saja, meski ia kukuh mempertahankan pendapatnya– analisis tersebut memantik perdebatan sengit. Ulil kemudian memperjelas posisinya bahwa ia bukannya hendak menyangkal kecurangan-kecurangan yang terjadi –atau, barangkali, hendak mengambil keuntungan. Ia sekadar mengajak kaum terdidik agar tidak melihat dari satu perspektif yang telah menjadi mainstream.

Ada pun ulasan Abdil Mughis Mudoffir –seorang pengajar di Asia Institute of the University of Melbourne. Dalam esainya, ia mengajak publik untuk mencermati lebih dekat cara kerja demokrasi di Indonesia. Ia juga hendak menyerukan pada siapa pun untuk berhenti menerapkan analisis yang sifatnya personalistik, dan mulai memakai cara pandang struktural.

Hasilnya, menurut Mughis, dapat meredam kekhawatiran publik akan kembalinya otoritarianisme orde baru (Orba). Sebab, ada persaingan di antara para elite yang berupaya memusatkan kekuasaan dan kekayaan di tangan masing-masing dari kelompok mereka. Namun penjelasan ini bukan berarti kondisi demokrasi akan membaik dengan sendirinya.

Ia mengajukan syarat untuk rakyat pekerja bisa menjadi kekuatan nyata dalam melindungi demokrasi dari pembajakan kelompok elite. Sementara di sisi yang berseberangan dengan Ulil, ada ulasan Faris Ahmad Toyyib yang menyeret perspektif Antonio Gramsci untuk menjelaskan praktik hegemoni yang dicanangkan rezim kiwari.

Dalam esainya, ia keberatan atas analisa Ulil, dan menilai bahwa ada upaya kontrol dari kelas atas terhadap kelas bawah untuk melanggengkan kekuasaan yang dimiliki. Dan saya pikir penjelasan terakhir ini sekaligus mampu menjawab salah satu soal di dalam diskusi Di Balik Profesi Guru yang dihelat tim BandungBergerak.id pada 1 Maret 2024.

Kala itu, Tofan Aditya mengajukan sebuah pertanyaan ihwal siswa-siswi menengah yang dituding sebagai generasi ahistoris, dan karenanya, banyak di antara mereka yang memilih pelanggar HAM. Namun, perdebatan yang terjadi belakangan ini justru memantik pertanyaan lanjutan di kepala: sejauh mana batasan politik dan pendidikan?

Baca Juga: CERITA GURU: Merawat Budaya Ilmiah
CERITA GURU: Anak-anak Butuh Sekolah (?)
CERITA GURU: Jalan Terjal Mengajar di SMP Djuantika

Politik Membangun kesadaran

Masih ada sebagian masyarakat yang meyakini satu hal: bahwa politik semata-mata hanya soal kekuasaan. Atau taktik-taktik memperoleh jabatan, dan cara-cara memeluknya dengan erat. Setidaknya itulah pandangan dominan di sekitar saya usai kontestasi elektoral dihelat beberapa waktu silam.

Ada pula orang yang menganggap bahwa politik merupakan sesuatu yang jauh dari kehidupan, yang hanya bisa dimasuki oleh sebagian pihak berkepentingan. Tanggapan yang hadir, biasanya, seperti Inong dalam film The Look of Silence: "Ah, politik."

Dan tentu saja sudah banyak studi yang berusaha menjawab gejala ini. Beberapa ilmuwan menyodorkan hipotesis bahwa upaya Orba memiskinkan imajinasi politik sangat efektif. Walhasil ia bisa bertahan bahkan hingga 26 tahun setelahnya.

Kiwari, hal ini diperkeruh eksistensi buzzer politik dan sebagian influencer ahistoris yang turut berkontribusi menggeser definisi politik dari upaya untuk kemaslahatan hajat hidup banyak orang. Maka tidak heran ketika kita mengkritik salah satu elite, yang terjadi kemudian malah dituding sebagai pendukung elite lain. Ironis memang.

Sebagai tenaga honorer di bidang sejarah –yang beririsan dengan literasi politik bagi peserta didik– fenomena yang terjadi belakangan ini kadang membuat pesimis. Namun tentu saja menyerah bukan solusi. Barangkali kesabaran yang maksimal diperlukan dalam menyikapi persoalan ini. Lagi pula, apa, sih, batasan pendidikan dan politik?

"Pendidikan ada karena politik," tulis Dr. Marsel R. Payong, seperti dikutip dari Prolog: Literasi Politik Demi Keadaban (2019, hlm. xi). "Begitu juga sebaliknya."

Ia melanjutkan bahwa kegiatan pendidikan sebetulnya merupakan hasil konsensus politik, mulai dari kurikulum hingga anggaran pendidikan. Penjelasan ini mengukuhkan determinasi politik atas pendidikan yang pada akhirnya dapat memungkinkan untuk membangun kehidupan lebih baik.

Bahkan, seharusnya relasi erat antara politik dan pendidikan mampu memberangus tendensi pihak yang memaksa pendidikan sekadar untuk memenuhi kebutuhan pasar atau kepentingan elektoral. Pertanyaan selanjutnya, lalu apa yang mendasari kurangnya inisiatif sebagian publik pada politik?

Kesejahteraan

Cukup banyak studi yang menjelaskan fenomena tersebut. Salah satunya adalah paternalisme politik yang kian menjadi akut. Situasi semakin buruk tatkala oligarki mengambil dramaturgi politik di daerah-daerah.

Abdil Mughis Mudoffir turut mengafirmasi hal ini. Menurutnya, kejatuhan rezim otoriter Soeharto pada 1998 tidak hanya menghasilkan demokratisasi, tapi juga desentralisasi hubungan patronase ke aktor-aktor politik yang berbeda, yang sebagian besar terkait dengan jaringan lama.

Situasi semacam inilah yang memungkinkan publik kian merasa inferior, sementara elite politik menjadi semakin superior untuk menyutradarai permainan politik di berbagai tingkatan. Meski sebetulnya beberapa publik sadar telah menjadi wayang politik, dan para komprador yang merupakan dalang, kian seenaknya mengatur jalannya pemerintahan, sesuai dengan kepentingan.

Salah satu upaya yang dapat memecahkan soal ini, menurut Mughis, adalah memiliki organisasi yang kuat.  Sebab, kelompok masyarakat sipil dianggapnya terlalu lemah untuk secara signifikan menantang kepentingan anti-demokrasi.

Tetapi, yang kini menjadi pertanyaan, akankah tudingan "telah diorkestrasi" yang beberapa waktu lalu diarahkan pada sejumlah akademisi kembali ditembakkan?

Saya pribadi mengamini bahwa kehendak politik menentukan kemajuan –termasuk di dalam aspek pendidikan. Kehendak politik ini bukan saja pada skala kebijakan kurikulum dan perangkat-perangkat turunannya, namun juga pada keadilan dan pemerataan pendidikan.

Tentu saja tatkala percakapan ihwal pemerataan kian masif, maka akan berkelindan dengan problem material (kesejahteraan) pendidik. Pemerataan muskil terjadi tanpa situasi material yang memadai.

Persoalannya, jika suara guru besar saja bisa dengan mudah dituding partisan, lantas apa kira-kira yang bakal dilemparkan pada "guru kecil" seperti kami ini?

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Guru.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//