• Narasi
  • CERITA GURU: Secuplik Kenangan tentang Pak Iwan

CERITA GURU: Secuplik Kenangan tentang Pak Iwan

Guru memberi pengaruh besar dalam membangun watak dan kepribadian seseorang. Untuk memantik kesadaran akan hari depan yang lebih ideal.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Ilustrasi guru. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

29 Mei 2024


BandungBergerak.id – Sosoknya memiliki kesan menyeramkan. Tubuhnya tinggi, dan besar. Wajahnya bertampang sangar, lengkap dengan kumis tebal, panjang, dan meruncing di setiap ujungnya. Dua bola matanya tajam, berkilat. Suaranya berat. Jika sedang tertawa tergelak-gelak, tubuhnya seolah terguncang.

Tetapi ia merupakan pribadi yang unik, bahkan mempunyai perangai kuat. Ketekunan dan pengabdiannya dalam menunaikan tugas bisa dibilang begitu baik. Di dalam soal kedisiplinan, tak perlu diragukan. Barangkali semua dilandasi tekad untuk memajukan kesadaran anak-anak didiknya.

Itulah gambaran sekilas mengenai Pak Iwan. Ia merupakan guru saya semasa belajar di salah satu Sekolah Menengah Atas di Jalan Cihampelas, Bandung. Mustahil saya bisa melupakannya. Jika kebetulan sedang melewati kawasan itu, wajah beliaulah yang kerap hadir di kepala.

Baca Juga: CERITA GURU: Pertolongan Pertama Psikologis (Psychological First Aid)
CERITA GURU: Memanjangkan Ingatan di Ruang Kelas
CERITA GURU: Digitalisasi dan Ilusi Pemerataan Akses Pendidikan

Hukuman yang Benar

Banyak hal dari Pak Iwan yang pernah saya renungkan kembali. Pada saat momen itu terjadi, saya mulai menyadari betapa besar pengaruh guru dalam pembangunan watak dan kepribadian seseorang di masa lampau. Mereka yang  telah mencurahkan tenaga dan pikiran untuk memantik kesadaran akan hari depan yang lebih ideal.

Saya ingat betul bagaimana proses penegakan hukuman yang diputuskannya membantu untuk saya sekarang bisa hafal Juz Amma. Kisahnya begini. Sebagai siswa yang berdomisili lumayan jauh dari sekolah, dahulu, keterlambatan adalah suatu hal yang cukup karib dengan keseharian saya. Walhasil imbalan yang harus diterima, sebelum masuk kelas, adalah menghafal surat-surat di dalam Alquran.

Mulanya tentu saja merasa keberatan. Tetapi, bahkan hingga kiwari, saya juga yang merasakan manfaatnya. Dalam melakukan ibadah salat wajib, misalnya. Kini tidak lagi menggunakan surat-surat yang itu-itu saja, alias qulhu, falaq, annas. Alhamdulillah, ya, Pak!

Sebagai manusia yang kadang khilaf, dan kala itu –medio tahun 2000-an– cukup berjarak dengan berbagai aktivitas keagamaan, sekali lagi saya ulang, bahwa hal tersebut kini sangat terasa bermanfaat. Dan saya merasa ia benar. Apa yang dilakukan Pak Iwan sudah sesuai dengan tujuan pemberian hukuman dalam pendidikan, yakni untuk memantik penyadaran pada siswa jika ia telah melakukan kesalahan, atau melanggar aturan yang telah ditetapkan sekolah.

Upaya pendisiplinan yang ia terapkan pada anak-anak juga tidak melibatkan kekerasan fisik. Ia juga nyaris tidak pernah memberi hukuman dengan semena-mena. Sebagaimana belakangan saya ketahui dari Ki Hajar Dewantara yang menyampaikan bahwa ada tiga poin yang layak diperhatikan saat memberi hukuman pada siswa.

Pertama, hukuman yang diberikan harus selaras dengan kesalahannya. Misalnya, jika siswa mengotori ruangan kelas, maka, hukuman yang diterimanya adalah menyapu. Atau, apabila siswa merusak atau memecahkan benda di kelas, maka hukumannya adalah menggantinya barang serupa, tanpa perlu menambahkan hukuman.

Kedua, tentang pemberian hukuman yang adil. Dalam konteks ini, hukuman diberikan kepada siapa pun yang melakukan kesalahan atau pelanggaran. Tidak peduli latar belakang orang tua mereka. Pemberian hukuman yang dilakukan secara subyektif bisa memiliki potensi menimbulkan kecemburuan.

Ketiga, hukuman harus segera dilaksanakan. Dalam hal ini, hukuman atau sanksi diberikan saat pelanggaran terjadi. Jangan menunda-nunda. Sebab, selain akan kehilangan momen pentingnya, hal ini bertujuan untuk menghindari rasa lupa, dan siswa segera menyadari apa kesalahannya.

Mulai Merajut Cerita Murid

Pak Iwan mungkin saja telah lupa pada saya, sekalipun saya yakin bahwa ia nyaris tak pernah melupakan tugasnya. Dan saya memakluminya. Sebab, mungkin sebagian dari kita menyadari pula bahwa dalam hidup ini, begitu banyak orang singgah, dan banyak orang pergi. Ia nyaris seperti antrean panjang, seolah menanti waktu berkalang tanah.

Banyak juga hal yang tak mungkin cukup jika hanya diutarakan lewat kata-kata. Seperti misalnya saat beberapa waktu silam. Tatkala untuk kali pertama saya memasuki tempat mengajar, dan siswa-siswi memanggil dengan sebutan "Bapak", saat itu pula tiba-tiba hati saya bergetar, lalu kemudian kembali teringat Pak Iwan.

Saya kadang masih heran: entah mengapa di antara sekian banyak anak didiknya, malah saya yang ditakdirkan mengalami transformasi hidup agak persis dengan Pak Iwan. Tetapi sulit untuk memberikan penjelasan secara pasti. Bacaan (dan situasi macam apa) yang membuat "panggilan moral" ini bisa masuk ke dalam diri saya.

Yang jelas, jika kelak kita dipertemukan kembali, saya bakal mengajukan satu pertanyaan yang kini terus menghantui saya dalam menjalani rutinitas harian:

"Bagaimana, sih, Pak, menyiasati penghasilan yang semakin lama kian tergerus inflasi?"

Itulah secuplik ingatan saya tentang Pak Iwan, semasa mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Atas. Di dalamnya termasuk hal-hal semacam celetukan sesama penumpang angkot dengan rute Cicaheum-Ciroyom yang doyan "ngetem", dan membuat keterlambatan menjadi kawan. Semua masih tersimpan rapi di dalam sanubari.

Saya juga memiliki segenggam harap jika BandungBergerak.id ke depannya bisa memuat cerita individu-individu yang pernah menjadi murid –tidak hanya Cerita Guru– untuk menuangkan buah pikirannya ke dalam tulisan, atau sekadar berbagi kesan tentang pengalaman belajar masing-masing. Setidaknya, pun jika kelak ada yang menuliskan keluhannya terhadap gaya pembelajaran guru, anggap saja itu sebuah bentuk kritik-autokritik bagi siapa-siapa yang masih bergelut di dunia pendidikan.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Guru.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//