CERITA GURU: Gagal Paham Belajar Mencuci Baju
Hal kecil dan bisa dijelaskan secara nalar, tapi tidak untuk pikiran anak-anak. Tugas guru menyederhanakan yang pelik ke dalam dunia anak-anak secara baik dan benar.
Laila Nursaliha
Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.
12 Juni 2024
BandungBergerak.id – Sejak mulai mengajar untuk anak usia dini, kompetensi untuk anak mandiri dan bisa melakukan pekerjaan rumah menjadi kompetensi yang diutamakan alias nomor satu. Dalam batas minimal, anak ini bisa membantu orang tuanya dengan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan untuk dirinya sendiri. Seperti merapikan tempat tidur, membereskan mainan, mencuci baju sendiri, mencuci piring bekas pakai, makan makanan bergizi, mengurusi diri sendiri sudah tertanam di benak mereka sejak dini.
Berkaca kepada diri sendiri dan teman-teman yang hidup jauh dari orang tua, keterampilan bertahan hidup inilah yang penting. Dalam satu angkatan, ada saja anak yang masih ketergantungan dengan orang tuanya untuk mengurusi hidupnya sendiri. Ia tak bisa mengerjakan pekerjaan sehari-hari dan tidak bisa menentukan kebutuhan apa yang tepat untuk dirinya. Pada suatu waktu, anak-anak ini mengalami kesulitan ketika ditinggal orang tuanya atau kehabisan bekal karena tidak bisa melakukan apa pun.
Tidak sedikit juga anak-anak yang mandiri. Bukan hanya mandiri finansial, tapi ia juga cakap dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Ditambah masakannya juga enak. Menariknya, hal itu terjadi pada kawan laki-laki. Mereka melakukan pekerjaan itu lebih rajin daripada perempuan. Di mana pekerjaan domestik sering di-nisbat-kan sebagai pekerjaan perempuan.
Melihat kondisi anak-anak rantau yang beragam adanya, keinginan menjadikan anak-anak mandiri tertanam di benak saya dan menjadi satu obsesi. Selain berdasar pengalaman, negara Jepang menerapkan materi pendidikan anak usia dini bertolak pada kemandirian. Sehingga, anak-anak usia dini, sudah bisa mengurus dirinya sendiri bahkan bisa membantu orang tuanya
Setelah melalui beberapa kali proses pikir, orang tua di tempat tinggal saya, jaman dulu pun mendidik anaknya untuk mandiri. Hanya saja tak pernah tersampaikan secara lisan dan diajarkan secara formal. Lambat laun, nilai-nilai itu terkikis sebab orientasi pendidikan yang banyak mementingkan tuntutan akademik.
Berbekal pengajaran Ummi di pesantren, saya pun ingin mewujudkan pengalaman itu. Kelas rapi, bersih, dan utamanya tidak merepotkan penjaga kebersihan sekolah. Pesantren yang dikelola oleh Ummi, tak pernah mendatangkan petugas kebersihan semuanya digarap oleh santri. Pertanyaannya : apakah mungkin apabila digarap oleh anak TK? Saya pikir bisa. Targetnya tak muluk-muluk untuk menyapu lantai dengan bersih, tapi sekedar bertanggungjawab atas dirinya sendiri pun sudah bagus. Apalagi membantu pegang sapu. Setidaknya begitulah bayangan ideal anak-anak lucu tentang pembelajaran kemandirian ini.
Di tahun kedua saya mengajar anak usia dini, saya mendesainkan dalam bentuk pembelajaran anak TK. Mencuci pakaian dimaksudkan sebagai bagian dari pembelajaran dalam urusan merawat diri. Tujuan pembelajarannya adalah untuk mengenalkan kepada peserta didik bagaimana caranya mencuci baju. Selain itu, sambil mengenal bahan kimia dan bahan alam yaitu detergen dan air. Lalu, bagaimana bijak menggunakan detergen secara baik dan benar, menggunakan ember, menyikat, menghilangkan noda, menghemat air, dan sebagainya.
Pada hari itu, saya bersemangat memasuki ruang kelas. Segala perlengkapan sudah saya siapkan kecuali baju kotor. Baru ingat, saya lupa mengabarkan kepada orang tua untuk membawa baju kotor anak-anaknya. Tanpa pikir panjang, saya membawa pakaian kotor yang sudah tidak dipakai di rumah. Rencana tetap terlaksana.
Di kelas, kami menggunting baju yang sudah kotor bersama-sama agar semuanya bisa kebagian mencuci bagian baju yang kotor. Kini peralatannya sudah lengkap mulai dari ember, air, detergen, dan kain kotor. Anak-anak perlu mengamati proses mencuci ini dengan baik. Sebab, nanti akan berhubungan dengan bagaimana noda terlepas oleh detergen dan tidak memakai detergen, hingga bagaimana membersihkan pakaian dengan air dan busa-busa itu pada akhirnya harus hilang sebagai tanda bersihnya baju yang sudah dicuci.
Pelajaran hari itu kami habiskan dengan mencuci dan bermain air. Tentu kami rapikan kembali. Setelahnya, saya tugaskan anak-anak untuk membantu orang tua dengan mencuci pakaian sendiri. Sejauh ini, mereka cukup mengerti tentang bagaimana mencuci pakaian dengan baik dan benar, membandingkan hasil mencuci pakaian dengan detergen dan tidak memakai detergen, manfaat detergen, dan terakhir adalah pentingnya pakaian bersih.
Baca Juga: CERITA GURU: Memanjangkan Ingatan di Ruang Kelas
CERITA GURU: Digitalisasi dan Ilusi Pemerataan Akses Pendidikan
CERITA GURU: Secuplik Kenangan tentang Pak Iwan
Memahami Nalar Anak-anak
Dua hari kemudian salah satu orang tua peserta didik bercerita kepada kami dengan mengadukan masalah anaknya yang tiba-tiba menggunting baju.
“Mi, kenapa anak saya minta baju terus digunting-gunting? Dia bilang mau mencuci. Ya saya bilang, kalau mau nyuci ya nyuci aja pake air pake detergen gak usah diguntingin juga bajunya,” orang tua itu bertanya sambil keheranan bercampur tidak mengerti apa yang dilakukan anaknya.
Saya mendengar laporan itu pun kaget. Waktu itu memang saya meminta anak-anak untuk membantu orang tuanya mencuci. Tapi tidak dengan menggunting baju menjadi beberapa potongan. Semua guru pun bingung. Saya lebih bingung sebab anak itu berada dalam asuhan kelas saya. Secara otomatis sekaligus mengevaluasi apa yang salah dalam pembelajaran saya selama ini.
Sepekan kemudian ingatan itu muncul kembali : pelajaran mencuci. Detailnya adalah saat menggunting baju kotor di depan anak-anak. Padahal, sudah saya jelaskan bahwa pakaian yang digunting ini adalah simbol dari pakaian kotor. Sebab saya lupa memberi pengumuman kepada orang tua. Ketika nanti anak-anak di rumah, yang dicuci adalah pakaian kotor. Sepertinya, anak itu menangkap bahwa sebelum mencuci, kainnya perlu digunting terlebih dulu. Maka dari itu, dia meminta baju dan diguntingnya.
Saya menghela nafas, antara lega sudah ketemu masalahnya dan sesak dengan apa yang saya lakukan ternyata berdampak tidak baik terhadap anak. Kelihatannya hal kecil dan bisa dijelaskan secara nalar, tapi tidak untuk pikiran anak-anak. Anak-anak belum bisa menerima sepenuhnya hal-hal yang demikian. Segera saya pun meminta maaf kepada orang tua.
Salah seorang guru pun mengingatkan, agar tidak menggunakan perilaku yang tidak wajar (membedah, menyusun secara tidak beraturan, membuatnya seperti bongkar pasang, dll.) ketika memperkenalkan sesuatu misalnya anggota tubuh, atau membedah salah satu hewan. Khawatir ada anak yang nantinya mencongkel atau meniru apa yang dilakukan oleh guru.
Konon katanya, bisa saja anak tersebut mencongkel mata adiknya, karena mereka berpersepsi bahwa mata adalah sesuatu yang sifatnya lepas pasang. atau malah menjadi menyiksa hewan, sebab kita membedah ikan di hadapannya dan mencari bagian-bagian tubuhnya. Saya hanya bisa nyengir mendengar penjelasan guru tersebut. Apa yang diutarakannya benar terjadi di kelas saya.
Di sana saya belajar, obsesi dan visi saja tidak cukup. Tapi perlu menurunkan dan menerjemahkan secara benar. Itulah fungsi guru dalam pendidikan. Menjadi perantara dari peliknya hidup dan menyederhanakan ke dalam dunia anak-anak secara baik dan benar. Hingga kini, saya belum berani lagi melakukan pelajaran mencuci bersama anak-anak. Cukup pekerjaan kemandirian yang lain.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang guru