• Narasi
  • CERITA GURU: Berusaha Melampaui Ruang Kelas

CERITA GURU: Berusaha Melampaui Ruang Kelas

Anak-anak perlu dikenalkan bahwa kampung halamannya memiliki alam yang begitu indah dan bisa dimanfaatkan untuk kehidupan semua makhluk hidup.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Anak-anak Tegalluar bermain di sawah. Desa Tegalluar memiliki luas 756 hektare yang mayoritas masih berupa sawah dan tegalan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

7 Agustus 2024


BandungBergerak.id – Setiap bulan Juli kita para guru merencanakan apa yang menjadi kegiatan selama setahun. Kegiatan seperti ini seminimalnya dilakukan satu kali dalam setahun. Selebihnya, semua programnya banyak dievaluasi dan disesuaikan dengan kondisi di masa yang akan datang. Tentu saja dengan menimbang jarak, waktu, biaya dan energi. Para guru selalu memutar-mutar teka-teki itu hingga berbuah sesuai dengan harapan.

“Dana kita terbatas”, kalimat itu tersembunyi dalam arahan-arahan kepala sekolah ketika merencanakan kegiatan. Apalagi semenjak beberapa tahun ini, animo murid dan pandemi memperparah kondisi ekonomi semua pihak. Sebuah kegiatan bagus bukan tergantung pada dananya kan? Tapi tergantung kepada kreativitas dan jiwa guru yang mengajarnya. Itulah yang selalu membuat para guru optimis menghadapi keterbatasan dana kegiatan sekolah. Seperti kata pepatah dimana ada niat di situ ada jalan.

Forum orang tua yang didirikan sekolah beberapa tahun lalu ternyata lebih aktif dari dugaan kami. Sepertinya itulah jalannya. Pihak sekolah dan orang tua bisa berbagi mengenai pembelajaran anak di sekolah. Terutama urusan budgeting dan hal-hal yang perlu disiapkan orang tua pada umumnya. Meskipun berada di pinggiran dan bukan sekolah elite, hubungan itu tetap terjaga karena usaha orang tua. Komitmen bahwa pendidikan anak tidak bisa dilepaskan dari pendidikan keluarga, setidaknya bisa dibantu di sini.

Baca Juga: CERITA GURU: Menghafal Nama Murid
CERITA GURU: Mendidik dengan Kebaikan Hati
CERITA GURU: Ketika Guru Merancang Pembelajaran Sesuai Kebutuhan Siswa

Ruang Bermasyarakat

Syahdan, Indonesia sekitar tahun 1990-an pernah memiliki piloting project Local Content Curriculum, Salah satu daerahnya adalah Lampung. Jangan Anda bayangkan, muatan lokal adalah pelajaran seperti seni dan bahasa daerah. Muatan lokal yang dimaksud di sini adalah potensi daerah. Potensi bahasa, potensi budaya, potensi ekonomi dan sosial, komoditas yang bisa dikembangkan, dan sebagainya. Jika analisis ini sudah diperhatikan dengan benar oleh pemerintah, lantas dilaksanakan dalam ruang belajar dan ruang bermasyarakat, beberapa keberhasilan cukup bisa dicapai.

Dalam kasus ini, pelibatan aktif orang tua menjadi hal yang penting. Pendataan mengenai pekerjaan orang tua, dan menaikkan status ekonomi orang tua setempat. Bukan hanya itu, sekolah juga menjadi laboratorium pertanian yang bisa meningkatkan satu komoditas dengan cara tanam yang baru. Bahkan, orang tua yang tidak memiliki pekerjaan, bisa mendapat pekerjaan karena adanya aktivitas sekolah yang aktif. Ia masuk ke dalam kehidupan masyarakat dan mempersiapkan anak-anak untuk mandiri.

Jauh sebelumnya, Ciwidey, Kabupaten Bandung sudah memiliki pondok pesantren Al Ittifaq. Bukan hanya dengan orang tua, sekolah ini saya pikir menjadi salah satu contoh bagaimana kolaborasi menjadi dimungkinkan. Perpaduan antara dukungan pemerintah, kekuatan tekad dari pemimpin pesantren, dan kerja sama industri. Di pondok pesantren ini, bukan hanya berfokus kepada bidang keagamaan tapi juga dalam agribisnis. Sebab pesantren yang berdiri di area pertanian, menghasilkan banyak komoditas untuk memasarkan ke pasaran luas.

Sekolah-sekolah semacam ini, bukan sekolah yang hanya berdiri sendiri dan berorientasi menghasilkan nilai dan lulusan. Namun, ia juga memiliki keterbukaan dan juga pemerintah yang mendukung program yang sama. Program itu digulirkan sehingga orang tua yang memiliki lahan yang luas mau memberikan hak kelolanya dan kerja samanya pada sekolah. Komitmen sekolah bisa menjadi seperti demikian, karena memiliki visi yang lebih jauh dan sesuai dengan tata kelolanya.

Sepintas, terkadang merunut peranan sekolah sebagai motor penggerak perubahan agak mustahil. Namun, bisa kita lihat ada beberapa sekolah yang didirikan sehingga ia mengubah nilai-nilai yang jelek menjadi lebih baik. Keberadaan sekolah menjadi berdampak, bukan hanya sebagai tempat belajar mengajar. Orientasi sekolah saat ini terhadap nilai dan kebermanfaatan yang hanya di atas kertas, mulai menyempitkan pikiran bahwa manusia akan hidup hanya dengan selembar kertas itu. Salah satunya sekolah untuk bekerja (melamar di perusahaan).

Motor Penggerak Perubahan

Dari cerita-cerita yang dihimpun dan didapat, Pengalaman yang berhasil merupakan pengalaman yang menitikberatkan pada kolaborasi. Sekolah ini mampu bekerja sama dengan komponen apa yang Ki Hajar Dewantara sebut dengan Tri pusat pendidikan. Di antaranya rumah, sekolah, dan masyarakat. Meskipun belum melangkah hal-hal besar, para guru yang diperkuat dengan kepemimpinan kepala sekolah mulai berkomitmen untuk berkolaborasi.

Ada beberapa hal yang dilakukan ketika kami merencanakan untuk bekerja bersama. Pertama, mendata potensi orang tua yang bisa membantu sekolah dalam melaksanakan pembelajaran. Di beberapa sekolah, sudah lazim dilaksanakan Class meeting. Salah satu program sekolah yang menawarkan orang tua menjadi pengajar di sekolah. Tentu saja, banyak orang tua siswa kami yang belum bisa masuk ke kelas, maka kita memaksimalkan potensi yang lain.

Kedua, mendata tentang kearifan lokal dan potensi masyarakat dalam hal sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan. Prinsip mengajarkan dari yang terdekat tetap kami pegang sebagai acuan. Ketiga, mendata mengenai industri maupun instansi yang bisa diajak kerja sama untuk mengenalkan pendidikan di sekolah. Tahapan-tahapan ini dikerjakan sembari membayangkan satu wilayah yang sudah ramah anak dan terintegrasi untuk mewujudkan pendidikan.

Meskipun belum banyak, selama beberapa tahun ini, kami bisa mendapatkan pembelajaran yang dekat dari sumber daya sekolah, orang tua, dan masyarakat sekitar. Kami bisa mendapatkan pembelajaran langsung untuk kegiatan menanam padi di sawah, bermain air di irigasi, menangkap ikan di kolam, berkebun, memanen tanaman di kebun tetangga, melihat hewan ternak tetangga, bisa kami laksanakan dengan biaya yang terjangkau.

Meskipun terlihat biasa saja, pengalaman pembelajaran di alam itu akan sulit didapatkan bila lokasi sekolah terdapat di kota. Lagi pula, wilayah persawahan kami mulai berubah menjadi bangunan-bangunan yang tak menghasilkan tanaman lagi. Sedini mungkin, anak-anak perlu dikenalkan bahwa kampung halamannya memiliki alam yang begitu indah dan bisa dimanfaatkan untuk kehidupan semua makhluk hidup.

Juli di tahun ini, kami menawarkan secara lebih terbuka dan leluasa. Ternyata disambut dengan hangat oleh orang tua. Salah satu orang tua menawarkan salah satu kebunnya untuk bisa dijadikan pembelajaran kepada anak-anak. Tentu saja kami menyambut dengan gembira. Belum lagi orang tua yang siap sedia mengumpulkan barang-barang bekas untuk kami olah menjadi media pembelajaran anak.

Pada akhirnya, sekolah bukan tempat menjejalkan materi-materi untuk meningkatkan hasrat menaikkan peringkat sesuatu. Idealnya sekolah dan pengelolanya memiliki visi yang lebih luas agar kebermanfaatannya pun menjadi lebih luas. Tentu saja, sebab anak merupakan 75% lingkungan. Dengan memikirkan lingkungan yang lebih baik, diharapkan anak-anak pun ikut menjadi baik. Bukan hanya di kelas yang terdiri dari ruangan, tapi juga di kelas yang lebih besar yaitu dunia nyata.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//