• Narasi
  • CERITA GURU: Digitalisasi dan Ilusi Pemerataan Akses Pendidikan

CERITA GURU: Digitalisasi dan Ilusi Pemerataan Akses Pendidikan

Dunia pendidikan dipaksa beradaptasi dengan penggunaan teknologi semenjak pandemi. Percepatan penggunaan teknologi dalam bentuk kebijakan memiliki dampak simalakama.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Ilustrasi dunia digital dan pengaruh media sosial. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

22 Mei 2024


BandungBergerak.id – Satu hal yang sulit dituntaskan dari permasalahan pendidikan Indonesia adalah pemerataan akses pendidikan. Saya pikir miniaturnya ada di Bandung. Dari yang tradisional sampai yang paling canggih pun ada, setidaknya mendekati.  Namun, ketika digitalisasi menjadi satu hal yang menjadi titik tekan terhadap akses pendidikan sepertinya akan menuai paradoks yang tidak diharapkan. Mengutip Harold Innis, pertumbuhan teknologi akan meningkatkan monopoli pengetahuan.

Pertama-tama, kita perlu berterima kasih atas teknologi yang telah menjadikan setidaknya kehidupan hari ini menjadi lebih mudah. Mendapatkan informasi dan kebutuhan sehari-hari dengan lebih mudah. Tentu saja dengan modal tertentu. Kedua, sering kali akibat dari teknologi manusia agak menuhankan teknologi seolah olah mereka bisa menjadi solusi untuk semua masalah. Tidak percaya? Kita bisa lihat berapa aplikasi yang digunakan untuk guru, mengajar, hingga para guru bahkan saya sendiri sampai lupa password-nya.

Pertanyaan saya adalah ketika semua bisa mengakses internet dengan cara yang sama, alat yang sama, apakah kemudian semua masalah pendidikan di Indonesia menjadi selesai?

Baca Juga: CERITA GURU: Tidak Ada Murid yang Bodoh, Refleksi dari (Belajar) Menjadi Guru BK
CERITA GURU: Pertolongan Pertama Psikologis (Psychological First Aid)
CERITA GURU: Memanjangkan Ingatan di Ruang Kelas

Belum Selesai dan Gagal Berkali-kali

Dengan jargon Merdeka juga didorong oleh Revolusi 4.0,  kali ini dunia pendidikan Indonesia sedang disibukkan dengan proses digitalisasi. Beberapa kali disosialisasikan tentang e-raport, aplikasi, Dapodik, dan seabrek lagi isian yang harus dipenuhi oleh guru dan pihak sekolah.

Selama bertahun-tahun juga, sepertinya hal itu sulit terwujud untuk kami. Seperti halnya saya yang telah mengikuti sosialisasi e-raport dari sekitar tahun 2019. Nyatanya kami tak pernah menggunakan e-raport sekalipun. Alasan utamanya memang klasik. Sekolah tak memiliki dana pengadaan laptop untuk masing-masing gurunya.

Sosialisasi tetap berjalan sebagai sosialisasi, pelatihan berjalan sebagai pelatihan. Hanya sampai di sana. Selebihnya, apabila guru dituntut untuk membeli laptop sendiri, sulit. Butuh beberapa tahap lagi untuk menjadikan guru ini mahir dalam menggunakan perangkat ini (terutama untuk guru senior). Setelah laptop berada ditangan, maka ia perlu mengenal semua perangkat dan programnya. Satu hal lagi yang membuat guru kesulitan adalah mengetik, perlu meneliti huruf per huruf yang akan diketiknya.

Kebijakan adalah kunci. Paksaan itulah yang biasanya menjadikan terbiasa. Semenjak pandemi, dunia pendidikan dipaksa untuk beradaptasi dengan penggunaan teknologi. Termasuk berbagai aplikasi yang kemudian terbengkalai oleh pengguna, menjadi efektif dan lebih baik pada masa pandemi. Learning Management System, salah satunya.

Antara perlu dan tidak perlu, percepatan penggunaan teknologi dalam bentuk kebijakan memiliki dampak simalakama. Bagi masyarakat yang tidak terbiasa dengan teknologi, ini merupakan sesuatu yang berat. Di sisi lain, akan mempermudah hal-hal yang seharusnya bisa dilaksanakan dengan mudah. Apakah pemangku kebijakan melakukan kajian menyeluruh, saya pun tidak tahu.

Dalam kebijakan yang baru, segala sesuatu harus terdokumentasi secara digital. Utamanya untuk pendanaan dan penyaluran fasilitas. Sayangnya, tidak semua bisa menyadari tentang bagaimana hal ini bisa diakses? Bagaimana pengguna mengisi dengan benar? Guru sebagai administrator dituntut untuk serba tahu tentang semua keadaan sekolahnya. Sebab, penilaian guru inilah yang akan menjadi dasar kapan bantuan itu akan datang dan cair. Hanya saja, apakah guru juga perlu merangkap sebagai ahli bangunan? Sebenarnya siapa yang mengurusi itu?

Data yang dihasilkan dari proses digitalisasi ini, sering kali berbeda persepsi dengan apa yang terlihat pada kenyataannya. Bukan karena kesalahan, namun karena ketidaktahuan bagaimana cara menggunakan alat-alat tersebut. Lagi-lagi, teknologi mempermudah, namun tetap menghasilkan lapisan birokrasi yang tidak efisien. 

Prasyarat yang Terlupakan 

Selama ini, proses penggunaan teknologi dianggap sebagai proses mengunggah foto, menyertakan video, dan menggunakan teknologi serba canggih. Sebab konsep itulah akhirnya membawa bencana bagi memori gawai para guru. Di kelas, mereka memiliki peran fungsi ganda yaitu sebagai guru ditambah sebagai dokumentator. Untuk jenjang lebih atas, guru juga dituntut sebagai content creator. Kadang saya berpikir apakah guru di negara lain harus melakukan hal-hal seperti itu juga?

Setiap beberapa waktu, secara rutin guru kami akan melakukan pemindahan data foto atau video ke database sekolah. Beruntung sekolah kami sudah memiliki wadah penyimpanan, namun saya yakin sebentar lagi pun akan penuh. Kalau tidak, bencana pun akan dimulai. Mula-mula dengan gawai yang mudah error dan memori penuh. Tentu saja, tidak semua guru memiliki komputer jinjing pribadi.

Tak hanya dialami oleh guru di sekolah tempat saya bekerja, keluhan itu pun dirasakan oleh senior saya, ibunya seorang guru. Ia bercerita, “Saya membelikan Ibu saya HP karena sering hang.” Dia menganggap itu sebagai sedekah kepada negara. Bagaimana tidak? Sesuatu yang seharusnya ditanggung oleh negara sebagai akibat dari pengadaan hal-hal yang diwajibkan tersebut, malah diminta untuk dimodali sendiri.

Guru di sudut kampung pun tak ketinggalan. Dengan fasilitas minim, di kampungnya, ia harus berburu sinyal dan listrik di tempat-tempat tertentu. Berkejaran dengan pemadaman listrik, komputer yang error, dan mempelajari beragam aplikasi yang entah akan berhubungan dengan pekerjaannya atau tidak. 

Katanya, dengan adanya teknologi, menjadikan waktu kita semakin efisien. Nyatanya, kami warga pinggiran tetap saja harus bolak-balik ke pusat pemerintahan untuk mengurusi berbagai macam data. Perjalanan sejauh 40-an kilometer hanya menghasilkan satu klik dari dinas. Hal-hal yang sudah disediakan tentang fitur aplikasi malah tidak digunakan.

Man behind the gun. Soalan digitalisasi dan pemanfaatan teknologi, bukan hanya sekedar menghadirkan alat. Secanggih apa pun alatnya, jika tak bisa mengoperasikannya maka tidak akan berfungsi maksimal. Selama budaya bekerja tidak berubah, apalah arti perubahan itu.

Knowledge is power.” Sering didengar mengenai kutipan Sir Francis Bacon. Teknologi juga tidak terlepas dari hal tersebut. Nah, inilah syarat menuju masyarakat lanjutan: memiliki kuasa pengetahuan. Teknologi bukan sekedar alat atau cara tapi juga sebagai sistem berpikir. Selama pengetahuan pengguna teknologi belum mencapai apa yang diharapkan maka tidak akan maksimal.

Dengan pola pemerataan pendidikan hanya dengan satu cara yaitu digitalisasi, bolehlah kita bertanya apakah yang terjadi adalah pemerataan atau malah memperbesar ketimpangan?

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//