CERITA GURU: Menjadi Guru Magang di SMAN 1 Cimahi
Alih-alih mendikte, saya lebih tertarik untuk mendengar. Mereka memiliki perspektif yang unik. Mereka lebih ingin mendalami siapa sebenarnya Dilan ketimbang Kartini.
Tofan Aditya
Pengelola Komunitas dan Program BandungBergerak.id, dapat dihubungi di [email protected]
31 Januari 2024
BandungBergerak.id – Kuliah di program studi pendidikan membuat saya, mau tidak mau, suka tidak suka, harus mengajar ke sekolah. Sejujurnya, menghadapi murid-murid serupa mimpi buruk. Pengalaman semasa sekolah dulu membuat saya khawatir. Ya, saya takut mendapatkan karma.
Sebagai murid yang agak nakal, guru dari kalangan mahasiswa sudah barang pasti menjadi bahan candaan saya dan kawan-kawan. Terhitung hanya satu-dua saja yang bisa tahan menghadapi tingkah kami. Bahkan, sekali waktu, sampai ada guru "magang" yang menangis, saking bercanda kami yang keterlaluan.
Tapi apa mau dikata, untuk mendapatkan gelar sarjana, mengajar ke sekolah adalah jalan ninja yang harus digabrug. Dalam hal ini, terhitung, dua kali saya mendapatkan pengalaman sebagai guru "magang". Pertama, ketika mendapatkan mata kuliah Pendidikan Lapangan Satuan Pendidikan (PLSP). Kedua, ketika mengambil data penelitian skripsi.
Untuk yang pertama, tidak terlalu berkesan. Saat itu Covid-19, hari-hari hanya dilalui dengan mengecek Google Classroom dan presentasi lewat Zoom Meeting. Paling-paling, kalau ada jadwal piket dan harus mampir ke sekolah, rasa bosan diusir dengan bermain catur dan pingpong. Sungguh pengalaman praktik lapangan yang monoton.
Barangkali, satu-satunya cerita menarik ketika PLSP adalah ketika saya ketiduran di jam mengajar. Kebetulan, kelas yang saya dampingi berisi murid-murid ambisius. Bukannya senang karena gurunya tidak masuk, mereka malah protes. Saya didemo siswa satu kelas. Beruntung tidak ada yang sampai membakar ban atau melempar molotov.
Oke, cukup cerita untuk pengalaman pertama. Saya tidak ingin mengorek luka lama (terlebih kata-kata si murid lebih jleb dari cuitan buzzer Capres di Twitter). Saya justru ingin banyak bercerita tentang pengalaman kedua.
Jadi begini. Kala itu, saya menjejak semester 10. Kurang dari 40 hari lagi jadwal sidang skripsi. Dasar memang mental mahasiswa, merasa skripsi saya kurang jos, saya memilih untuk mengganti judul. Keputusan yang, bagi saya, keren sekaligus tolol. Saya mesti, seperti yang sering diucapkan oleh Mas dan Mbak SPBU, "Mulai dari nol".
Dengan segala ketiadaan, pengambilan data harus tetap jalan kalau tidak mau bayar UKT lagi. Mencari sekolah yang tidak ribet dalam una-inu adalah keharusan. Lokasi penelitian yang kemudian saya pilih adalah SMAN 1 Cimahi. Sebagai alumni, setidaknya saya bisa sedikit lobby-lobby. Walaupun ya nyatanya ndak pengaruh-pengaruh amat.
Semua proses administrasi saya lewati dengan lancar. Saya ditempatkan di kelas 12, sesuai dengan topik skripsi saya: menulis esai. Saya mengajar di 3 kelas: XII IPA 1, XII IPA 4, dan XII IPA 5. Selama 6 pertemuan, saya mendapatkan pengalaman yang tidak akan terlupakan.
Baca Juga: Catatan untuk Guru Husein
CERITA GURU: Musisi yang Menjadi Pendidik
CERITA GURU: Ketika Saya Duduk di Kelas Prof. Hamid Hasan
Cerita Saat Mengajar
Ketika menginjakkan kaki ke kelas, wajah murid-murid, entah kenapa, terlihat sumringah. Apakah karena wajah saya terlihat seperti Komeng? Tentu tidak dong. Asumsi saya, mereka cengar-cengir karena melihat celana katun saya yang kedodoran.
Bu Melly, guru pamong, mengenalkan saya di hadapan murid-murid. Murid laki-laki terlihat tidak terlalu ambil peduli, apalagi murid perempuan. Bu Melly menjelaskan kalau saya akan menggantikan dirinya mengajar selama 3 minggu ke depan.
Satu dua anak berbisik. Selebihnya tetap asyik dengan kesibukan masing-masing. Selepas mengenalkan saya, Bu Melly kembali ke ruang guru: meninggalkan saya sendirian bersama murid-murid.
Satu. Dua. Tiga. Lima. Sepuluh langkah. Guru pamong terus berjalan. Ketika suara kaki tidak lagi terdengar, murid pun bersorai. Saya bingung, mengapa mereka segembira itu?
Dengan gestur kaku dan nada pelan, saya meminta mereka untuk tenang. Mereka manut. Saya mengabsen satu demi satu. Semua berlangsung normal. Sampai sini, bayangan menyeramkan tentang mengajar tidak saya temui. Saya mulai percaya diri.
Saya memberanikan diri untuk mengeksplorasi banyak hal. RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang telah saya buat sebagian saya tinggalkan. Mereka sepertinya senang dengan tingkah saya yang cilingcingcat, yang tidak seperti guru pada umumnya.
Setelah hari pertama itu, bertemu murid-murid adalah hal yang paling saya rindukan. Beberapa masih saya ingat nama dan karakternya: Agnes, murid cerdas sekaligus tengil; Adam, murid yang sudah anarkis sejak dalam pikiran; Samuel, murid yang selalu izin ke toilet padahal mampir ke kantin; Syabil, murid yang diam-diam mendapat nilai tertinggi; Naufal, murid yang sok asyik tapi friendly; Delon, murid yang selalu berisik. Dan, murid-murid lain yang tidak bisa saya sebutkan di sini satu per satu.
Di hadapan mereka, saya tidak ingin berada di posisi yang lebih tinggi. Saya ingin satu frekuensi. Alih-alih mendikte, saya lebih tertarik untuk mendengar. Mereka memiliki perspektif yang unik. Mereka lebih ingin mendalami siapa sebenarnya Dilan dibandingkan Kartini. Mereka juga lebih tertarik mendengar celoteh kalau saya telat lulus dan gelisah karena teman sebaya sudah banyak yang menikah daripada mendengar biografi Chairil Anwar.
Hari-hari kami lalui dengan happy koyowo. Kami sering bercanda satu sama lain, saling melempar ejekan. Tidak ada murid yang menertawakan saya, justru kami tertawa bersama. Label "slay" pun dilekatkan kepada saya (yang sampai sekarang saya tidak tahu artinya apa).
Proses pengambilan data skripsi berjalan lancar, persis arus lalu lintas Jakarta di musim lebaran: tanpa hambatan. Tiba sudah kami di pertemuan terakhir. Saya meminta mereka untuk menuliskan kesan pesan selama diampu oleh saya. Saya terharu ketika membacanya.
“Bapak jaga kesehatan, jangan terlalu memaksakan diri kalau sudah kecapean. Terima kasih sudah mengajar di kelas kita.”
"Asik banyak cerita, saya jadi termotivasi menjadi bapa. Semangat skripsinya pa! Jangan jadi kuncen UPI."
“Mendengar cerita bapa, saya berharap semoga bapa cepet-cepet bertemu pasangan bapa.”
"Pesannya buat bapak jangan terlalu baik hahaha nanti murid-muridnya ngalunjak wkwk."
"Tutor balikan sama Mantan (kalau ada tips and triknya). Gpp sih pak walau ending yang sama, masalah yang sama, yang penting kenangan yang sama juga."
“Santai, kalem, bantai. Apa yang lebih bawah dari Palung Mariana? Rank MU.”
Saya kemudian menilai karya esai-esai mereka. Hasilnya lumayan. Idenya beragam, beberapa bahkan di luar nalar. Dalam segi kebahasaan, nilai mereka memang rata-rata biasa, tapi itu tidak masalah. Setidaknya mereka jadi paham kalau belajar Bahasa Indonesia tidak membosankan seperti yang mereka kira.
Epilog
Syukur, sidang skripsi telah saya lewati meskipun sambil "yawloh, yawloh". Buah karya saya diapresiasi oleh ketiga penguji, begitu juga jas hijau kebesaran yang saya kenakan. Beberapa revisi minor tidak menjadi penghalang kebahagiaan di momen tersebut.
Ucapan selamat membanjiri media sosial saya. Beberapa di antaranya adalah murid-murid saya. Mereka berpesan agar saya segera mencari istri yang salihah. "Dasar murid kurang ajar, masih saja sempat-sempatnya mengejek," gumam saya sambil terkekeh.
Kemudian, satu notifikasi muncul di gawai saya. Ternyata Bu Melly. Beliau bertanya kabar.
"Gimana sidangnya? Lancar?" Tanya guru pamong saya tersebut.
"Alhamdullillah Bu, hehe," saya bingung mengapa beliau bisa tahu. Sependek ingatan saya, saya tidak memberi tahu.
"Syukurlah, tadi anak-anak doain kamu bareng-bareng loh,"
Saya tertegun.
"Bu ayo Bu, Pak Tofan sekarang sidang, kita doain bareng-bareng," tulis Bu Melly menirukan perkataan murid kelasnya.
Mata saya berkaca.
* Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Tofan Aditya, atau membaca artikel-artikel lain tentang Guru.