• Narasi
  • CERITA GURU: Anak-anak Butuh Sekolah (?)

CERITA GURU: Anak-anak Butuh Sekolah (?)

Apakah program wajib belajar membuat anak-anak belajar selama di sekolah?

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Seorang anak membantu temannya belajar di ruang kelas SDN Cibungur Kelas Jauh. (Foto: Dini Putri/BandungBergerak.id)

6 Maret 2024


BandungBergerak.id – Lili, guru penanggung jawab kelas Keputrian di sebuah SMA swasta di Yogyakarta, gemar bercerita tentang anak-anak yang ia didik setiap harinya. Ia hafal masing-masing siswa dari kelas X sampai dengan kelas XII. Bukan hanya soal akademik, tapi juga soal kehidupan anak didiknya. Di mana mereka tinggal, bersama siapa, perhatian orang tua terhadap anaknya, hingga percobaan-percobaan nakal yang dilakukan oleh muridnya. Bukan hanya hafal tapi juga paham.

Itulah hasil yang disebabkan dari pulang lebih lambat daripada guru yang lain. Ia juga rela menangguhkan waktu liburnya untuk membersamai anak-anak berkegiatan. Ia mendedikasikan hampir seluruh waktunya di sekolah. Bahkan kami masih bersama Bu Lili –panggilan kami– hingga detik-detik jelang hari perkiraan lahir.

Di pertengahan tahun 2016, Mbak Fitria dan saya diminta untuk mengisi kelas Keputrian setiap hari Jumat. Di waktu laki-laki salat Jumat. Dengan gambaran umum yang mereka butuhkan mengenai materi-materi keputrian. Awalnya, kami menyangka akan berkisar mengenai materi keagamaan namun materinya diserahkan kepada kami untuk membahas soalan perempuan, belajar, dan juga keagamaan.

Permintaannya hanya satu : mengajar dengan cara anak muda. Lulusan Magister teknologi pendidikan UNY itu, meminta kami mengisi dengan selain metode ceramah. Karena sudah bisa ditebak, anak-anak akan tidur ditambah kebanyakan guru mengajar dengan metode demikian. Jadi, sepertinya kami perlu hadir untuk memberikan penyegaran.

Baca Juga: CERITA GURU: Melihat Apa yang Sekilas Tidak Terlihat
CERITA GURU: Belajar tanpa Dinding Ruang Kelas
CERITA GURU: Merawat Budaya Ilmiah

“Dipaksa” Sekolah

Semenjak program internasional bertajuk education for all (pendidikan untuk semua) digaungkan di seluruh dunia, banyak negara mulai memberlakukan kebijakan compulsory education (wajib pendidikan). Termasuk Indonesia memiliki program yang bernama Wajib Belajar. Awalnya, pada tahun 1984 dicanangkan oleh pemerintah Indonesia selama 6 tahun. Dengan capaian pemberantasan buta huruf yang bagus, pada tahun 1989 program Wajib Belajar ini ditingkatkan menjadi 9 tahun dan sekarang menjadi 12 tahun.

Latar belakang kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja. Asumsinya adalah semakin banyak orang bisa mengakses pendidikan, maka semakin bagus kualitas sumber daya manusianya. Sebab perkembangan ekonomi yang terjadi perubahan dari human capital ke human development. Di mana pergeseran tanggung jawab pendidikan berubah yang semula menjadi tanggung jawab individu menjadi tanggung jawab masyarakat, juga negara.

Maka, sebagai warga negara tidak ada pilihan lain selain untuk menempuh pendidikan dan terdaftar di sekolah untuk pendidikan wajib. Di beberapa negara, orang tua bisa terkena hukuman jika anaknya tidak masuk sekolah. Di sini peranan orang tua menjadi penting untuk memotivasi anaknya bersekolah. Tak terkecuali kami, yang sedang diberi tugas memotivasi anak-anak wajib belajar 12 tahun agar terus belajar.

Katanya, membandingkan dengan yang kurang beruntung dari diri sendiri merupakan cara paling mudah untuk mensyukuri nikmat. Cara itu pula yang kami pakai dari para pelatih yang pernah mengisi anak-anak SMA. Kali ini, materi yang diminta oleh Bu Lili adalah untuk menyemangati anak-anak belajar. Tentu saja kelas diadakan tanpa kehadiran Bu Lili.

Membandingkan perjuangan adalah jalan ninja bagi para guru untuk memantik semangat anak-anak. Tanpa pikir panjang, kami memutar tayangan perjuangan anak pedalaman yang perlu berjalan puluhan kilometer menuju sekolah: melewati gunung, menyusuri lembah, melintasi sungai. Di akhir, kami akan berdialog bersama mereka tentang apa yang mereka pikirkan mengenai tayangan tersebut.

Satu di antara mereka mengangkat tangan. Siswi SMA itu mengatakan bahwa sekolah bukanlah atas kehendaknya. Tapi kehendak orang tuanya. Ia ke sekolah hanya untuk memenuhi keinginan orang tua. Jadi, dia bebas saja melakukan apa pun asalkan sekolah. Begitulah isi perjanjian dengan orang tuanya.

Pendapat itu dikuatkan oleh temannya  seraya berkomentar, “Kami gak minta sekolah kok.” Jadi, untuk mengusir kejenuhan, ia bersekolah untuk bertemu dengan teman-temannya. Atau sekedar mendapat uang jajan. Setelah itu, sedikit dari mereka yang peduli akan tugas, jiwa rasa penuntut ilmu, meningkatkan kompetensi sebagai peserta didik, dan sebagainya yang sewajarnya dilakukan oleh siswa SMA. Meskipun kemampuan akademik mereka tak perlu dipertanyakan.

Setelah kelas, mereka pun memperpanjang obrolan dengan kami. Anak-anak ini, tak sedikit dari mereka yang sudah berpikir mengenai jodoh. Dalam salah satu sesi pertemuan, para gadis ini begitu antusias apabila dihadapkan dengan pelajaran terkait pernikahan, membangun keluarga, dan kemungkinan-kemungkinan apa yang terjadi antara mereka dan pasangannya.

Berbeda Latar Belakang

Bagi kami yang memiliki kehidupan hanya seperlima dari biaya SPP bulanan anak SMA yang kami bersamai, kondisi itu membuat kami tercengang. Meskipun hanya 60 menit per pekan, tapi cukup membuat kami berpikir keras selama seminggu untuk menghasilkan materi yang pas. Masalahnya bukan pada materi yang akan disampaikan tapi tentang bagaimana cara menyampaikan materi ini agar bisa terhubung dengan anak-anak?

Senior saya, anak gaul Jakarta, sering mengingatkan bahwa banyak orang yang kelihatan sok gaul atau sok asyik menjelma menjadi makhluk aneh demi masuk ke kancah pergaulan anak gaul. Utamanya tak mengetahui rasa dan hakikat gaulnya anak gaul ini bagaimana (?). Sehingga akhirnya hanya tahu permukaan tanpa menyelami kedalamannya. Memang, untuk masuk ke dalam lautan, perlu masuk ke dalam gelapnya. Bukan sekedar berenang di tepian.

Bu Lili merupakan guru penyayang. Ia bertekad mencerabut muridnya dari berbagai kenakalan dan kegelapan. Setiap selesai kelas, Lili selalu meminta pemakluman kami tentang anak-anak muridnya. Semuanya ia ceritakan secara detail kehidupan anak-anak yang dibesarkan tanpa perhatian yang cukup dari orang tua. 

Tentang anak perempuan yang sering pulang malam dan tinggal hanya di apartemen tanpa pengawasan orang tua. Tentang anak perempuan yang sering bermain di malam hari dan pulang pagi. Tentang anak perempuan yang jarang bertemu orang tuanya karena sibuk menjabat di sana sini. Atau tentang anak yang jenuh di rumah dan bersekolah hanya untuk pelampiasan semata agar bisa kabur dari rumahnya.

Saya sebagai anak desa yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan apalagi dari hidup dengan cara mereka, tak pernah tahu bagaimana perasaan mereka. Apakah memang mereka cukup dengan materi yang disediakan oleh orang tua mereka? Atau mereka memiliki sebuah keinginan yang lain yang tak terucapkan? Apakah mereka terlanjur nyaman dengan kondisi mereka sekarang sehingga tidak perlu sekolah?.

Melalui Ibu Lili, saya belajar memahami dan tidak cepat-cepat menghakimi perilaku anak-anak yang ada sekarang. Anak-anak menjadi seperti sekarang ini merupakan manifestasi dari perlakuan orang tua dan orang-orang sekitarnya. Kelapangan akan perilaku anak adalah kunci untuk memahami perilaku mereka. Anak remaja memang perlu keterbukaan dari orang dewasa di sampingnya. Banyak hal yang menjadi hambatan karena banyak yang tidak mengerti tentang keinginan anak-anak remaja.

Cukup keras tamparan satu jam per pekan berturut-turut ini, sebelum saya beranjak dari Yogyakarta. Dari satu tahun ini, saya berkesimpulan bahwa memang membersamai anak-anak perlu memasuki ke dalam dunianya. Jalan pintas sekaligus jalan yang panjang menelusuri alam pikir dan jiwa mereka. Sejatinya, membersamai anak-anak belajar adalah belajar untuk menyelami diri sendiri sekaligus memahami jiwa mereka.

Bisa jadi, tahapan perkembangan manusia bisa dipandang secara universal. Tapi, dengan keberadaannya dalam konteks sosial ekonomi, keadaan keluarga, sekaligus budaya tempat mereka bergaul membuat mereka tak lagi sama. Jadi, apakah dengan program wajib belajar membuat anak-anak juga belajar selama di sekolah? Atau hanya sekadar formalitas menggugurkan kewajiban demi untuk mendapatkan pekerjaan.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang guru.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//