• Narasi
  • CERITA GURU: Pertolongan Pertama Psikologis (Psychological First Aid)

CERITA GURU: Pertolongan Pertama Psikologis (Psychological First Aid)

Meskipun guru bukan terapis, setidaknya bisa membantu orang terdekat mengatasi masalah dalam situasi akses pada layanan profesional kesehatan mental masih terbatas.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Tangan petugas kesehatan di klinik kesehatan jiwa di Bandung, beradu dengan tangan pasien dalam suatu proses pemeriksaan kesehatan mental, Jumat (4/3/2022). (Foto Ilustrasi: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

10 April 2024


BandungBergerak.id – Ada satu pesan dari psikiater ketika saya meminta nasihat dan cara-cara menjaga kesehatan mental anak : “Ingat! Kamu bukan terapis.” Pesan-pesan ini senada juga dengan pengingat ketika mengikuti kelas Psychology First Aid : “Kamu bukan psikolog.”

Pesan ini menjadi semakin penting, ketika di kelas, anak-anak sering menganggap gurunya ini adalah orang serba bisa. Guru dianggap orang yang semuanya serba tahu. Apalagi jika seorang murid saja terkena masalah, guru dianggap bisa menyelesaikannya dengan baik.

Bukan hanya kepada anak murid, sepertinya kecenderungan untuk ingin membantu dan menyelesaikan masalah orang yang sedang terkena masalah memang benar-benar terjadi. Hanya karena pernah mengalami, semua tindakan dilakukan sesuai dengan masalahnya. Nyatanya tidak begitu. Kasus per kasus tentulah memiliki latar belakang dan penyelesaian yang berbeda.

Makin banyaknya keluhan anak-anak tentang orang tuanya yang sulit mendengarkan cerita anaknya, malu-malu bercerita, atau tidak memiliki ruang bercerita membuat saya berinisiatif untuk menenggelamkan diri dalam cerita-cerita anak. Di setiap kelas, utamanya kelas 4-6 SD, saya membuka ruang untuk mereka bercerita, baik melalui surat, pesan Whatsapp, atau datang secara langsung. Mereka bisa menemui saya kapan pun selama saya ada di lingkungan sekolah.

Selain untuk memfasilitasi anak-anak untuk melepaskan segala suka duka dan beban di hati, saya pun berusaha untuk memahami mereka secara utuh sebagai manusia. Sebab, mendidik anak pada dasarnya adalah mendidik jiwa. Semakin saya tahu tentang anak, akan semakin jelas bagaimana saya memetakan arah pembelajarannya.  Bonusnya, usaha latihan meningkatkan keterampilan saya dalam mendengar cerita-cerita mereka.

Baca Juga: CERITA GURU: Kait Kelindan Kesadaran dan Kesejahteraan
CERITA GURU: Dilema Bimbel Pribadi
CERITA GURU: Tidak Ada Murid yang Bodoh, Refleksi dari (Belajar) Menjadi Guru BK

Anak Didik Mengutarakan Keinginannya Mengakhiri Hidup

Seusai kelas, pada jam istirahat, anak didik kelas 5 SD menemui saya. Dia bermaksud untuk bercerita tentang persoalan di dalam kehidupannya. Saya pun mencari sebuah ruangan privat yang bisa membuat kami berinteraksi dengan aman dan nyaman. Anak perempuan itu datang bersama teman karibnya menemui saya.

Kami duduk melingkar di sebuah kelas kosong. Saya tutup pintunya. Kurang lebih kami menjadwalkan 15 menit berbincang hingga waktu istirahat selesai. Ia mulai bercerita terkait permasalahan sekolah, di rumah, dan di lingkungannya tempat ia bermain. Sepertinya berulang dari kisah sebelumnya. Tiba-tiba saja dia berkata

“Mi, aku berdoa kalau misalnya mati itu lebih baik, saya minta dimatikan saja sama Allah.”

“Kenapa kamu sampai berdoa seperti itu?”

“Aku udah nggak kuat.”

Sementara tangisnya semakin parah. Pikiran saya semakin keras berpikir tentang bagaimana saya bisa menghadapi anak yang seharusnya berpikir untuk melanjutkan masa depannya yang terang benderang tapi ia malah berpikir untuk meminta mengakhiri hidupnya.

Saat itu saya merasa disambar petir. Mengapa anak usia 11 tahun sudah berpikir untuk meminta diakhiri hidupnya? Saya cek tentang perasaan dia di rumah. Apa yang ia persepsikan tentang masalahnya di rumah maupun di sekolah, dan secara tidak langsung saya melakukan analisis akar masalah. Lalu memastikan beberapa hal tentang masalahnya: “Apa masalahnya, siapa orang terdekat yang mengetahui permasalahannya, dan bagaimana cara ia menghadapi masalahnya?“

Saya mendapat benang merah di mana posisinya tidak memiliki seorang dewasa yang bisa diajak bicara. Ibunya tak cukup memberikan sinyal bahwa ia mendengarkan anaknya dengan baik. Menurut anak perempuan yang memiliki adik lima, ia memiliki tugas mengasuh adik-adik, membantu mengerjakan pekerjaan rumah namun ia tak memiliki waktu untuk bermain. Satu lagi, kesulitan finansial membuatnya menekan segala keinginannya.

Waktu yang dijadwalkan istirahat pun akhirnya saya perpanjang sampai selesai. Tiga puluh menit perpanjangan waktu. Tak mungkin saya membiarkan anak itu masuk kelas dengan wajah penuh air mata. Matanya sembab dan tentunya mood-nya sudah rusak. Biar saya yang ijin kepada guru setelahnya. 

Menjadi Pendengar dan Selalu Ada 

“Kamu simpan nomorku, hubungi kapan saja. Kalau tak bisa, kamu bisa datang ke rumahku,” di akhir, saya berpesan kepadanya. Berjaga-jaga, jika kemungkinan terburuk terjadi. Kebetulan rumah kami hanya berbeda kawasan rukun tetangga.

Bagi sebagian orang, ucapan anak tersebut tidak perlu dianggap serius. Anak kecil, mungkin saja meniru orang dewasa. Atau soalannya sepele menurut orang dewasa, tapi bagi anak itu merupakan soalan besar bagi dunianya. Masalahnya saya juga tidak tahu seberapa besar masalah yang sebenarnya ia hadapi. Sayangnya, kami juga belum bisa mengakses layanan profesional itu.

Tapi, saya tidak mau bertaruh dengan satu nyawa. Dalam kelas psikologi yang pernah saya ikuti, beberapa kasus mengakhiri hidup terjadi dan dilakukan oleh anak SD hanya karena perkara seragam. Psikiater saya pun menyarankan untuk menyelamatkan satu nyawa itu. Daripada membuat risiko yang entah bagaimana akhirnya.

Dengan perbekalan dari psikiater dan psikolog, saya mencoba menerapkan mengenai komunikasi teurapeutik. Keterampilan komunikasi jenis teurapeutik biasanya digunakan oleh perawat, dokter, psikolog, dan profesi yang memerlukan terapi. Tetapi guru pun perlu menguasai komunikasi jenis ini untuk membangun kedekatan, kehangatan dengan anak didiknya. Sehingga, apabila anak didik sudah dekat dengan gurunya, ia akan mudah menerima pelajaran dan didikan karena sudah terbangun komunikasi yang baik.

Dalam beberapa pertemuan selanjutnya ketika ia butuh bercerita, saya bekali dia dengan cara bertahan hidup dalam kondisi yang tidak menentu. Dia perlu mencari ruang yang nyaman di antara ruang yang tidak nyaman, mencoba bodo amat, mencari hal-hal yang membuatnya menyenangkan, namun tugasnya tetap ia selesaikan. Pertahanan diri yang saya pelajari akhir-akhir ini dengan tertatih-tatih, malah saya keluarkan pertama kali untuk membuat dia merasa nyaman.

Lama tak berkabar.  Air wajahnya cukup berubah. Beban-beban yang tersirat sepertinya sudah teratasi. Dia bercerita dan mulai bisa berkomunikasi dengan orang tuanya dan bernegosiasi mengenai keinginan-keinginannya. Semuanya terkendali, saatnya dia berjuang untuk masa-masa hidup di depannya. Sepertinya masa-masa kritisnya sudah lewat. Ya, masa-masa siaga saya juga sudah berlalu.

Kelas PFA yang saya ikuti menjadi berguna dalam waktu-waktu tertentu. Meskipun guru bukan terapis, setidaknya bisa membantu orang terdekat mengatasi masalahnya. Di mana akses kami terhadap layanan profesional kesehatan mental masih terbatas, juga dengan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan mental masih perlu ditingkatkan. Semakin banyak kelas yang diikuti, semakin banyak hal yang bisa dilakukan oleh guru. Setidaknya, ia bisa mengerti, ada, dan mengarahkan ke mana harus pergi.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang guru.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//