• Narasi
  • CERITA GURU: Jalan Terjal Mengajar di SMP Djuantika

CERITA GURU: Jalan Terjal Mengajar di SMP Djuantika

Jika kendala saya hanya jarak yang sangat jauh menuju sekolah, mungkin ada banyak kendala dan problem lebih besar yang dihadapi oleh guru-guru honorer yang lain.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Bersama siswa SMP Djuantika di Cicalengka, Kabupaten Bandung. (Foto: Dokumentasi Hafidz Azhar)

13 Maret 2024


BandungBergerak.id – Bulan September lalu, saya mulai mengajar IPS di SMP Djuantika. Tak ada rencana apa pun untuk mengajar di sana, sekalipun peluang pengabdian untuk menjadi guru di sekolah itu sangat terbuka lebar. Satu hal yang paling penting, bahwa mengajar IPS di sekolah menengah bukan perkara mudah. Saat duduk di bangku Aliyyah, saya memang pernah mengenyam di kelas IPS, namun ini bukan satu-satunya alasan jika saya akan menemukan jalan tanpa hambatan.

Ada beragam tantangan yang saya dapat selama mengajar di sekolah. Pertama, tantangan dari dalam kelas.

Kebetulan, selain di Djuantika saya menjadi dosen di dua perguruan tinggi. Awalnya saya merasa ada ketimpangan dari segi penguasaan pengajaran. Ketika sudah terbiasa memberikan materi kepada mahasiswa, sialnya, saya harus beradaptasi dengan siswa-siswi yang sulit untuk diatur agar mereka bisa menyimak dengan baik saat berada di dalam kelas. Selama satu bulan, saya mesti memikirkan cara bagaimana supaya anak-anak ini betul-betul memperhatikan saya.

Akhirnya, saya mendapat cara yang cukup jitu: mendikte, menjelaskan kembali, lalu anak-anak tersebut diperintahkan untuk menulis surat kepada teman sebangkunya. Surat ini bukan sekadar korespondensi, tetapi berisi rangkuman pelajaran yang telah dipahami oleh masing-masing siswa. Biasanya, pada sesi diskusi maupun tanya dan jawab, para siswa enggan untuk melontarkan opini atau pertanyaan-pertanyaan. Dengan menulis surat, tidak ada alasan bagi mereka untuk malu bertanya atau berpendapat, sehingga surat ini sekaligus sebagai ruang privasi yang cocok untuk menumpahkan segala unek-unek. Meski cara ini tidak selalu efektif, tetapi hal ini bisa membiasakan para siswa dalam kegiatan menulis, terutama mengenai soal-soal yang formal dengan pola gaya bercerita.

Baca Juga: CERITA GURU: Belajar tanpa Dinding Ruang Kelas
CERITA GURU: Merawat Budaya Ilmiah
CERITA GURU: Anak-anak Butuh Sekolah (?)

Jarak Menuju Sekolah

Kedua, banyak tantangan lain di luar kelas berkaitan dengan jarak antara rumah dengan sekolah. SMP Djuantika berada di ujung dataran tinggi Cicalengka, yang secara administratif terletak di Desa Tanjungwangi. Untuk menempuh Djuantika saya mesti menghabiskan waktu selama satu jam setengah yang setara dengan 29 kilometer. Jika tidak terhambat oleh kemacetan, biasanya saya berhasil tiba di sekolah lebih cepat dengan kurun waktu kurang dari satu jam. Itu pun jika diuntungkan oleh musim kemarau, karena kering jalanan menjadi mudah untuk dilalui. Jika memasuki musim hujan, saya harus melaju dengan penuh hati-hati, karena jalanan yang licin sekaligus berlumpur, curam dan berkelok-kelok.

Setelah memasuki masa dua bulan mengajar di Djuantika, saya sempat diterpa kejadian buruk selepas pulang dari sekolah. Kondisi jalan yang terjal dan berkelok membuat saya tidak bisa melihat lalu-lalang motor yang datang dari arah berlawanan. Satu unit sepeda motor dengan dua orang penumpang harus bertabrakan dengan motor yang saya kendarai, sehingga waktu itu terjadi kecelakaan yang mengakibatkan saya terjatuh dan menghancurkan bagian depan motor. Untungnya, saya hanya mengalami lecet. Sementara dua orang yang bertabrakan dengan saya hanya terjatuh tanpa ada luka yang serius.

Sepanjang jalan Dampit-Tanjungwangi, saya kerap memerhatikan bangunan baru yang rawan bencana. Coba tengok, misalnya, Menantu Resort yang letaknya tepat berseberangan dengan kawasan bukit Candi. Kalau tidak salah, perumahan ini baru dibangun sekitar satu tahun yang lalu. Menurut informasi yang saya peroleh dari  rumahmenantu.mkland.id, Menantu Resort mempunyai konsep investasi villatel berupa view 360 derajat pertama di Bandung. Dengan dikelola oleh Sahid Hotel, Menantu Resort juga memberikan jaminan passive income untuk dua tahun pertama sebesar 10 persen. Bukan hanya itu. Dari segi tata ruang, terdapat berbagai wahana yang didesain bukan sekadar untuk dijadikan tempat tinggal. Berdasarkan desain yang ditampilkan, Menantu Resort rencananya akan diisi oleh beragam fasilitas andalan. Ada Infinity Pool, Korean Town, Dino Park serta Mini Zoo dan Mini Park, sehingga hal ini menjadi nuansa yang menggiurkan bagi kalangan pemilik modal.

Selain Menantu Resort, ada juga kantin dan vila yang belakangan baru tampak berdiri kokoh. Tentu saja ini bukan kabar baik bila memperhatikan dampak ekologisnya, meskipun sampai kini saya sendiri belum melihat adanya bencana besar yang terjadi akibat dari pembangunan tempat-tempat tersebut. Dampak terkecil mungkin sudah saya rasakan. Buktinya, selama proses pembangunan di musim hujan, jalanan sangat licin akibat lumpur tanah merah, sehingga laju motor yang saya kendarai mesti berjalan secara perlahan.

Saya membayangkan, bila perjalanan dari rumah menuju Djuantika akan semakin sulit daripada sebelumnya. Jalan yang saya lewati tidak hanya terjal dan berliku, begitu juga dengan pemandangan sawah, gunung dan sungai yang mengalir, tidak akan lagi saya lihat penuh dengan khidmat. Tentu saja, ini bukan semacam gejala overthinking, namun nyata adanya bahwa kondisi jalan yang harus saya tempuh sudah dalam tahap yang mengkhawatirkan.

Pun demikian ini bukan semacam keluhan yang muncul dari seorang guru sekolah menengah yang masih pemula. Apa yang saya bayangkan dan alami merupakan salah satu kenyataan yang cukup pahit, di antara kenyataan-kenyataan lain yang dialami oleh semua guru honorer. Jika kendala saya hanya jarak yang sangat jauh untuk menempuh sekolah, mungkin ada banyak kendala dan problem lebih besar yang dihadapi oleh guru-guru lain tetapi mereka bisa melalui semuanya dengan prinsip amor fati. Itulah mengapa ketika saya ditawari mengajar di Djuantika oleh Nurul enam bulan yang lalu, saya merasa tertantang untuk turut merasakan pula atmosfer sebagaimana yang dirasakan oleh guru-guru yang berada di belahan pelosok dengan berbagai rintangannya. Kala itu, tidak ada sedikit pun terbersit untuk menolak tawaran dari Nurul. Malah saya berpikir untuk menerima tawaran tersebut supaya kelak saya pun bisa merasakan menjadi guru honorer dengan segala kerumitannya.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Hafidz Azhar, atau membaca artikel-artikel lain tentang guru.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//