• Opini
  • Catatan untuk Guru Husein

Catatan untuk Guru Husein

Ridwan Kamil akan mencarikan solusi untuk guru Husein Ali Rafsanjani. Berbeda dengan nasib yang dialami guru M. Sabil Fadhillah. 

Fauzan

Pegiat Pendidikan dan Literasi

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dalam peresmian perubahan nama Jalan Layang Pasupati menjadi Jalan Layang Mochtar Kusumaatmadja di Bandung, Selasa (1/3/2022). Penyebutan kata maneh pada Ridwan Kamil menjadi polemik. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

13 Mei 2023


BandungBergerak.idHusein Ali Rafsanjani telah berhasil mencapai tujuannya. Guru SMP Negeri 2 Pangandaran itu kini menjadi pusat perhatian lantaran kontennya yang mengungkap dugaan pungutan liar (pungli) di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pangandaran. Kontennya yang viral di media sosial membuat Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Pangandaran dinonaktifkan.

Pungli terjadi saat guru seni budaya itu mengikuti Latihan Dasar (Latsar) CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) sebagai salah satu bagian dari proses untuk menjadi PNS. Sejumlah uang dihimpun untuk biaya transportasi dari Pangandaran menuju lokasi Latsar di Gedebage, Kota Bandung pada Oktober 2021. Sekalipun Husein menggunakan kendaraan pribadi untuk sampai ke tujuan. 

Sang guru muda sempat melaporkan kejadian tersebut melalui laman lapor.go.id. Namun aksinya itu konon malah mendatangkan tentangan bahkan intimidasi dari sejumlah pihak yang tidak bertanggung jawab. Tak kuat dengan tekanan, sejak Maret 2022 Husein balik Bandung dengan menjadi honorer di SMP Negeri 29 Bandung.

Setahun terakhir, kabarnya Husein sempat mengajukan mutasi hingga pengunduran diri namun tidak kunjung dipenuhi. Sampai pada akhirnya kontennya viral dan mendapat undangan untuk bertemu langsung dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Orang nomor satu di Tatar Pasundan ini berkomitmen mencarikan solusi termasuk pilihan memutasi Husein ke SMA yang memang di bawah kewenangannya.

Terang saja, permohonan mutasi PNS yang baru diangkat tahun 2020 itu tidak digubris pengelola kepegawaian. Ada klausul yang menyatakan bahwa seorang PNS tidak boleh meminta pindah ke instansi lain sebelum masa kerjanya mencapai 10 tahun. Sekalipun ada ketidaknyamanan yang diperoleh seorang abdi negara di tempat kerjanya. Sebab, masih banyak alternatif solusi lain yang bisa dipilih. Komunikasi yang baik dengan berbagai pihak jauh lebih disarankan.

Mutasi pegawai saja tidak dipenuhi apalagi ajuan pengunduran diri. Jelas tidak akan dikabulkan. Masa kerja Husein sebagai abdi negara baru seumur jagung. Sesuai Undang-undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), seorang PNS baru bisa mengajukan pensiun dini apabila telah memasuki usia minimal 45 tahun dan masa kerja 20 tahun. Sementara Husein baru berusia 27 tahun dengan masa kerja 3 tahun.

Entah itu disadari atau tidak oleh sang guru muda. Satu hal yang menjadi catatan merah adalah pilihannya untuk pergi mengajar ke Kota Kembang. Ia merasa tidak bisa menuntaskan persoalan di tempat kerja dan memilih lari dari tanggung jawab. Jika Husein tidak takut mengungkap dugaan pungli, di saat yang sama mestinya ia juga berani melawan hawa nafsunya sendiri untuk kembali ke tanah kelahiran.

Bagaimana bisa guru ber-NIP (Nomor Induk Pegawai) Pangandaran malah menjadi honorer di daerah lain sejak Maret 2022 atau lebih dari setahun lalu? Dari sisi aturan, jelas itu merupakan pelanggaran disiplin pegawai. PNS selalu dan pasti terikat oleh aturan termasuk soal kehadiran. Husein bukan tokoh kartun Naruto yang bisa membelah diri dan pada saat yang sama ada di dua tempat berbeda. Ia jelas tidak akan bisa merekam sidik jari atau wajahnya pada mesin absen sebagai bukti kehadiran.

Satu catatan yang penting untuk diperhatikan. Dugaan pungli itu sangat harus diungkap dan pelaku mesti ditindak. Namun di sisi lain, pelanggaran disiplin pegawai juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Pungli tidak bisa dibenarkan sebagaimana pelanggaran disiplin tidak bisa dibiarkan. Jika sampai lahir keputusan Husein dimutasi ke SMA, itu hanya akan melegitimasi pelanggaran yang telah dibuatnya. Ini jelas akan menimbulkan preseden buruk bagi PNS lainnya.

Baca Juga: Menyiapkan Guru ≠ Menyajikan Mi Instan
Mengingat Mang Oded dari Dekat

Beda Perlakuan Husein dan Sabil

Kasus Husein mengingatkan kita pada kasus M. Sabil Fadhillah, guru SMK di Cirebon yang juga sempat viral di media sosial dua bulan lalu. Namun nasib kedua guru ini berbanding terbalik. Ketika itu, Sabil harus menerima kenyataan pahit dibebastugaskan dari tempatnya mengajar. Komentarnya di salah satu postingan IG Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menjadi penyebabnya.

Sabil yang masih berstatus honorer mempertanyakan positioning orang Ridwan Kamil saat melakukan virtual meeting dengan siswa SMPN di Tasikmalaya. Pasalnya, pada pertemuan jarak jauh itu, Ridwan Kamil mengenakan jas berwarna kuning khas Partai Golkar yang kini menaunginya.

Dalam zoom ini, maneh teh keur jadi gubernur jabar ato kader partai atau pribadi @ridwankamil??? (Dalam zoom ini, Anda sedang jadi gubernur jabar atau kader partai atau pribadi @ridwankamil???)” tulis Sabil.

Sang Gubernur pun bereaksi dengan membalas: “@sabilfadhillah ceuk maneh kumaha? (menurutmu bagaimana?)

Perlakuan yang diberikan Kang Emil pun jauh berbeda antara kepada Sabil dengan Husein. Komentar Sabil di-pin yang lantas menjadikannya sebagai samsak hujatan warganet. Sebaliknya, Husein beroleh kemewahan dengan adanya undangan pertemuan langsung dengan Kang Emil. Bahkan simpati publik begitu positif.

Padahal jika ditilik dari sisi etika, masalah Sabil terletak pada pemilihan kata-kata karena perbedaan persepsi terhadap bahasa. Terdapat perbedaan makna kata maneh di tempat tinggalnya di wilayah Pantura dibandingkan dengan di Kota Bandung, tempat Kang Emil berada. Bandingkan dengan Husein yang secara etika pun bersalah karena mangkir mengajar, lari dari tanggung jawabnya sebagai abdi negara.

Ironis memang. Namun demikianlah faktanya. Persamaan Sabil dan Husein mungkin kini mereka tidak lagi mengajar di tempat mereka sebelumnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//