CERITA GURU: Bertemu Guru-guru Gokil
Harusnya guru itu bukan tukang mengajar. Belajar, punya pandangan hidup, dan memiliki landasan mengajar pribadi adalah kunci menjadi guru dan pendidik yang gokil.
Laila Nursaliha
Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.
4 Juli 2024
BandungBergerak.id – Aula fakultas Teknik UNY tahun 2015. Seperti Bapak-bapak pada umumnya. Pertama kali saya melihat ia mengenakan kemeja, berkacamata, usianya tak beda jauh dari Bapakku yang menginjak setengah abad. Ia duduk di sofa podium yang disediakan oleh panitia. Dilanjutkan bercerita dengan semangat, mengundang penasaran, sambil mengundang tawa.
Namanya J. Sumardianta. Penulis buku “Guru Gokil Murid Unyu”. Ia menjadi daya tarik bagi kami untuk menghadiri acara talkshow tersebut. Kami menghadiri dengan pertanyaan segokil apa guru yang satu ini?
Biasanya, narasumber seminar tentang pendidikan itu kalau tidak psikolog, dokter, ahli filsafat, sosiolog –pokoknya semuanya di undang kecuali ahli di bidangnya sendiri: Guru. Fenomena ini juga yang membuat saya heran waktu itu. Mengapa guru-guru jarang menjadi narasumber bahkan untuk mendidik calon guru. Selain itu, saya membutuhkan katakanlah mentor atau guru-guru yang asyik dan menyenangkan. Selain asyik, guru ini pun paham betul dengan ilmu pendidikan.
Pak Guru yang dikenal akrab dengan muridnya dan sering dititipi oleh orang tua siswa itu, memberikan angin segar kepada kami mahasiswa keguruan tentang bagaimana pengalaman beliau menjadi guru yang gokil dan akrab dengan anak-anak. Bagaimana tidak? Bisa kami memberi tanda, bahasan yang dibawakan oleh guru kadang tidak menarik, seputar pembelajaran dan garing. Itulah yang saya khawatirkan. Tapi bersama Pak Sumardianta, bayangan itu sirna. Ia menjadi dinamis dan menyenangkan.
Hal itu membuktikan bahwa teori yang kami pelajari di ruang kelas bukan sekedar teori yang ada di atas kertas. Semua yang kami pelajari selama masa pendidikan itu cukup berguna, daripada kami harus menyimpan dalam lemari dan membuangnya begitu saja. Bukan karena eksklusif. Tapi harus diketahui, bahwa sesuatu itu ada ilmunya.
Kembali kepada guru gokil yang kami temui, Pak Sumardianta menceritakan berbagai pengalamannya mengajar dengan segar. Ia mengajar di sekolah yang berjarak hanya beberapa kilometer dari kampus kami: Kolese de Brito. Sebuah sekolah berbentuk asrama untuk laki-laki. Beliau mengajar pelajaran sosiologi.
Dari pengalamannya, ia sempat membuat buku Laskar Pelangi untuk ditelaah aspek-aspek sosiologisnya. Ia menempatkan semua hal yang populer dan menyenangkan dalam ruang kelasnya. Selama kami duduk di sana, banyak lompatan gambaran menyenangkan dalam pembelajarannya.
Saya selalu ingat kata Dr. Ch. Ismaniati, dosen evaluasi pembelajaran yang mengajarkan kami untuk selalu berinovasi bukan hanya menjadi tukang. Harusnya jadi guru bukan tukang ajar. “Pendidikan itu bukan filsafat, bukan komunikasi, bukan psikologi, bukan sosiologi, bukan kesehatan, bukan ilmu-ilmu lain yang kami pelajari. Pendidikan itu ya pendidikan dalam artian semuanya keilmuan itu diramu menjadi satu lalu terbitlah sebuah rumpun bernama pendidikan.”
Keilmuan ini termasuk keilmuan terapan seperti arsitek dan kedokteran. Diam-diam saya pernah mengikuti beberapa kuliah tentang arsitek dan kedokteran. Akhirnya saya menemukan satu benang merah di bidang saya ini. Oh, ternyata ada bidang senasib, belakangan saya tahu, bidang baru bermunculan menjadi semakin banyak.
Sambil bersepeda pulang menuju indekos, wajah kami tersenyum-senyum. Langsung membuka dunia, kira-kira apa yang akan kami lakukan terhadap adik-adik kami di sekolah? Bagi kami, Pak guru Sumardianta membanggakan. Ada guru seasyik dan segokil itu ternyata. Tentu saja, ingatan yang ada masih melekat hingga hampir satu dekade berlalu.
Baca Juga: CERITA GURU: Secuplik Kenangan tentang Pak Iwan
CERITA GURU: Gagal Paham Belajar Mencuci Baju
CERITA GURU: Rapor Narasi
Guru Gokil yang Lain
Berbeda dengan Pak Sumardianta, pertemuan dengan guru gokil selanjutnya adalah pertemuan tak disangka-sangka. Sama seperti Bapak-bapak umumnya, beliau berpenampilan sedikit lebih rapi daripada guru pada umumnya. Sepatunya mengkilap bak eksekutif. Bahkan awalnya saya tak menyangka beliau seorang guru. Begitulah kesan yang kudapat ketika bertemu dengan penulis buku “Menulis tanpa Rasa Takut”.
Saya tahu karena teman dekat saya mengoleksi buku-bukunya. Bagaimana tidak? Bukunya selalu ia bawa ke mana pun kami pergi. Ide-idenya tentang guru dan murid kadang kami bicarakan juga. Sehingga, ketika saya melihat poster Kelas Menulis Dasar yang diampu oleh beliau, tanpa pikir panjang, langsung saya mendaftar.
Kami belajar di sebuah ruang di Jalan Kaliurang Km 4.5. Sekitar 2-3 kali pertemuan, bersama penulis buku yang juga seorang guru, St. Kartono. Lagi-lagi, mulanya saya tidak membayangkan apa yang akan beliau bawakan. Tentu saja, pelajaran menulis dasar. Dimulai dari mencari ide dan membaca koran. Banyak yang kami dapatkan, namun secara tidak terduga ia menyisipkan pemikirannya tentang pandangannya tentang anak.
Saya masih ingat Pak St. Kartono berkata : “Anak-anak itu seperti lahan garapan. Ia perlu waktu istirahat untuk tidak ditanami. Jadi, berilah ia waktu libur, agar bisa ditanami dengan maksimal.” Lalu ia menjelaskan tanah yang memiliki masa rehat untuk bekerja sebelum ditanami kembali. Disiapkan kembali agar siap ditanami.
Di saat gempuran pembiasaan yang harus dilakukan setiap hari tanpa henti, Pak guru yang mengajar bahasa dan sastra Indonesia malah memiliki pandangan lain tentang liburan. Tentang mengisi energi untuk belajar kembali agar anak-anak siap belajar. Dalam artian tak usah terburu-buru.
Bukan hanya untuk anak didiknya, beliau juga menjadi guru untuk kami di kelas menulis ini. Banyak pengalamannya yang mengajarkannya langsung kepada kami tanpa harus dijadikan mata pelajaran khusus, utamanya tentang karakter. Seperti biasa, seusai kelas isi kepala penuh kebahagiaan dan kegirangan. Kali ini, dibekali secangkir kopi.
Dua pertemuan dengan guru-guru gokil begitu membekas di hati dan pikiran. Membuat saya memiliki percaya dan harapan: “Oh, jadi guru bisa sekeren itu.” Bersenang-senang bersama anak-anak sekaligus belajar bersama. Meskipun hidup kadang sudah meremukkan tulang dan pelan-pelan membasmi harapan.
Senada dengan perkataan Prof. Hamid yang selalu saya ingat, “Kamu tidak bisa memberi apa yang tidak kamu miliki. Begitu pun mendidik, kamu tidak bisa mendidik apa yang tidak kamu miliki.” Belajar, memiliki pandangan hidup, dan memiliki landasan mengajar pribadi adalah kunci bagi para guru dan pendidik agar menjadi lebih gokil. Satu lagi, jangan tenggelam dalam pekerjaan administrasi guru yang melelahkan itu.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang guru