Hantu Kota Kreatif dan Paradoks Ridwan Kamil
Slogan kota kreatif ibarat hantu yang didongengkan politisi untuk membuat publik tercekat oleh yang mistis dan yang bombastis. Minim sokongan regulasi, minim bukti.
Frans Ari Prasetyo
Peneliti independen, pemerhati tata kota
5 Juni 2021
BandungBergerak.id - Indonesia memiliki beberapa kota yang diklaim sebagai representasi kota kreatif dunia, Bandung menjadi episentrumnya, ditandai dengan terpilihnya kota ini dalam daftar lima besar kota kreatif se-Asia tahun 2011 oleh salah satu media di Singapura, Channel News, meski alasan keterpilihannya tidak pernah diungkap secara transparan. Label creative city atau kota kreatif terdengar catchy, ciamik, dan terkesan modern sehingga potensial digunakan dalam ruang-ruang politik, termasuk dalam politik praktis kampanye pilkada.
Sosok Ridwan Kamil menjadi aktor yang tidak bisa dipisahkan dari penggunaan jargon kota kreatif ini. Ia bukan yang pertama, tapi yang berhasil menjadikannya sebagai value movement populis di mata publik. Dimulai sejak kampanyenya ketika mencalonkan diri menjadi Walikota Bandung tahun 2013 lalu dan menang. Gagasan kota kreatif-nya dianggap sebagai terobosan progresif-modern jika dibandingkan dengan apa yang ditawarkan pemerintahan sebelumnya dan juga lawan-lawan politiknya. Gagasan ini mampu merebut hati anak muda, kelas menengah, dan para pelaku industri kreatif kota Bandung.
Bandung lalu dibawa ke dalam pembingkaian (framing) Bandung Creative City dan Bandung Smart City yang kemudian terumuskan landmark branding kota ini dengan slogan “Bandung Juara”. Praktik serupa dilakukan kembali oleh Ridwan Kamil dalam kampanye pilkada Jawa Barat tahun 2018 dan berhasil lagi hanya kali ini dengan slogan “Jabar Juara Lahir Batin”.
Berkaca dari dua kejadian politik elektoral di atas, kita bisa menandai bagaimana penggunaan jargon kota kreatif yang kemudian juga diasosiasikan secara takabur sebagai ekonomi kreatif yang dilakukan oleh Ridwan Kamil ketika menjadi Walikota Bandung (2013-2018) dan Gubernur Jawa Barat (2018-2024), tidak dilengkapi dengan perangkat regulasi publik teregistrasi. Jargon hanya menjadi bagian dari pencitraan politis yang hingga kini melekat secara personal.
Relasi antara kota kreatif dan ekonomi kreatif, yang kemudian dikalibrasi menjadi satu kesatuan sebagai nilai pembangunan (value of development), nyatanya tidak memiliki dasar kebijakan berupa peraturan daerah yang fokus. Lalu, bagaimana slogan kota kreatif dan ekonomi kreatif dimaknai bagi tata kelola pemerintahan kota Bandung?
Baca Juga: Hikayat Bungker di Kampung Stasiun Barat Bandung
Mendengar Bukit Algoritma Sukabumi, Teringat Bandung Teknopolis
Merunut Regulasi
Awalnya, dalam rancangan peraturan daerah (raperda) tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota Bandung pada tahun 2016, terdapat nomenklatur Dinas Penanggulangan Kemiskinan, Sosial, dan Ekonomi Kreatif meski tidak spesifik terkait ekononi kreatif kota kreatif. Ketika disahkan, nama finalnya menjadi Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan saja. Tidak ada ekonomi kreatif di sana.
Ekonomi kreatif justru tercantum dalam peraturan walikota yang lain, yaitu Peraturan Walikota Bandung No. 1398 tahun 2016 yang mengatur kedudukan, susunan organisasi dan fungsi, serta tata kerja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang di dalamnya terdapat susunan organisasi struktur Bidang Ekonomi Kreatif. Jadi bukan kebijakan ekonomi kreatif yang berdiri sendiri sebagai peraturan daerah.
Hal serupa terjadi di Jawa Barat sejak era kepemimpinan Ridwan Kamil mulai 2019. Sebelumnya, Jawa Barat telah memiliki Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 15 Tahun 2017 tentang Ekonomi Kreatif yang diterbitkan oleh gubernur sebelumnya, Ahmad Heryawan (2008-2018). Jadi, karena peraturan daerahnya sudah ada, Ridwan Kamil tidak bisa lagi membuat peraturan serupa.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat kemudian menerbitkan Perda Nomor 10 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Kekayaan Intelektual yang disahkan oleh Mochamad Irawan ketika menjabat sebagai pejabat kepala daerah sementara di masa transisi. Jadi Perda ini juga bukan diterbitkan oleh Gubernur Ridwan Kamil, melainkan hasil kerja dari gubernur sebelumnya yang kemudian disahkan menjadi perda oleh pejabat kepala daerah sementara.
Akibat kadung selalu membawa jargon ekonomi kreatif dan tampil sebagai aktor kreatif sejak menjadi wali Kota Bandung, Gubernur Ridwan Kamil membuat peraturan daerah lain yang mirip-mirip secara substansi, yaitu Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 69 tahun 2019 tentang pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 15 tahun 2017 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif. Juga Peraturan Gubernur Nomor 83/2019 tentang Komite Ekonomi Kreatif dan Inovasi Jabar serta Keputusan Gubernur Nomor 064/Kep.288-Disparbud/2020 tentang Bagian Struktur Organisasi dan Susunan Personalia Komite Ekonomi Kreatif dan Inovasi Jabar.
Menengok hierarki regulasi pemerintahan daerah, kita tahu peraturan daerah provinsi sangat berbeda dengan peraturan gubernur atau keputusan gubernur yang menjadi hak prerogatif sang kepala daerah. Perbedaan paling mendasar antara perda provinsi dengan pergub terletak pada kewenangan pembentukannya. Perda provinsi dibentuk dengan cara membuat rancangan peraturan daerah (raperda) terlebih dahulu untuk kemudian disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.
Sementara itu, pembentukan pergub ada pada otoritas gubernur dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (dalam hal ini juga termasuk perda provinsi). Jadi secara hierarki, kedudukan Perda Provinsi lebih tinggi dari peraturan gubernur. Dalam konteks ekonomi kreatif di Jawa Barat, Peraturan Gubernur Jawabarat Nomor 69 tahun 2019 yang dibuat Gubernur Ridwan Kamil berada di bawah Peraturan Daerah Provinsi Provinsi Jawa Barat Nomor 15 tahun 2017 yang disahkan oleh gubernur sebelumnya (Ahmad Heryawan) bersama DPRD Provinsi Jawa Barat.
Baru belakangan Ridwan Kamil membentuk pelaksana harian Komite Ekonomi Kreatif dan Inovasi Jabar yang merujuk kepada dasar hukum kebijakan dalam Peraturan Daerah Provinsi tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif yang didukung oleh oleh Peraturan Gubernur dan keputusan Gubernur tersebut. Jadi, klaim kota kreatif dan kota pintar hingga provinsi paling progresif dalam ekonomi kreatif bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul dalam pemerintahan di bawah Ridwan Kamil semata.
Dalam konteks nasional juga ditemukan hierarki perundangan atau peraturan berdasarkan legal aspek hukum yang berlaku di Indonesia dan periodikal waktu penerbitannya. Misalnya, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 142 tahun 2018 tentang Ekonomi Kreatif Nasional yang diikuti dengan Undang Undang Nomor 24 tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif.
Berkat sistem desentralisasi, tidak sedikit pemerintah daerah di Indonesia juga sudah menerbitkan peraturan walikota, peraturan bupati, atau peraturan gubernur yang memiliki relevansi dengan ekonomi kreatif. Lanskap dan hierarki peraturan ini memberikan kita perspektif dalam melihat klaim keberhasilan atau dampak nyata penerapan konsep kota kreatif dan ekonomi kreatif di suatu daerah.
Ibarat Hantu
Kita dapat melihat sekarang bagaimana slogan kota kreatif menjadi hantu yang diciptakan politisi. Ia menjadi replika dan lingkaran yang terus berulang secara konseptual dan berlebihan, tapi secara historis dan praktisnya hanya berupa bayangan yang tidak dapat tersentuh.
Slogan kota kreatif atau ekonomi kreatif mewakili jenis urbanisme rapuh melalui pengucilan masyarakat berdasarkan logika kelas kreatif lewat gentrifikasi dan segregasi. Ia menyembunyikan populasi kemiskinan dan kerentanan sosial yang tidak diinginkan dengan cara memisahkannya dari lingkungan yang lebih stabil dan lebih kaya. Termasuk lewat penggusuran seperti yang terjadi di Tamansari dan empat kampung lainnya di Bandung.
Demikianlah slogan kota kreatif ibarat hantu yang didongengkan politisi untuk membuat publik tercekat oleh yang mistis dan yang bombastis, sehingga menciptakan misteri sekaligus pesona kelas kreatif bagi praktik neoliberal dan finansialisasi kota di berbagai sektor.