• Narasi
  • CERITA GURU: Memanjangkan Ingatan di Ruang Kelas

CERITA GURU: Memanjangkan Ingatan di Ruang Kelas

Bekerja di ruang kelas adalah kerja panjang. Bekerja dengan senyap, menyentuh ingatan, jiwa, dan rasa menjadikannya proses yang sakral.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Murid SDN Babakan Talang pamitan ke guru sebelum pulang sekolah, 4 Maret 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

15 Mei 2024


BandungBergerak.id – Di masa yang serba cepat dan instan, membuat semuanya mencuat namun cepat pula terlupakan. Tak ada proses untuk mencernanya lebih dalam. Ketika sudah mulai mendalam, ia sudah berpindah ke topik yang lain. Secepat itu. Termasuk berita, kejadian, dan peristiwa yang seharusnya menjadi ingatan panjang.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, ada yang membuat saya menjadi lebih berpikir. Apa yang sebenarnya bisa saya lakukan? Saya tahu, di setiap peristiwanya banyak orang yang begitu marah, mengecam, dan sebagainya. Lalu lupa lagi. Kemudian ada kembali cerita yang datang kemudian naik lagi lalu turun lagi. Begitu seterusnya. Saya tidak yakin, sejauh apa mereka memahami.

Baca Juga: CERITA GURU: Dilema Bimbel Pribadi
CERITA GURU: Tidak Ada Murid yang Bodoh, Refleksi dari (Belajar) Menjadi Guru BK
CERITA GURU: Pertolongan Pertama Psikologis (Psychological First Aid)

Mengingat di Ruang Kelas

Saya dengan Mama selalu menonton televisi bersama. Tontonan Mama dan saya tentu sama. Kalaupun saya yang menonton, mama yang mendampingi untuk bersiaga jika nanti saya punya pertanyaan. Entah siap atau tidak, Mama selalu menjawab pertanyaan saya dengan baik. Suatu ketika, Mama bercerita. 

“Dulu, waktu mama masih SMA. Ada satu peristiwa pembantaian di Bosnia Herzegovina oleh Serbia Montenegro. Sadis.” Mama melanjutkan cerita tentang detail apa yang ia lihat di televisi. Mengenai nasib perempuan yang kemudian meregang nyawa, janin dan bayi-bayi yang tidak bersalah, pembantaian, sekelumit cerita tentang kekejaman tentara Serbia.

Tak disangka, itulah ingatan yang melekat tentang kejahatan antar negara di dunia. Selain yang sedang terjadi waktu tahun 2003 yaitu invasi AS ke Irak yang sedang disiarkan langsung di televisi.  Bonusnya, saya mendapat cerita tentang kejahatan negara lain. Lalu saya sampai pada kesimpulan, “Oh, ternyata dunia tidak selalu baik-baik saja.”

Saya pikir, peserta didik juga harus tahu, meskipun tidak melekat, setidaknya mereka pernah belajar di ruang kelas. Teringat Mama, saya mencoba mendesain pembelajaran dan memantik agar para peserta didik bisa menelaah terhadap kondisi global. Persis apa yang dipesankan oleh Gus Muh kepada para guru untuk menyisipkan materi sejarah. Meskipun saya bukan guru sejarah, tapi kalau waktunya pas, saya akan ceritakan dan memantik sebuah obrolan dan diskusi di ruang kelas.

Jika dipikir lagi, memang tugas pendidik adalah memanjangkan ingatan. Melestarikan apa yang perlu dilestarikan di ruang kelas. Tidak membiarkannya menguap begitu saja. Seperti dalam ajaran Islam, dalam perjuangan, maka harus ada sebagian orang yang melakukan kerja-kerja pendidikan. Bekerja di ruang kelas adalah kerja panjang, lama, senyap, dan hasilnya akan terlihat kemudian hari. Pekerjaannya yang senyap, menyentuh ingatan, jiwa, dan rasa menjadikannya proses yang sakral.

Taksonomi Bloom. (Foto: Dokumentasi Laila Nursaliha)
Taksonomi Bloom. (Foto: Dokumentasi Laila Nursaliha)

Pentingnya Mengingat dan Kemampuan Berpikir tingkat Rendah

Kasak-kusuk dalam pemangkasan materi sejarah dunia di Kurikulum Merdeka, mengindikasikan bahwa memang banyak orang yang belum mengerti tentang sejarah, wabilkhusus kompetensi mengingat : Apa saja yang harus diingat? Bagaimana caranya mengingat? Bagaimana ingatan berimplikasi kepada kehidupan selanjutnya?

Teknologi yang menggantikan fungsi otak manusia untuk mengingat, menjadikan ingatan manusia menjadi tidak memiliki arti. Serta turut mengubah definisi tentang mengingat. Tentu saja, mungkin, cara mengingat otak manusia dengan cara mengingat versi mesin akan berbeda. Seharusnya inilah yang menjadi tantangannya, manusia harus tetap mengingat sebagai manusia, bukan hanya sebagai penyimpan informasi.

Fokus kita terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi, sayangnya tidak diimbangi dengan keseriusan untuk mendalami kemampuan berpikir tingkat rendah. Dibuktikan dengan fokus pengajaran yang lebih menekankan kepada kemampuan berpikir tingkat tinggi. Padahal, keberhasilan berpikir tingkat tinggi dipengaruhi oleh kemampuan berpikir tingkat rendah. 

Jika mengacu kepada taksonomi Bloom, kemampuan berpikir tingkat rendah ada di area 1-3 yaitu mengingat, memahami, dan menerapkan. Sedangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi ada di area 4-6 yaitu menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan. Semuanya saling berhubungan dan memiliki levelnya tersendiri per jenjang.

Penjenjangan ini bukanlah satu tahapan atau hierarki dan bisa berdiri sendiri. Namun, setidaknya dalam panduan taksonomi yang dibuat oleh Bloom dkk. setiap masing-masing memiliki prasyarat tertentu untuk melaksanakan dengan baik.

Selama ini mengingat dalam prosesnya sering diorientasikan sebagai hafalan. Namun, sebetulnya bukan hanya sekedar menghafal sesuatu. Tetapi dalam kompetensi mengingat ini, ada sesuatu yang harus dimengerti seperti mengetahui istilah-istilah, mendefinisikan, menetapkan batasan, manfaat. Lebih jauh mengingat ini bisa menjadi lebih mendalam.

Sebagai contoh adalah isu kemanusiaan yang hangat saat ini, maka yang perlu kita pahami ajarkan kepada anak-anak adalah: “Di mana letak Palestina? Mengapa hal itu terjadi? Apa pendapat mereka terhadap isu yang terjadi di belahan dunia lain? Apa yang bisa kita lakukan? Berita apa saja yang ada dan beredar di media masa? Kapan konfliknya dimulai? Siapa saja yang terlibat dalam konflik tersebut?”

Dalam tema tersebut, semuanya bisa dipahami. Maka, bisa menjadi satu bahan diskusi di kelas yang lebih berwarna dan tidak hanya sekedar mengetahui bahwa terdapat konflik. Tetapi juga berusaha memahami, mengingat alasan mengapa mereka perlu diingat.

Tentu saja, memanjangkan ingatan itu bukan hanya berkaitan dengan peristiwa global yang ada di dunia dan negara lainnya. Namun untuk pelajaran-pelajaran serta issue sosial lainnya. Bayangkan saja, kalau tidak ingat sesuatu mau apa lagi?

Penutup  

“Bu guru! Itu bendera Palestinanya?”

“Bu, abi mah ngadukung Palestina!”

Kurang lebih itulah celotehan anak-anak usia 3-4 tahun. Palestina sudah menjadi obrolan yang hangat di dalam dunia mereka. Mudah-mudahan mereka bisa bertemu para guru yang bisa memanjangkan ingatan mereka terhadap sesuatu hal. Tak hanya ingat, tapi juga memahami dan menciptakan sesuatu yang lain meskipun sebait doa. 

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//