• Narasi
  • CERITA GURU: Belajar tanpa Dinding Ruang Kelas

CERITA GURU: Belajar tanpa Dinding Ruang Kelas

Seperti halnya seluruh bumi adalah masjid. Maka, seluruh bumi adalah ruang kelas. Semua tempat yang ada tanpa perlu ada sekat bernama dinding adalah ruang kelas.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Jalan-jalan ke Rumah Dewi Sartika. (Foto: Laila Nursaliha)

21 Februari 2024


BandungBergerak.id – Kata Paulo Freire, kelas berdinding tinggi itu menjauhkan antara yang dipelajari di kelas dan apa di luar ruang kelas. Tapi, jauh sebelum Freire, para filsuf mengajar tanpa memiliki ruang kelas. Dikisahkan pernah belajar sambil jalan-jalan sampai ke pohon. Semua ide-ide yang pernah dilakukan terkait ruang kelas, saya tampung dan seleksi secara naluriah.

Bagi saya, ketika bersama anak-anak, memang tidak perlu kelas dan tidak betah berlama-lama tinggal di kelas. Apalagi dengan ukuran kelas tidak ideal, minim pencahayaan, kurang ventilasi : pengap. Belum wangi semerbak keringat anak-anak setelah lari-lari. Kata orang-orang, seperti bau anak ayam di peternakan. Sebenarnya saya tidak mau menyamakan begitu, tapi memang mirip. Apalagi ketika matahari bersinar begitu teriknya.

Seperti halnya seluruh bumi adalah masjid. Maka, saya menganut bahwa seluruh bumi adalah ruang kelas. Di mana pun adalah kelas, semua tempat yang ada tanpa perlu ada sekat bernama dinding. 

Apa yang saya pikirkan hampir selalu dikonfirmasi oleh anak-anak di kelas. Saya menemukan garis-garis kebosanan tergurat di wajah mereka. Tentu saja! Keluhan itu tak akan pernah terungkap. Sebab mereka tak mau kena masalah. Energi mereka yang seharusnya dimaksimalkan malah terkekang dalam dinding yang entah seperti membatasi pemandangan.

Cerita-cerita kependidikan di negeri nun jauh di sana mulai melintas di dalam benak. Semua milik negara bisa diakses seperti perpustakaan, lapangan olahraga, gedung olahraga, ruang publik, dan sebagainya. Jadi, saya berpikir menemukan tempat-tempat yang nyaman dipakai untuk belajar sebagai alternatif dari sumpeknya ruang kelas.

Seperti taman baca, lapangan voli, tanah kosong, kebun milik orang tua santri, tempat milik yayasan, dan sebagainya. Area terdekat yang bisa kami manfaatkan untuk belajar, aman, nyaman, dan sesuai dengan kebutuhan pembelajaran anak. Kalau perlu, kami sekaligus mencari guru tamu, barangkali anak-anak sudah bosan melihat wajah saya yang tidak berubah.

Baca Juga: CERITA GURU: Menjadi Guru Magang di SMAN 1 Cimahi
CERITA GURU: Mendapat Hadiah Buku tentang Peristiwa 1998
CERITA GURU: Melihat Apa yang Sekilas Tidak Terlihat

Bersepakat untuk Jalan-jalan

Ada banyak cara untuk memenuhi keinginan guru dan peserta didik sekaligus yaitu menjalin kesepakatan. Jangan pernah berpikir, guru yang setiap hari memasuki ruang kelas tidak merasakan kebosanan. Rutinitas tertentu dalam satu titik bisa mengakibatkan rasa jemu, meskipun rutinitas itu sendiri ia yang buat. Memang manusia adalah tempatnya bosan, tidak terkecuali guru.

Aktivitas untuk mengusir rasa bosan itu seharusnya menjadi penyemangat tersendiri. Sehingga aspirasi dari anak perlu didengarkan. Hal ini berguna untuk menyelaraskan apa yang guru ajarkan dan apa yang anak pelajari.

Sudah beberapa tahun ini, ketika tiba pelajaran saya, maka saya akan memanfaatkan halaman sekolah untuk belajar, sebab lebih terang. Atau saya akan pergi ke lapang untuk bermain. Namun untuk materi tertentu yang memerlukan seperangkat bangku, papan tulis, dan suasana kondusif maka saya akan tinggal di dalam kelas.

Selebihnya, saya sediakan waktu 2 pertemuan bebas untuk merasakan kelas di luar: kelas jalan-jalan. Jalan-jalan untuk mengenali dan beradaptasi dengan dunia yang tidak ramah anak!. Saya yakin, struktur wilayah kami memang belum didesain untuk ramah anak.

Meskipun jalan-jalan yang membuang penat.

Saya tetap menerapkan aturan dan prasyarat untuk mereka bisa jalan-jalan (termasuk juga saya). Seperti semua tugas selesai tanpa terkecuali.

Aturan itu saya buat dalam upaya bagaimana mereka beradaptasi. Tak lupa saya pun menyiapkan kertas kerja untuk peserta didik pakai untuk mendokumentasikan apa yang mereka lihat. Biasanya saya membuat petunjuk-petunjuk tertentu ketika jalan-jalan. Meskipun sedang jalan-jalan, mereka juga sedang belajar. 

Banyak pelajaran yang bisa diambil sambil berjalan-jalan. Bersikap sopan, tentang kesadaran ruang, dan tentang lingkungan sekitarnya. Pengamalan inilah yang diperlukan oleh anak-anak agar belajar bisa menjadi lebih nyata.

Konflik di Luar Dinding Kelas

Jika tempatnya di ruang kelas, maka konfliknya masih di dalam kelas. Bagaimana jengkel dan marahnya anak-anak, tidak akan meninggalkan ruang kelas. Meskipun, saya masih kesulitan bila anak laki-laki sudah berkonflik. Tapi mereka masih ada di ruang kelas. Masih dalam kendali.

Ternyata di luar kelas berbeda lagi konfliknya. Manajemen kelas menjadi lebih luas dan perlu melibatkan semesta dan kepercayaan yang lebih kepada anak-anak untuk menyelesaikan konflik. Potensi konflik di luar dinding sekolah lebih banyak dan tak bisa dikendalikan sebagaimana mestinya.

Seperti perang dingin antara Rayyan dan Azzam. Waktu itu Rayan dan Azam masih perang dingin. Konflik antara dua anak laki-laki ini belum bisa menemukan jalan tengahnya. Belum ada tanda-tanda berdamai dari kedua belah pihak. Akhirnya mereka membuat dua kubu tersendiri.

Di tengah perjalanan, mereka berpisah begitu saja. Perasaan saya selama menit-menit itu gelisah. Mengingat anak-anak akan melewati sedikit perjalanan melalui rel kereta api. Pikiran saya mulai berlebihan khawatir akan ada kereta lewat. Atau mereka tidak berjalan dengan benar ketika melewati rel kereta api. Meskipun saya tahu, memang agak jarang kereta lewat pada waktu itu. Ah, tetap saja, mereka tidak melakukan perpisahan dengan benar.

Selama itu pula, saya menanti kabar baik bahwa anak-anak sudah sampai ke rumahnya dengan selamat. Ternyata memang mereka pulang dengan selamat tanpa ada masalah apa pun.

“Teh, makasih ya sudah mengajak anak-anak jalan-jalan.” Salah satu wali murid mengirimkan pesan kepada saya.

 Orang tua/wali ini bercerita bahwa mereka jarang mengajak anak-anaknya untuk sekedar  bermain. Entah karena kesibukan bekerja ataupun alasan lainnya.

Di kesempatan lain, wali murid pun bercerita anaknya senang sekali ketika keluar ruang kelas yang berbentuk persegi itu. Anaknya sudah berantusias untuk menabung untuk jalan-jalan bersama gurunya.

Saya pun ikut berbahagia. Sebab, tak jarang saya menemukan anak yang dimarahi sebab bermain atau tidak bisa melakukan pelajaran di rumah. Laporan yang dikatakan wali murid seperti “Teh, anak saya itu susah sekaliii…” padahal bagi saya tidak mengapa. Sebenarnya saya ingin berkata, “Saya tidak semenyeramkan itu, Ibu.” 

Dinding sekolah baiknya bukan menjadi pembatas antara belajar dan tidak. Dinding sekolah baiknya difungsikan sebagai penyangga keamanan saja. Belajar seutuhnya adalah belajar tentang hal yang ada di luar dinding kelas.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Guru.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//