• Opini
  • Mengingat Mang Oded dari Dekat

Mengingat Mang Oded dari Dekat

Selama 21 bulan saya menemani Mang Oded. Selama itu saya mengenalnya sebagai sosok humanis-agamis, yang dekat dengan siapa pun.

Fauzan

Pegiat Pendidikan dan Literasi

Keluarga, kerabat, dan kolega melayat ke pendopo rumah dinas Wali Kota Bandung, Jumat (10/12/2021). Wali Kota Bandung, Oded M. Danial, meninggal dunia sesaat sebelum naik mimbar untuk jadi khatib salat Jumat di Masjid Jalan Sancang. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

23 Desember 2021


BandungBergerak.idLebih dari sepekan berlalu Oded M. Danial, mantan Wali Kota Bandung, dipanggil Yang Maha Kuasa, Jumat (10/12/2021). Bak petir di siang bolong, kabar tentang wafatnya pria yang akrab disapa Mang Oded mengagetkan setiap orang yang mendengarnya. Termasuk warganet yang seringkali melemparkan rundungan terhadap hampir setiap sepak terjangnya dalam memegang tampuk pimpinan Pemerintah Kota Bandung, pun tidak kalah kaget.

Bagaimana pria asal Tasikmalaya itu mengembuskan napas terakhir cukup untuk membungkam segala kritikan yang selama ini dialamatkan kepadanya. Kritikan, hujatan, cibiran, bahkan cacian makian seolah justru berbalik kepada pemberinya karena begitu indah cara Allah SWT memanggil: saat salat sunat sebelum menjadi khatib Jumat. Membuat setiap orang iri melihat seorang umaro sekaligus ulama wafat dengan cara seperti itu.

Ratusan bahkan mungkin mencapai seribu lebih orang turut menyolatkan entah di Masjid RS Muhammadiyah, pendopo Kota Bandung, maupun Masjid An-Nur Tasikmalaya—dekat tempat permakaman. Ratusan ribu warganet menyaksikan dalam kanal Youtube Diskominfo saat prosesi pemakaman berlangsung. Belum lagi ratusan karangan bunga berderet di depan pendopo tanda banyak pihak berkabung.

Kepergian Mang Oded adalah kehilangan bagi banyak orang. Tidak terkecuali bagi saya yang tidak kurang dari 21 bulan menemani beliau sebagai notulen. Akan tetapi saya termasuk orang yang beruntung beroleh kesempatan untuk turut melayani di akhir-akhir hayatnya. Memberikan dukungan melalui catatan-catatan pertemuan resmi almarhum selama memimpin Kota Bandung.

Keberuntungan yang tidak bisa diperoleh setiap orang. Saya menyaksikan betul betapa almarhum konsisten dalam mengajak kepada kebaikan, menaati aturan, berprinsip pada keadilan, memanusiakan manusia, menjalin silaturahmi tanpa pandang latar belakang, rendah hati kepada siapa pun.

Pernah satu kesempatan, tepatnya Oktober dua bulan lalu, kami para staf diajak bepergian ke Kota Magelang. Mang Toha—tukang kebun yang kepercayaan almarhum, pun turut dalam rombongan. Almarhum tak segan mengajak Mang Toha berbagi jok semobil dalam perjalanan panjang balik Bandung.

Bagi saya pribadi, kesempatan terbesar dan akan sulit terlupakan adalah ketika banyak waktu diskusi, menyerap ilmu langsung dari politisi senior Partai Keadilan Sejahtera itu. Seringkali di sela menemani zoom meeting, Mang Oded bercerita tentang perjalanan kariernya baik saat menjadi teknisi di IPTN (sekarang PTDI), membangun bisnis sedari remaja, maupun perjalanan panjang berpolitik.

Saya jadi tahu kalau usia beliau yang tercatat di KTP lebih muda setahun dari aslinya. Saat wafat 60 tahun akan tetapi di dokumen kenegaraan 59 tahun. Ia pun baru tahu ketika sudah dewasa, tepatnya setelah beberapa kali jamaah pengajiannya ketika masih bekerja di IPTN bertanya ihwal nama belakangnya—Danial, apakah berkaitan dengan mualaf atau tidak.

Baca Juga: Jumat Keliling Terakhir Mang Oded
Sepeninggal Mang Oded, Yana Didorong Memprioritaskan Masalah Sampah dan Sengketa Tanah

Mang Oded dan Kang Pisman

Berada di lingkaran staf Mang Oded membuat saya lebih memahami kenapa perhatiannya begitu besar terhadap isu persampahan. Ayah tujuh anak itu termasuk anggota dewan yang saat tahun 2005 turut terlibat dalam pencarian lokasi pengganti TPA Leuwigajah pascaperistiwa ‘Bandung Lautan Sampah’. Maka tak heran jika gerakan Kurangi, Pisahkan, dan Manfaatkan (Kang Pisman) sampah menjadi salah satu program 100 kerja dan masih dijalankan hingga saat ini.

Pendopo yang merupakan rumah dinas wali kota disulapnya menjadi laboratorium mini pengelolaan sampah. Ada Pojok Kang Pisman sebagai bukti keseriusan pria yang pernah mendampingi Ridwan Kamil memimpin kota kembang periode 2013-2018 itu. Sampah organik dari mulai sisa makanan hingga dedaunan yang jumlahnya tidak kurang dari 50 kilogram per hari diolah di sana dengan pencacahan, pengomposan, maupun magotisasi.

Di masa pandemi Covid-19, Pojok Kang Pisman dilengkapi fungsinya dengan mengintegrasikan konsep ketahanan pangan. Hasil pengolahan sampah berupa pupuk kompos maupun cair dijadikan nutrisi bagi sayuran, ulat magot menjadi pakan yang lezat bagi ayam maupun ikan. Konsep integrasi pengolahan sampah organik dan ketahanan pangan kemudian direplikasi menjadi Buruan SAE yang hingga awal Desember tersebar di 234 lokasi se-Kota Bandung.

Tidak sedikit persoalan yang tuntas di masa kepemimpinan setengah jalan Mang Oded di Kota Bandung. Kita ingat persoalan Stadion GBLA diselesaikan (saat ini sedang proses lelang), pengelolaan Pasar Baru Trade Center diambil alih, sejumlah infrastruktur diperbaiki, suprastruktur dibenahi, tata kelola disempurnakan, aset pemerintah diinventarisir untuk diamankan, dan lain sebagainya.

Ingatan tentang sosok Mang Oded bagi saya maupun banyak orang adalah tentang pemimpin yang humanis-agamis. Pemimpin yang dekat dengan siapa pun, luwes bergaul dengan orang-orang dari beragam latar belakang. Pemimpin yang senantiasa mendasarkan setiap gerak-langkahnya kepada agama. Mang Oded memang tidak populer di dunia maya, tapi setiap orang yang pernah bertemu atau bahkan dekat dengan beliau akan sangat setuju bahwa beliau populer di dunia nyata berkat sikapnya yang penuh teladan.  

Editor: Redaksi

COMMENTS

//