• Narasi
  • CERITA GURU: Tidak Ada Murid yang Bodoh, Refleksi dari (Belajar) Menjadi Guru BK

CERITA GURU: Tidak Ada Murid yang Bodoh, Refleksi dari (Belajar) Menjadi Guru BK

Menjadi guru bimbingan konseling membuat saya harus melihat kondisi siswa tidak hanya dari perilaku yang terlihat saja. Sering orang dewasa terlalu cepat menilai.

Azmi Mahatmanti

Mahasiswi UPI, aktif di Gender Research Student Center (Great) UPI, bisa dihubungi di Instagram @azmimahatmanti.

Guru memandu murid di SDN 025 Cikutra, Bandung Jumat (2/9/2022). Kota Bandung memiliki ruang-ruang kelas yang memerlukan perbaikan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

3 April 2024


BandungBergerak.id – “Ketika manusia berhenti belajar, lalu apa bedanya dengan orang mati?” celetuk salah satu murid ketika sesi refleksi. Mendengar pertanyaannya saya sejenak terhenyak, lalu cepat-cepat menanggapi pertanyaan retorik yang secara tiba-tiba dikeluarkan dari mulutnya. Saya setuju, jika manusia berhenti belajar tidak ada bedanya dengan orang mati, karena apa pun yang dilalui manusia setiap hari adalah pembelajaran yang sebenarnya. Suasana sejenak lengang, setelahnya saya meminta siswa lain untuk memberikan tanggapan.

Peristiwa tersebut merupakan hal baru bagi saya ketika menyandang status menjadi konselor sekolah disalah satu sekolah non-formal yang cukup ternama di dunia pendidikan. Sebuah zona pendidikan yang menurut saya jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pengalaman menjadi pengajar di lembaga pendidikan sebelumnya.

Sedikit kilas balik mengingat pengalaman pernah menjadi guru relawan tiap minggu yang mengajar ke wilayah Kabupaten Bandung dan Subang, Guru BK praktik ketika masa PPL, Guru BK Inval, dan sekarang konselor sekolah membuat saya menyadari bahwa ketimpangan pendidikan itu nyata adanya. Berbeda medan beda pula tantangan dan pembelajaran yang saya terima, termasuk juga perbedaan kualitas pendidikan pada tiap wilayah sangat terasa. Berbeda bukan hanya tentang fasilitas, tapi juga tentang kualitas daya nalar peserta didik.

Entah harus ditarik dari mana benang merah ketimpangan pendidikan yang terjadi, bahkan dijadikan bahan melamun satu hari saja belum cukup untuk dapat jawabannya. “Eh tapi, memangnya ada, orang yang melamunkan masa depan pendidikan negeri kita?” Mungkin banyak, tapi sekadar melamun saja, karena juga terlanjur bingung harus bagaimana memperbaiki sistem yang ada.  Aduh, agar tulisan ini tidak melebar ke mana-mana, saya mencoba fokus bercerita pengalaman saya menjadi guru BK saja.

Baca Juga: CERITA GURU: Jalan Terjal Mengajar di SMP Djuantika
CERITA GURU: Kait Kelindan Kesadaran dan Kesejahteraan
CERITA GURU: Dilema Bimbel Pribadi

Berobat Jalan

Mendapat stereotip galak, tidak ada kerjanya di sekolah, sampai bisa menerawang orang lain menjadi hal yang “cukup ditelan” bagi orang yang memutuskan untuk menekuni profesi guru bimbingan konseling (BK) atau konselor sekolah. Dulu, ketika memperkenalkan diri sebagai guru BK, para siswa selalu tidak percaya, dan responsnya sama, “Ibu guru BK tapi kok ramah dan ceria banget?”

Ya, masyarakat luas ternyata masih berhenti pada paradigma guru BK adalah polisi sekolah, bahkan juga tak jarang murid masa kini berpikir demikian. Pemikiran itu mungkin dapat dari zaman ibunya, bapaknya, kakaknya, atau saudaranya sehingga stereotip itu menerap dikepala mereka. Ini menjadi tantangan yang perlu dipatahkan dengan semangat penerapan keilmuan bimbingan dan konseling yang seyogyanya membimbing sepenuh hati, baik preventif maupun kuratif. Untungnya film layar lebar Indonesia berjudul Budi Pekerti turut membantu mematahkan stereotip tersebut, dengan menghadirkan sosok Ibu Prani, seorang guru BK yang dekat dengan siswa, memiliki banyak cara untuk menyelesaikan permasalahan.

Sebab memang begitu adanya. Kondisi di lapangan, guru BK bukan guru gabut. Terkadang persoalan satu belum selesai, datang secara kejutan persoalan berikutnya. Belum lagi jika harus kunjungan rumah atau home visit. Guru BK bukan hanya harus siap secara psikis, tapi juga fisik untuk berjalan menyusuri kawasan perkampungan warga untuk mencari letak rumah siswa agar bisa bertemu orang tuanya dan memastikan keadaan siswa kami baik-baik saja. Saya juga pernah merasakan pengalaman home-visit itu. Memarkir motor dipinggir jalan raya, lalu harus masuk ke dalam gang permukiman warga yang cukup jauh untuk menjajal alamat rumahnya.

Kadang, di perjalanan sepulang home-visit justru saya sering melamun sambil mengendarai motor di tengah terik panas matahari Kota Bandung, “Kenapa ya dari sekian banyak pilihan, kok memilih belajar keilmuan ini?” Pertanyaan yang saya temukan jawabannya dengan mantap ketika selesai sidang skripsi, “Sebab ini adalah jalan ninja yang saya pilih, menekuni keilmuan dan profesi konselor bagi saya menjadi salah satu jalan penghambaan.” Atau sekadar tersirat jawaban naif, “Barangkali memang perlu bertanggung jawab atas keilmuan yang telah dipelajari semasa kuliah karena tidak semua orang belajar keilmuan bimbingan dan konseling, dan semua orang berhak memilih perannya masing-masing di dunia ini.”

Mempelajari keilmuan bimbingan konseling membuat saya membuka mata lebih lebar melihat kondisi individu tidak hanya dari perilaku yang terlihat. Perilaku yang diperlihatkan sejatinya hanya gejala dari penyebab yang sedang terjadi pada dirinya. Bahkan keilmuan ini membuat saya merasa “berobat jalan” karena alih-alih belajar mendidik siswa justru saya sedang mendidik diri sendiri. Tak jarang juga justru semasa kuliah, kelas dipenuhi air mata ketika proses belajar praktik konseling. Saya merasa, justru setiap hari berefleksi dari apa yang sudah dipelajari dan ditemui di lapangan sebagai guru bimbingan dan konseling. Setiap selesai sesi konseling bersama siswa lelahnya tertutup dengan perasaan hati yang penuh, ucapan terima kasih sudah mau mendengarkan cerita menambah hangatnya suasana hati. Bahkan pengalaman sampai diberi surat oleh siswa anonim dengan dibentuk bunga dari kertas cukup membuat mesam-mesem, bukan karena merasa memiliki penggemar, tapi isinya membuat saya tersadar ternyata peran ini membuat saya merasakan menjadi manusia yang berguna dari tindakan sesederhana mau membalas curhatan siswa lewat pesan WhatsApp karena ia belum mau menunjukkan identitasnya dan malu untuk bercerita langsung.

Konflik Batin

Samar-samar mengingat kalimat yang tertulis pada buku psikologi kognitif manusia bahwa pada dasarnya selama manusia terlahir memiliki otak, maka ia terlahir sebagai orang yang pintar. Sayangnya buku di Perpustakaan Jakarta di Kawasan Taman Ismail Marzuki itu tidak sempat saya pinjam karena harus bergegas menuju stasiun untuk naik KRL agar tidak terlalu malam kembali ke kosan.

Sialnya, kalimat itu seakan menyihir untuk terus tersemat di perjalanan pulang yang memenuhi langit-langit KRL yang saya tumpangi. Sudut memori satu persatu memunculkan tayangannya, dari mulai melakukan kegiatan bimbingan di kelas, konseling individual, sampai kolaborasi dengan pihak sekolah untuk membahas penanganan permasalahan peserta didik.

Menghadapi konflik sebenarnya juga berkonflik dengan diri sendiri untuk berusaha sekeras mungkin melawan bias memandang persoalan, karena tiap individu pasti memiliki takaran kebenaran masing-masing –termasuk guru bimbingan dan konseling. Belum lagi ketika membawa persoalan peserta didik ke meja rapat yang membuatnya banyak pihak terlibat. Persoalannya rumit, penyelesaiannya lebih rumit.

Saya teringat situasi yang cukup membuat hati panas mendengar respons berbagai pihak yang menghakimi siswa sebagai pesakitan yang sepertinya tidak perlu diampuni. Padahal seorang anak yang melakukan tindakan tidak terpuji juga sebenarnya korban. Korban dari lingkungannya karena stimulus yang tidak menunjang perilaku baik. Sejatinya anak tetap anak, ia terbentuk dari stimulus yang diterima. Tetapi sering kali orang dewasa seakan lupa bahwa mereka turut andil dalam proses perkembangannya.

Individu termasuk peserta didik sejatinya berproses sepanjang hidup melewati tahapan perkembangannya. Dari perkembangan fisik, perkembangan kognitif, perkembangan emosional, serta perkembangan sosial; semuanya berkaitan satu sama lain untuk membentuk kepribadian, termasuk juga dipengaruhi oleh banyak faktor tak terkecuali faktor lingkungan. Untuk itu, orang tua, anggota keluarga, para pendidik di sekolah, dan mereka yang berpotensi dijumpai oleh anak-anak semuanya turut andil. Seringnya orang dewasa terlalu cepat menilai atau bahkan terlalu cepat menyerah mengajarkan dengan cara yang bisa diterima oleh anak-anak mereka. Padahal anak-anak yang kemudian tumbuh menjadi siswa disekolah, mereka juga manusia dengan keunikan yang tidak sama satu sama lain, karenanya tidak ada murid bodoh di dunia ini selama Ia masih memiliki otak, yang ada hanya stimulus belajar yang diberikan kurang tepat.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Azmi Mahatmanti, atau membaca artikel-artikel lain tentang guru.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//