• Narasi
  • CERITA GURU: Melihat Apa yang Sekilas Tidak Terlihat

CERITA GURU: Melihat Apa yang Sekilas Tidak Terlihat

Harapan saya sebagai guru hanya satu yaitu memaksimalkan apa yang perlu diterapkan kepada anak didik sesuai dengan kebutuhannya.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Guru memandu murid selesaikan tugasnya di SDN 025 Cikutra, Bandung, Jawa Barat, Jumat (2/9/2022). Kenaikan harga BBM akan berdampak pada tingginya biaya pendidikan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

15 Februari 2024


BandungBergerak.id – Anak laki-laki kelas 4, tinggi 160-an. Setiap saya menengok ke belakang, wajahnya hampir selalu tepat di depan wajahku. Tinggi badannya pun hampir setara dengan tinggi badan saya. Pertumbuhannya begitu pesat untuk anak seusianya.

Sebut saja Kenan. Setelah enam bulan tidak berjumpa, tak sengaja kami bertemu lagi di angkutan umum bersama Ibunya, belanja peralatan sekolah.

“Bu, saya ingin mengobrol banyak tentang Kenan. Apakah boleh?”

Saya mencoba membuka perbincangan dan percakapan. Tampak sang Ibu menunjukkan antusias tentang apa yang ingin didengarnya dariku. Sebab beberapa ratus meter lagi, kami harus berpisah, akhirnya kami bertukar kontak dan membuat kesepakatan lain. Saya berkunjung ke rumahnya.

Baca Juga: CERITA GURU: Ketika Saya Duduk di Kelas Prof. Hamid Hasan
CERITA GURU: Menjadi Guru Magang di SMAN 1 Cimahi
CERITA GURU: Mendapat Hadiah Buku tentang Peristiwa 1998

Di dalam Kelas, pada Mulanya

Remedial. Pada tahun itu, saya menerapkannya secara menyeluruh. Target saya adalah anak didik bisa menguasai pembelajaran semuanya dan memiliki standar minimal. Berawal dari konsep mastery learning, saya perlu memantau anak didik saya setiap saat. Remedial dilakukan bukan di akhir semester. Maka dari itu, Saya jalankan sejak di awal pelajaran dan mencoba melatih kepekaan saya terhadap anak didik.

Sengaja saya membuka kelas dan menyediakan waktu sekitar 5-15 menit obrolan-obrolan ringan dan juga curhat dari masing-masing murid. Saya menanyakan apa yang mereka tonton, apa yang mereka buka di layar gawai. Alih-alih bertanya apa yang mereka baca, saya tak pernah berhasil mendapatkan informasi bacaan mereka. Nyatanya anak-anak ini tidak memiliki akses yang baik terhadap bacaan.

Kenan, ia merupakan salah satu anak didik yang aktif bercerita di dalam kelas. Setiap pertemuan, membuatnya menumpahkan semua cerita yang sudah ia himpun sejak di rumah. Ia selalu bercerita tentang negara-negara yang baru saja ia tonton seperti Korea, Brazil, China. Tak lupa setelahnya akan menanyakan kepadaku “Teh, udah pernah ke Korea belum?” saya tidak ingat berapa kali ia mengulangi pertanyaan itu saking seringnya. Dan progres jawaban saya tetap sama “Belum, Kenan.”

Sekilas, saya pikir tidak ada masalah pada dirinya. Kemampuannya menyerap informasi cukup baik. Tapi, dalam beberapa pertemuan ia menunjukkan pola berulang yang sulit saya deskripsikan. Dia tidak peka terhadap aturan, tidak bisa menempatkan waktu antara belajar dan bercerita, tidak fokus, serta ia tidak bisa mengontrol keinginannya, harus selalu terpenuhi. Semua hal itu merupakan gejala yang tidak biasa untuk anak kelas 4 SD.

Saya mencoba beberapa instruksi di kelas dari mulai paling sederhana. Saya mulai dari instruksi paling awal yaitu meniru huruf. Semakin saya ajak ke tingkat yang lebih kompleks, untuk anak seusianya, ia mulai kesulitan. Tidak pernah berkata-kata, hanya diam saja. Lalu ia kerjakan semampunya, marah sesaat, dan begitu terus berulang.

Jika dilihat sekilas, ia sudah bisa menulis tapi tidak mengetahui apa yang ia tulis. Ia tidak benar-benar mengerti apa yang ia tulis. Dalam kata lain, ia hanya meniru. Beberapa kali saya dikte, ia gagal untuk merangkai huruf-huruf yang semula terlepas menjadi sebuah kata. Tapi ia selalu duduk di dekat saya meskipun ia tak kunjung bisa.

Dalam kesempatan lain, saya berdiskusi dengan wali kelasnya dan wali kelas sebelumnya. Katanya memang begitu, harap sabar dan dimaklumi. Tapi, saya merasa hal itu bukan untuk dimaklumi, tapi perlu diperbaiki.

Dalam kesempatan yang berbeda, saya mencari guru yang pernah mengajar juga. Bu Lina namanya. Kami mencoba mengonstruksi capaian dan perkembangan yang telah ditunjukkan oleh Kenan. Sayangnya, kami hanya sampai pada pertanyaan, “Ada yang salah, tapi apa? Sulit dijelaskan bukan?” Hari-hari selanjutnya saya hanya bisa mendampingi sebisanya. Saya bisa melakukan apa? Rasa bersalah mulai menerorku setiap kali menemui anak itu.

Konfirmasi kepada Orang Tua

Bekerja bersama orang tua tidak selalu mudah. Selain sulit untuk menerima tentang kondisi anaknya, faktor lain juga mempengaruhi seperti faktor pengetahuan. Tidak mudah merekomendasikan orang tua untuk membawa anaknya ke dokter tumbuh kembang, ataupun ke psikolog yang berkaitan dengan masalah tumbuh kembang. Itulah yang membuat saya kurang bernyali untuk berbicara kepada orang tua.

Perkembangan yang ada di dalam kadang tidak terlihat. Perkembangan mengenai apa yang satu ini tidak seperti pertumbuhan fisik yang terlihat secara nyata, namun hal ini bisa terlihat apabila terdapat pembandingnya atau diresapi secara dalam-dalam. Termasuk Mama Kenan yang sudah mengetahui gejalanya sejak kelas 1 SD. Padahal, sejak masuk SD, sekolah sudah menyarankan untuk terapi terhadap anaknya. Gelagat itu sudah ditunjukkannya sejak kecil. Tetapi Mamanya berpikir hal itu mungkin akan membaik seiring berjalannya waktu.

Empat tahun berlalu, ia pun mulai mempertanyakan mengenai anaknya di sekolah. Sama seperti apa yang saya, sebagai gurunya, rasakan. Guru-guru di sekolahnya pun tidak pernah melaporkan secara detail mengenai perkembangannya. Sehingga ibunya menganggap bahwa semuanya baik-baik saja. Sebagai perempuan yang bekerja, ia bertemu dengan anaknya hanya di sore atau malam hari. Ayahnya? Tugas di luar. Sehingga Kenan lebih sering bertemu dengan kakaknya atau pengasuhnya. 

Masalah-masalah yang saya sebutkan tadi di awal, nyatanya tidak diketahui oleh ibunya. Hingga saya menunjukkan hasil-hasil tulisannya. Meskipun tulisannya bagus, namun ia tidak cukup paham. Meskipun tubuhnya tumbuh dengan baik, pesat, dan di atas rata-rata anak kebanyakan. Tetapi, kemampuan yang ada di dalam dirinya tidak seimbang dengan perkembangannya.

Ibunya sejak lama menunggu tentang laporan perkembangan anaknya. Hal itulah yang membuat saya lega. Sebab, bukan saya saja yang perlu berbicara namun Ibunya pun perlu mendengar kesaksian kami di lapangan. Kami sama-sama membutuhkan informasi. Kami sama-sama ingin melakukan yang lebih baik untuk anak ini.

Kini, Kenan mulai mendapatkan perhatian yang seharusnya. Ibunya mulai membawanya ke beberapa tempat untuk berkonsultasi dan melakukan penyelidikan lebih jauh apa yang dialami oleh putranya. Kami berdiskusi langkah baik apa yang perlu diambil oleh orang tuanya sehingga tidak membuat keputusan yang salah untuk masa depan Kenan.

Sebagai guru, harapan saya hanya satu yaitu memaksimalkan apa yang perlu diterapkan kepada anak sesuai dengan kebutuhannya. Bukan menjadi pintar, atau unggul, atau masuk ke sekolah yang favorit. Bisa mendapatkan perlakuan dengan baik dan mendapat kasih sayang dari orang tua, cukup menghangatkan dan menentramkan hati.

Hujan deras. Saya pamit pulang. Meskipun udara di luar begitu dingin dan basah, tapi hati saya menghangat. Saya bersyukur, saya diberi kesempatan menitipkan anak ini dengan baik kepada orang tuanya. Teka teki selama 1,5 tahun menemukan jalannya untuk dipecahkan.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Guru.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//