• Narasi
  • CERITA GURU: Mendapat Hadiah Buku tentang Peristiwa 1998

CERITA GURU: Mendapat Hadiah Buku tentang Peristiwa 1998

Buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 (Muhidin, 2024) dibagikan gratis pada beberapa guru sejarah SMA. Ada apa dengan bahan ajar peristiwa 1998?

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 terbitan Gerpolek (2024). (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

7 Februari 2024


BandungBergerak.id – Menjelang pemilu 2024, tensi politik kian terasa hangat. Masing-masing pendukung bakal calon presiden dengan penuh hasrat saling melempar pendapat di ruang publik. Substansinya beragam.

Sebagian memang memikat. Tetapi ada pula yang dangkal. Dan tentu saja semua kontestan pemilu 2024 sepakat dalam satu hal, bahwa yang dituju adalah meraih dukungan dari sebanyak-banyaknya orang.

Bersamaan dengan semua itu, ada satu peristiwa yang menyita perhatian masyarakat di media sosial. Pada tanggal 19 Januari 2024, kurang lebih tiga Minggu jelang Hari pencoblosan, penerbit Gerpolek merilis Buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998.

Buku setebal 516 halaman itu disusun Muhidin M. Dahlan – seorang sejarawan partikelir, yang juga pendiri Warung Arsip. Di dalamnya, banyak hal menarik. Dan dengan metode kliping, buku ini merupakan benteng pertahanan warga dalam upaya menolak lupa, atau, meminjam istilah Muhidin, “Melawan pemberangusan ingatan.”

Baca Juga: CERITA GURU: Musisi yang Menjadi Pendidik
CERITA GURU: Ketika Saya Duduk di Kelas Prof. Hamid Hasan
CERITA GURU: Menjadi Guru Magang di SMAN 1 Cimahi

Ilham dari Kerja Pram

Kelahiran buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 menjadi anomali seiring dengan pendangkalan yang kerap dicanangkan jajaran elite politik terhadap publik. Semacam cahaya terang yang layak menjadi pijakan banyak orang menjelang hari pencoblosan. Dengan penggunaan metode kliping, sesungguhnya alasan ini cukup mudah dipahami.

"Operasi kliping adalah metode paling saya kuasai untuk tidak naif oleh badai disinformasi," ujarnya tegas, sebagaimana disitat dari akun sosial media Muhidin M. Dahlan, Kamis, 1 Februari 2024.

Dalam utas itu ia menyerukan publik luas untuk tidak –menggunakan istilah yang digunakannya– memalaikatkan sosok ini dan itu yang justru di-shutdown oleh reformasi lantaran tangannya berlumuran darah demi kekuasaan.

Kagum benar saya dengan kerja-kerja yang dilakukannya. Sekilas pikiran saya bertanya tentang dari mana ia mendapat dorongan untuk melakukan hal yang amat sangat jarang dilakukan orang-orang. Berbagai upaya penelusuran dicoba untuk sekadar mengetahui apa-apa yang mungkin terlewati.

Dan kemungkinan jawabannya singkat: Pram (Pramoedya Ananta Toer). Begitulah kira-kira dugaan saya sementara. Muhidin M. Dahlan merupakan pengagum sosok penulis Lekra asal Blora tersebut. Bahkan mungkin ia mengenali Pram secara personal. Beda halnya dengan mayoritas generasi seusia saya yang hanya bisa berkenalan dengan beberapa novel fenomenalnya.

Dengan cermat Muhidin memetik pelajaran dari Pram bahwa, "Andaikan anak-anak remaja di SMA punya kebiasaan mengkliping, pastilah gurunya takut. Mereka enggak bisa dibohongi karena tahu masalah sampai akar-akarnya. Tahu fakta. Sayang sekali. Pendidikan Indonesia tak pernah ndidik muridnya tekun nggali fakta."

Ilham yang ia ambil dari Pram itulah yang –diakui langsung olehnya– menginspirasi untuk menggunakan metode kliping. Bahkan menurutnya, kegunaan metode kliping ala Pram itu bukanlah sekadar tugas ekstrakurikuler siswa-siswa asuhan Orba, melainkan salah satu cara tua untuk tidak didustai.

Satu hal menarik lainnya ialah saat ia menegaskan bahwa upaya mengkliping adalah kerja politik. Dengan bernas ia beberkan sejumlah hal terkait pernyataannya tersebut. Dan tentu ucapan terima kasih melayang pada kerja-kerja jurnalistik yang telah mencatat kisah warga dan negara dengan penuh ketekunan.

"Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 adalah benteng agar punya sabuk pengaman saat 'wewegombel' berzirah brahmana casciscus di temlenmu," katanya, seolah mengingatkan publik akan laku lancung intelektual karbitan.

Mendapat Hadiah

Bagi saya, peristiwa 1998 merupakan suatu hal yang lamat-lamat di ingatan. Bukan tanpa sebab tentu saja. Pada waktu itu, saya masih sangat belia. Yang paling dikenang, hanyalah momen ikut kampanye bersama keluarga besar nenek yang, meminjam terminologi ilmuwan barat, merupakan penganut Islam Tradisional yang taat. Dengan demikian, menjadi wajar jika dukungan sepenuhnya ia berikan pada partai berasas nasional-religius yang dipimpin Hamzah Haz.

Seiring perjalanan hidup, kewajiban akademik menuntut saya untuk mengetahui lebih jauh: apa dan bagaimana sebenarnya rentetan peristiwa di sekitar tahun 1998. Dan terbitnya buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 tentu saja membuat saya ikut senang. Sebab akan membantu memperkaya pemahaman mengenai detail peristiwa yang terjadi pada kurun waktu tersebut.

Kebahagiaan bertambah tatkala Muhidin M. Dahlan bersama Prof. Zainal Arifin Mochtar (Mas Uceng) mengumumkan bahwa mereka akan membagikan buku gratis bagi beberapa guru sejarah. Seorang teman mengajukan saya untuk mendapatkannya. Mengingatkan pada satu percakapan sebelumnya  mengenai siswa-siswi di kelas XII yang memang sudah memasuki materi Perkembangan Kehidupan Politik dan Ekonomi di era Reformasi.

Beberapa hari kemudian tibalah waktunya. Saya mendapat pesan langsung dari akun sosial media Muhidin M. Dahlan. Sulit kiranya untuk menahan perasaan girang tatkala diberi informasi bahwa saya memiliki kesempatan jadi salah satu pengajar yang mendapat buku tersebut. Bukan hanya perkara rupiah tentu saja. Tetapi, justru upaya keduanya yang layak diberi hormat, sebab mampu mengambil alih tugas utama pemerintah: mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika sempat, dan sebetulnya memang sudah berniat, akan saya ulas lebih jauh di waktu luang. Tetapi, sekilas muncul pertanyaan di kepala: ada apa dengan guru mata pelajaran sejarah SMA?

Alasannya ternyata sudah diungkap sebelumnya, dan sederhana saja. Bahwa ia, bersama Prof. (Uceng) Zainal Arifin Mochtar, mempunyai seorang putri yang duduk di bangku SMA, dan merasa tak mendengar apa-pun dari kelas soal-soal peristiwa 1998 sebagaimana topik dalam buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998.

Saya merasakan aura kebenaran dalam pernyataan tersebut. Sekaligus ingin turut menambahi sedikit saja. Memang nyaris sulit ditemui jika menelusuri Buku Paket Sejarah Indonesia (edisi revisi 2018). Tetapi, dalam Modul Sejarah Indonesia kelas XII yang disusun Kemendikbud (2020, hlm. 7-8), sekilas disebutkan  mengenai aksi demonstrasi yang menyebabkan tewasnya sejumlah mahasiswa.

Artinya bukan berarti tidak ada sama sekali. Hanya saja memang porsinya yang begitu minim. Walhasil, dengan rilisnya buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998, itu sudah lebih  dari cukup untuk membantu peran-peran guru di sekolah menengah, wabilkhusus yang mengajar sejarah wajib. Berikut saya kutip uraian mengenai kekerasan aparat negara terhadap mahasiswa yang ada di Modul Sejarah Indonesia kelas XII KD 3.6 dan 4.6:

"Dengan banyaknya aksi demonstrasi, membuat aparat keamanan kewalahan dan bertindak keras terhadap aksi tersebut. Akibatnya bentrokan antara mahasiswa dan aparat keamanan tidak dapat dicegah. Pada tanggal 12 Mei 1996 mahasiswa berdemonstrasi di Universitas Trisakti. Aksi damai tersebut berubah menjadi insiden bentrokan dengan aparat ketika mahasiswa ingin melakukan long march menuju gedung DPR/MPR. Dalam insiden tersebut empat mahasiswa tewas dan puluhan lainnya mengalami luka-luka. Empat mahasiswa tersebut adalah: Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hertanto.

Mereka mendapat gelar Pahlawan Reformasi. Sebelum insiden Trisakti tersebut, di Jogjakarta seorang mahasiswa yang bernama Moses Gatotkaca tewas ketika melakukan aksi menuntut mundurnya Presiden Soeharto. Moses Gatotkaca

meninggal pada tanggal 8 Mei 1998.

Kejadian Trisakti tersebut memicu terjadinya kerusuhan massa pada tanggal 13 dan 14 Mei di Jakarta dan sekitarnya. Tragedi kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998 ini merupakan titik kulminasi depresi masyarakat akibat krisis ekonomi Indonesia. Pascatragedi ini suasana Jakarta sangat tegang, hingga digelarnya aksi demonstrasi besar-besaran pada tanggal 19 Mei 1998 oleh para mahasiswa. Mereka melakukan Long March menuju gedung DPR/MPR dengan tujuan menuntut turunnya Presiden

Soeharto, menggelar Sidang istimewa MPR, dan pelaksanaan reformasi total dalam tubuh pemerintahan negara."

Silakan dilihat –dan, jika sempat, bisa dikomparasikan dengan bahan ajar yang rilis pada era sebelumnya. Toh, jelas memang segitu saja. Malah bukan hanya singkat. Namun pembahasan yang dimuat lainnya juga memiliki kecenderungan di seputar politik elite. Nyaris tidak ada informasi mengenai perlawanan yang dilakukan, misalnya, kalangan rakyat miskin kota, di dalam materi tentang kehidupan reformasi ini. Padahal, tentu saja peran mereka terhadap laju perubahan sosial sulit untuk dikesampingkan.

Sampul depan laporan Catatan Akhir Tahun 2023 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). (Sumber: kpa.or.id)
Sampul depan laporan Catatan Akhir Tahun 2023 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). (Sumber: kpa.or.id)

Bukan Kampanye Hitam

Sejumlah tanggapan telah mengiringi kelahiran buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998. Umumnya publik menilai positif. Sejauh ini, memang belum (atau mungkin saya luput) melihat gegeran yang dipicu oleh pendukung salah satu pasangan calon (paslon) yang, dalam istilah Zen RS, akan selalu menjadi kerikil dalam sepatunya.

Tidak perlu rasanya untuk sekaligus menyebut nama. Yang jelas, reputasi gemoy-nya selama ini bisa rontok seketika. Semua gimmick dan kerja keras konsultan politiknya selama berbulan-bulan juga bisa ambruk dalam semalam.

Di zaman "viral adalah panglima" seperti sekarang –jika meminjam istilah Muhidin– kecerobohan sekecil apa pun bisa membakar lumbung. Dan saya kira buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 ini memiliki daya untuk meledakkan kecerobohan semacam itu. Sebabnya sederhana saja. Dan bukan hal yang muskil jika terbitnya buku ini dinilai "serangan" bagi mereka. Tetapi, oleh karena faktual, maka, jelas bukan fitnah.

Ada jarak yang signifikan antara kebenaran dengan fitnah. Bahkan, sekali lagi meminjam istilah Zen RS, andai pun tidak ada kasus HAM di masa lalu yang belum terungkap, andai saja tidak ada orang-orang hilang yang belum kembali, isu HAM tetap relevan dibicarakan untuk memastikan presiden terpilih punya sikap yang jelas mengenai hak hidup, hak beribadat sesuai keyakinan, hak untuk tidak diintimidasi, dan hak warga atas tanah.

HAM di atas Segalanya

Semua itu menjadi penting terlebih sepanjang 2023 –menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)– setidaknya ada 241 konflik agraria yang terjadi di atas tanah seluas setengah juta hektar, yakni 638.188 ha, tersebar di 346 desa dengan korban terdampak sebanyak 135.608 Kepala Keluarga. Melalui kalkulasi sederhana, jika dalam satu keluarga rata-rata terdiri dari empat jiwa, artinya, lebih dari ½ (setengah) juta orang menjadi korban letusan konflik agraria pada tahun 2023.

Sedikitnya 608 orang (578 laki-laki dan 30 perempuan) menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi. Jika dirata-rata, setiap hari dua orang menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi akibat penanganan yang represif di wilayah konflik agraria. Para korban tersebut menerima beragam tindakan kekerasan, yakni kriminalisasi, dianiaya, tertembak dan bahkan tewas saat memperjuangkan hak atas tanah mereka.

Hasil pemantauan KPA, sedikitnya 508 orang (490 laki-laki dan 18 perempuan) mengalami kriminalisasi, 91 orang (79 laki-laki dan 12 perempuan) mengalami kekerasan dan penganiayaan, 6 (enam) orang tertembak dan 3 (tiga) orang tewas di tangan aparat keamanan maupun pihak keamanan perusahaan. Dibanding tahun 2022 dengan 497 kasus kriminalisasi, terjadi kenaikan kasus kriminalisasi pada tahun ini. Namun yang penting menjadi catatan adalah brutalitas aparat di wilayah konflik menunjukkan tren yang sangat mengkhawatirkan.

Dengan demikian, layak menjadi bare minimum bagi siapa-siapa yang kelak memimpin republik untuk mengarusutamakan HAM di atas segalanya –jika figur itu memang ada. Dan memang kepekaan akan HAM pula yang sekaligus didapat saat membaca buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998. Ia  memantik segenggam harap– paling tidak, serupa doa Latifah al-Zayyat yang dikriminalisasi rezim Anwar Sadat:

"Tuhan, rahmatilah demokrasi dan kebebasan berpendapat."

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Guru.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//