• Narasi
  • CERITA GURU: Merawat Budaya Ilmiah

CERITA GURU: Merawat Budaya Ilmiah

Guru merupakan profesi yang terlahir langsung dari aktivitas intelektual. Sebagai guru perlu mengembangkan kepekaan tertentu dalam keilmuan dan praktik pendidikan.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Guru memandu murid di SDN 025 Cikutra, Bandung Jumat (2/9/2022). Kota Bandung memiliki ruang-ruang kelas yang memerlukan perbaikan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

28 Februari 2024


BandungBergerak.id – “Kalau kamu mau belajar yang paling mutakhir mengenai pembelajaran, tengoklah ke fakultas kedokteran. Di sana banyak dikembangkan cara belajar terbarukan. Salah satu alasannya adalah keilmuan ini berkembang cukup cepat dan pesat. Yang menjadi menarik, karena jurusan ini berhubungan dengan nyawa manusia.”

Itulah sepenggal kalimat yang saya ingat pada Pameran Pendidikan yang merupakan agenda tahunan di program studi Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. Dengan khusyuk saya mendengarkan paparan dari senior teknologi pendidikan yang saat itu sudah menjadi widyaiswara sebuah Balai Pelatihan di Jakarta. Sampai matahari terbenam, bahkan hampir tutup, kami masih membedah praktik-praktiknya sebagai widyaiswara.

Semenjak itu, saya senang. Sebab buku yang berjudul Komplikasi, tulisan dokter bedah kenamaan Amerika, Atul Gawande, bisa saya pergunakan sebagaimana mestinya. Bukan hanya untuk kesenangan belaka, tetapi pembuka gerbang pengetahuan.

Semenjak petuah itu datang, saya mulai menyadari bahwa nasib saya dikelilingi oleh mahasiswa di bidang kesehatan yang senang belajar. Jadwalnya padat dan sibuk. Ritmenya cepat. Mereka selalu lebih di depan daripada kami dari sisi teknologi pendidikan. Maka slogan kami adalah tiada hari tanpa belajar.

Kecepatan dan ketepatan menjadi penting di bidang ini. Nyawa manusia tidak bisa menunggu barang sepersekian detik. Ketika sesuatu terjadi pada tubuhnya, tidak bisa diprediksi. Buku-buku tebal siap menanti. Penelitian terbaru tak cukup diperbaharui sesekali. Harus berkesinambungan, sehingga ia akan menjadi dokter yang lebih efektif. Satu lagi, selain mendiagnosis penyakit, mengerti secara utuh mengenai manusia dan seisi tubuhnya secara utuh.

Dalam urusan belajar, seharusnya, mahasiswa pendidikan, yang belajar mengenai bagaimana caranya belajar mengajar perlu ada di depan. Tapi saya yang sering bolak-balik keluar masuk kampus tetangga menemukan satu hal yang sebenarnya tidak boleh terjadi pada mahasiswa di kampus pendidikan yaitu kurang belajar.

Baca Juga: CERITA GURU: Mendapat Hadiah Buku tentang Peristiwa 1998
CERITA GURU: Melihat Apa yang Sekilas Tidak Terlihat
CERITA GURU: Belajar tanpa Dinding Ruang Kelas

Mengembangkan Kompetensi

Pengalaman belajar semasa perkuliahan sedikitnya terbawa hingga sekarang. Setelah kami menjadi guru (dan juga membantu guru). Kami mencoba mengembangkan cara-cara ilmiah untuk menggali berbagai kasus anak. Seperti tradisinya para dokter yang menjadikan landasan bukti yaitu evidence based medicine sebagai basis keilmuan dari pengobatannya. 

Obsesi pakar pendidikan menjadikan pendidikan seperti bidang kedokteran memang terjadi. Pendidikan diterjemahkan dari yang paling umum hingga paling teknis. Meski sama-sama berhubungan dengan manusia, nyatanya dua bidang ini sangat berbeda. Dokter bisa dianggap sebagai profesi yang memerlukan keahlian untuk mengobati. Sedangkan guru dalam bidang pendidikan masih belum menemukan kesepakatan antara dipandang sebagai pekerjaan relawan, pengabdian atau profesional.

Cara terdekat untuk lebih realistis digunakan oleh guru agar lebih bertanggungjawab terhadap keilmuannya adalah membaca. Membaca adalah jalan termudah dan tersingkat. Selain itu dengan belajar secara formal maupun non formal, mengikuti pelatihan dan kursus.

Seperti halnya dokter yang menentukan terapi untuk berbagai diagnosisnya berdasar kepada bukti ilmiah dalam artikel ilmiahnya, begitu pun yang dilakukan oleh guru. Saya dibuat kagum dengan berbagai macam terapi di bidang kesehatan dan kaya akan konteks. Tentang uji klinis, faktor penyebab, tentang kasus, tentang obat, banyak yang bisa saya pelajari.

Saya cukup optimis untuk menjadikan Mengajar Berbasis Bukti (Evidence based Teaching) sebagai jalan ninja menentukan model, metode, teknik apa yang pas dilakukan di kelas di dalam pembelajaran. Jalan paling aman dan bertanggungjawab secara profesional untuk menangani berbagai permasalahan dalam pembelajaran anak.

Belajar Memperluas Pemahaman

Guru merupakan profesi yang terlahir langsung dari aktivitas intelektual. Idealnya guru tidak memiliki masalah dalam hal membaca dan mengembangkan ilmu secara pribadi. Membaca sudah menjadi salah satu kebiasaan yang sudah mendarah daging dalam hidupnya. 

Seperti apa yang dinyatakan seorang filsuf Alfred North Whitehead, aktivitas pembelajaran mengalami penurunan sebab adanya kelembaman ide, gagasan, dan aktivitas intelektual. Maka tak heran bila guru disebut juga sebagai aktor intelektual. Selain praktik mengajar, diharapkan guru dapat mengembangkan dan berinovasi dengan keilmuan dan model-model pembelajaran baru.

Maka, setidaknya saya berpikir sebagai guru perlu mengembangkan kepekaan tertentu dalam keilmuan dan praktik pendidikan. Pertama, mempelajari secara benar tentang teori-teori pendidikan dan pembelajaran. Kedua, memahami konteks sosial dan budaya serta kondisi kejiwaan dari peserta didik itu sendiri.

Pertama, mempelajari teori dengan benar sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal. Selama ini, mungkin kita belum bisa berteori bahkan belum bisa memanfaatkan teori dengan benar. Sebagian kalangan menjadi apatis terhadap hal-hal yang sifatnya teoritis. Sebagian lain mengagungkan praktik yang katanya sudah baik. Seolah-oleh teori itu menjadi tidak penting.

Kedua, memahami konteks sosial dan budaya serta kondisi kejiwaan dari peserta didik itu sendiri. Upaya untuk memahami konteks ini kadang terabaikan. Itulah mengapa kadang dalam praktiknya tidak sesuai dengan harapan. Seperti penggunaan cooperative learning di kelas. Bagi kelas saya, mungkin tidak cocok atau perlu waktu yang lebih lama.

Menurut paper yang ditulis oleh Nguyen (2016), model belajar Cooperative Learning datang dari masyarakat anak-anak yang tumbuh dalam alam barat. Ada perbedaan yang signifikan karena ada perbedaan tipikal anak yang tumbuh dalam alam barat dan alam timur. Transfer kebudayaan ini yang menjadi faktor yang jarang diperhatikan. Perbedaan alam dan struktur sosial menjadikan para guru seharusnya tidak menelan mentah-mentah apa yang ada di dalam teks.

Pada akhirnya, menjadikan bekal-bekal cara belajar yang telah diperoleh selama pendidikan di perguruan tinggi menjadi alat untuk mengatasi masalah. Hal itu lebih efektif untuk memetakan masalah kami selain dengan berdiskusi dan mendengarkan praktik baik dari kawan sejawat. Masing-masing guru tetap memiliki tanggung jawab untuk dirinya sendiri meningkatkan kualitas pengajarannya.

Upaya menerapkan kebiasaan di sekolah memang satu hal yang lebih efektif dari cara mana pun. Membangun budaya sekolah yang dimulai dari gurunya, akan mempermudah menyalurkan pelajaran dan kebiasaan kepada anak didiknya. Membangun dan merawat budaya ilmiah, memang sudah seharusnya menjadi kewajiban profesional bagi profesi guru yang dibangun oleh bongkahan penelitian.

Kata mutiara yang diajarkan di pondok pesantren Gontor bahwa metode itu lebih penting dari materi ajar, dan guru itu lebih penting daripada metode, tetapi ruh seorang guru lebih penting dari guru itu sendiri. Sudah saatnya guru tidak hanya fokus kepada bagaimana caranya mengajar tetapi juga fokus untuk membangun jiwa dan ruh yang baik agar peserta didik menjadi lebih baik.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Guru.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//