• Narasi
  • CERITA GURU: Menghafal Nama Murid

CERITA GURU: Menghafal Nama Murid

Menghafal nama murid bukan sekedar menghafal nama, tapi ia perlu mengenali jiwa. Menyebut nama adalah gerbang menuju pengenalan.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Ilustrasi. Upah guru honorer masih jauh panggang dari api. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

17 Juli 2024


BandungBergerak.id – Setiap guru selalu ada saat bertemu kembali dengan peserta didik yang sudah lulus. Kebanyakan tidak sengaja berpapasan di jalan atau bertemu dalam sebuah acara. Pada saat itulah, guru-guru ini tidak memakai persiapan ataupun rencana pertemuan yang tak terduga itu. Hal ini pun akhirnya dialami oleh saya.

Pada suatu hari ketika pulang dari sekolah, dua gadis kecil menyapaku. Mereka bertanya tentang mengapa saya harus ke sekolah padahal masih libur. Tiap kali menemui momen yang demikian, penyimpanan data di pikiran harus bekerja lebih keras. Mata perlu memindai informasi wajah anak-anak ini kemudian mengambil satu berkas berisi data-data anak ini di pikiran saya. Dimulai dari nama, kelas, usia, aktivitas, rumah, kesukaan, orang tua, dan segala hal yang berhubungan dengannya.

Sayang sekali, setiap kali menemui momen itu, pemanggilan data tak mesti berhasil. Dalam beberapa detik kami saling bertegur sapa, saya tak berhasil mengingat nama satu anak itu. Wajah mungilnya menyiratkan kekecewaan seperti “mengapa guruku tak memanggil namaku?”.

Itulah alasan mengapa beberapa guru yang saya temui tak pernah menyebut nama-nama muridnya. Hanya dengan panggilan sayang khas orang tua. Ternyata untuk menyembunyikan kenyataan bahwa mereka tidak hafal nama anak didiknya. Sebuah siasat yang bisa ditiru.

Tapi tentu saja itu bukan momen pertama kali saya berada dalam pertemuan tanpa rencana. Dalam hal bertemu dengan peserta didik yang sudah lulus. Beberapa peserta didik yang sering berpapasan di jalan, saya pun tak tahu namanya. Terutama jika saya mengajar dalam kelas besar yang terdiri lebih dari tiga puluh peserta didik.

Katanya hal itu masih wajar. Sebab penelitian menunjukkan bahwa otak manusia memiliki kecenderungan lebih cepat mengingat wajah daripada mengingat nama. Namun perasaan tak enak itulah yang membuat berat bertemu dengan –mantan– peserta didik. Terlebih nama peserta didik yang sekarang semakin sulit untuk diingat dan diucapkan seperti “Eugene” dan ejaan-ejaan luar yang kemudian dibawa ke tanah air ini.

Baca Juga: CERITA GURU: Rapor Narasi
CERITA GURU: Bertemu Guru-guru Gokil
CERITA GURU: Baju Seragam Guru

Nama adalah Gerbang

Ketidakmampuan saya menghafal nama murid satu persatu, membuat saya merasa kecil hati. Sebab, guru-guru terbaik yang pernah saya miliki, mengingat nama dengan baik. Bukan hanya nama, tapi semua hal tentang peserta didik khatam diingat oleh guru saya. Bahkan dijadikan referensi bagaimana cara belajar, potensi, dari guru-guru.

Bu Yati. Guru SD saya. Saya tidak tahu bagaimana cara beliau mengingat satu persatu nama muridnya. Bahkan, saya yang sudah lama lulus, masih diingatnya sifat-sifat saya yang sepertinya tidak berubah. Beliau tahu apa yang menjadi gairah saya dalam kehidupan. Meskipun saya tak pernah bercerita banyak kepadanya.

Setelah dua windu, kami bertemu kembali dalam satu kelas. Bedanya, kali ini saya menjadi asisten beliau mengajar di kelas. Sama sekali belum berubah, beliau memetakan anak-anak dengan cermat. Mengingat nama anak sampai hafal detail rumah dan kondisi keluarganya. Siswa sekolah negeri tentunya lebih banyak setiap kelas, setiap tahun.

Itulah yang menjadikannya guru yang welas asih dan penuh kasih sayang. Pak Teten yang merupakan kolega beliau sekaligus guru olahraga di SD saya, mengakui dan mengagumi tentang cara-cara Ibu Yati memahami kondisi peserta didik. Selain mengenal anak, tulisan Bu Yati pun rapi dengan aksara tegak bersambung.

Jika Bu Yati mengajar anak-anak SD dan hafal nama-nama peserta didiknya, ada satu lagi guru yang hafal setiap nama peserta didiknya. Namanya Ummi Masbikhah. Beliau adalah pembina pondok pesantren mahasiswa. Biasanya, pimpinan pondok pesantren akan sulit menghafal nama santri-santrinya. Sehingga saya tidak pernah menaruh ekspektasi untuk dikenal oleh Ummi. Tapi tidak dengan Ummi Masbikhah, beliau akan menyebut kami yang berdelapan puluh tiga orang dengan fasih tanpa mengingat terlalu lama.

Awalnya saya berpikir, bahwa kemampuan mengingat itu adalah sebuah bakat alami yang hanya dimiliki sebagian manusia saja. Asumsi saya berubah seiring dengan saya memasuki ruang rapat Ummi dan pemandu asrama. Hatiku menghangat dan terharu. Ketika melihat potret diri kami terpampang begitu jelas di dinding ruangan itu. Potret itu diambil ketika pertama kali kami datang ke asrama. Dibubuhkan identitas kami dan memungkinkan untuk diamati dan dibaca setiap hari karena ditempel di dinding. Ya, beliau bukan selintasan lalu kemudian mengingat kami. Tapi sengaja mengenali dan mendalami kami sebagai muridnya.

Ada beragam cara untuk menghafal sebuah nama dan memahaminya lebih dalam. Ia akan teringat apabila sering bertemu, sering diulang, dan memberikan kesan mendalam. Menghafal nama murid bukan sekedar menghafal nama tapi ia perlu mengenali jiwa. Masih nasihat dari guruku, bahwa manusia kecil yang berada di hadapan kita di kelas bukanlah sesuatu yang perlu diprogram. Tapi memiliki jiwa yang sama kompleksnya dengan kita.

Menyebut nama  adalah gerbang menuju pengenalan. Menjalin keakraban. Merasa ada dalam ingatan. Berkesan. Begitulah yang kurasakan jika guru saya ingat nama saya. Mungkin, saya menimbulkan kesan tertentu entah baik ataupun buruk. Tapi yang pasti, berkesan.

Pada satu kesempatan, saya sempat berbincang dengan peserta didik yang pernah bertemu di ruang kelas dan sudah meninggalkan sekolah. Selama ia SMP, hampir setiap waktu kami berpapasan di jalan. Setiap itu pula saya tidak tahu namanya. Saya hanya ingat wajahnya. Anak itu menyadari bahwa gurunya itu tidak hafal namanya.

“Tuh kan, Ibu mah gak hafal namaku ya? Ayo tebak? siapa?”

Lagi-lagi ini adalah pertemuan tanpa rencana, saya pun mengakui bahwa saya tidak hafal namanya. Maafkan saya, peserta didik yang namanya –tak sengaja– terlupakan. Menjadi Pekerjaan Rumah di setiap tahun ajaran baru, untuk mengenali dan mendalami peserta didik secepat mungkin. Agar ia tak banyak hilang.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//