• Narasi
  • CERITA GURU: Dilema Bimbel Pribadi

CERITA GURU: Dilema Bimbel Pribadi

Sistem bimbel dan les privat itu tidak cocok untuk perkampungan tempat tinggal saya. Kelas yang terjangkau bahkan gratis untuk anak-anak sekitar lebih dibutuhkan.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Anak-anak membutuhkan wadah yang mampu memfasilitasi mereka untuk belajar dan bermain, seperti yang terjadi di TBM Sukamulya, Kecamatan Cinambo, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (2/12/2021). (Foto-foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

27 Maret 2024


BandungBergerak.id – Pasca lulus dari salah satu Universitas eks-IKIP di Yogyakarta, tahun 2017, saya sering mendapat semacam saran dan rekomendasi untuk ikut mengajar les privat. Kebanyakan direkomendasikan oleh teman-teman di kota. Tujuan utamanya untuk menambah penghasilan secara drastis. Jika dipikir lagi, alasan mengambil les privat cukup menguntungkan mulai dari jam mengajar yang fleksibel, anaknya cuma sedikit (bahkan satu), bayarannya juga lumayan bahkan bisa melampaui penghasilan sebagai guru di sekolah.

Memang hati tak bisa dibohongi, rasanya berat apabila saya harus mengajar les privat. Untungnya, ketidaktertarikan saya terhadap model bimbel dan les privat ini, didukung oleh lowongan yang tersedia. Lowongan yang tersedia adalah guru matematika, guru fisika, kimia, yang memiliki spesifikasi khusus satu bidang. Sedang saya tidak berpengalaman di masing-masing bidang itu satu pun. Hanya berpengalaman untuk membersamai anak belajar. Sesuai dengan jurusan saya yaitu jurusan belajar dan membelajarkan. Selain itu, faktor lain yang mendukung: jauh dari pusat kota.

Setelah dipertimbangkan secara matang, sistem bimbel dan les privat itu tidak cocok untuk di perkampungan tempat tinggal saya. Pertama, harusnya saya membuka kelas yang terjangkau bahkan gratis daripada memungut biaya yang sebegitu besarnya untuk anak-anak sekitar. Memperluas akses menjadi prioritas daripada mempersulit akses dengan adanya les privat semacam begitu. Kedua, ekspektasi orang tua terhadap bimbel saat ini terlalu spesifik. Bisa dicontohkan anaknya jadi lulus, nilainya lebih tinggi, dan sebagainya. Hal inilah yang membuat saya menjadi terbebani jika saya mengajar di lembaga les maupun bimbel. Ketiga, biasanya anak terpaksa ikut bimbel. Sebab disuruh orang tuanya.

Keempat, saya mungkin tidak suka bimbel. Alasannya adalah untuk apa belajar lagi, toh sudah belajar di sekolah? Dulu, guru saya pun termasuk yang menolak bimbel sebab rumus-rumus cepatnya. Kebetulan, saya juga sudah tercukupi materinya dengan materi di sekolah. Kelima, banyak kasus anak yang ikut bimbel itu tidak belajar. Ini efek domino dari alasan nomor tiga. Sebegitu panjangnya saya memikirkan dan memutuskan untuk sekedar ikut mengajar les privat atau tidak. Hingga suatu hari Ibu saya didatangi oleh seorang tetangga yang ingin anaknya belajar.

Baca Juga: CERITA GURU: Anak-anak Butuh Sekolah (?)
CERITA GURU: Jalan Terjal Mengajar di SMP Djuantika
CERITA GURU: Kait Kelindan Kesadaran dan Kesejahteraan

Mengajar Hanif

Namanya Hanif, anak perempuan kelas IX SMP Negeri. Seperti orang tua kebanyakan, Ibunya mengeluhkan bahwa anaknya ini sulit belajar bahkan jarang belajar. Fokusnya terhadap gawai dan tentu saja tidak mau bermain dengan tetangga. Nilai matematika dan IPA-nya tak terlalu bagus menurut ibunya (saya belum pernah melihat langsung nilai rapornya). Dia tipikal generasi Z yang akrab dengan gawai. Ibunya merayu ibuku agar anaknya bisa belajar bersama saya. Hal ini berkelanjutan, ibuku merayuku agar mau mengajarnya.

Pada suatu hari di bulan Juli mengawali semester baru, kami menjalin kesepakatan bahwa saya hanya menemani anak ini belajar. Tidak ada keberhasilan apa pun, tak ada harapan meningkatnya nilai, tidak ada jaminan lulus ke sekolah terfavorit, dan sebagainya. Melepaskan beban dari hasil-hasil begitu membuat saya lega dan membuat fokus perhatian tentang bagaimana meningkatkan kemampuan belajar. Begitu pun saya, tidak memberikan syarat apa pun lagi agar anaknya bisa belajar bersama.

Setelah kami berdiskusi tentang masalah belajarnya, ada satu misi berkunjung ke rumah saya selain belajar yaitu: main ke tetangga. Kami bersepakat untuk belajar pada malam hari setelah Isya. Satu minggu sekali, kalau memang mendesak bisa satu pekan dua kali.  Pertemuan pertama kami awali dengan membuat kontrak belajar. Kontrak belajar antara saya dan Hanif, bukan lagi dengan ibunya. Sebab dia memiliki kesulitan dengan pelajaran fisika dan matematika. Maka, saya menjadwalkan mendaras buku fisika terlebih dahulu.

Pertemuan demi pertemuan kami lalui, saya melihat bahwa anak perempuan ini memiliki ketertarikan belajar yang berbeda. Meskipun dia kesulitan belajar mata pelajaran yang sifatnya pengetahuan alam, namun dia memiliki kecepatan yang baik dalam mempelajari bahasa Spanyol, dia sudah menjelajah ke Amerika dan mengenal negara-negara bagiannya, hanya dengan dia menonton Youtube. Terkadang dia memberi saya pengetahuan baru tentang negara-negara Amerika. Semua yang dia ceritakan adalah kisaran pengetahuan sosial yang tidak masuk dalam Ujian Nasional.

Hanya saja, setelah beberapa pertemuan berlalu, hasil belajarnya tidak meningkat secara signifikan. Hampir didera keputusasaan tentang peningkatan belajar anak ini. Secara umum, dia masih bisa belajar namun untuk pelajaran seperti fisika dan matematika mengapa begitu sulit? Sejujurnya, stagnasi itu membuat saya hampir hilang harapan. Saya percaya, anak ini bisa. Tapi apa yang membuat anak ini sulit mencerna hasil bacaan?

Saya meminta ibunya untuk memeriksakan anaknya ke dokter mata. Perilaku membacanya memang agak tidak wajar. Ada satu perilaku yang secara konsisten dia tunjukkan: dia perlu membaca dengan jarak yang begitu dekat. Saya menerka jika memang masalahnya di sana, pembelajaran di sekolah pun tidak maksimal. Apalagi dia duduk di bangku yang tidak strategis.

Kekhawatiran saya benar. Dia datang kembali dengan berkacamata. Tapi itu lebih baik untuk membuat penglihatannya lebih baik. Saya masih ingat, ada peningkatan drastis setelah dia menggunakan kacamata itu. Kacamata itu telah menyelesaikan beberapa kesulitan dirinya dalam belajar. Tinggal satu kesulitan lagi: bagaimana memecahkan masalah pada pemahaman mata pelajaran dan bagaimana pikirannya bekerja.  Dia berhasil melaluinya dengan baik. Cara-cara dia menyelesaikan soal matematika membuat saya terkesima.

Lulus dengan Ujian Tertinggi

Hanif akhirnya lulus SMP dengan nilai ujian tertinggi di sekolahnya. Ia bisa masuk SMA favorit di wilayah kami dengan leluasa. Meskipun sistemnya zonasi, dia tidak lagi dipandang sebelah mata. Saya bangga padanya, hasil usaha belajarnya tidak sia-sia. Pada dasarnya, dia anak yang pintar.  Saya pun merasa tidak memiliki andil apa pun selain menemaninya belajar sambil terkantuk-kantuk, membantu dia memecahkan teka-teki.

Bahkan pertanyaan yang dia tanyakan pun belum sempat saya jawab sampai hari ini, “Apakah Nabi adam itu manusia pertama atau manusia cerdas pertama?” Tak habis pikir, bisa-bisanya dia menanyakan pertanyaan rumit macam itu. Apa bedanya manusia dan manusia cerdas? Katanya manusia itu sejenis manusia yang tidak memiliki akal, belum memiliki peradaban. Sedangkan Nabi Adam sudah dikaruniai akal. Jadi, itulah yang membedakannya.

Para tetangga pun menjadi bertanya-tanya, kenapa Hanif menjadi rangking satu dalam ujian nasional? Ibunya berkata “Les di Teh Laila”. Semenjak itu, ibu saya menjadi sibuk dihubungi oleh tetangga yang lain. Ada anak yang ingin belajar bahasa Inggris, belajar pelajaran sekolah, dan sebagainya. Sementara saya sibuk menolak dan mencari alasan untuk tidak menerima peserta didik secara privat. Utamanya, sebab mereka sudah berekspektasi tinggi anaknya bisa seperti yang diharapkan.

Tak dikira, kabar itu menjadi gempar di kampung kami dan meningkatkan animo masyarakat untuk les privat (kepada saya – kalau ke lembaga lain saya tak begitu menjadi masalah). Antara bangga sekaligus menyesal. Saya yang memang menolak bimbel malah tiba-tiba banyak diminta untuk mengajar secara privat. Meskipun saya masih bercita-cita menawarkan bimbingan belajar gaya baru, namun masih jauh panggang dari api. Tapi memang perlu diusahakan. Pelan-pelan, mengembalikan makna belajar dengan tujuan belajar sepanjang hayat perlu dilakukan sepanjang hayat juga.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang guru.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//