CERITA GURU: Rapor Narasi
Pertanyaan umum dari setiap pembagian rapor dari dulu hingga sekarang tampaknya belum berubah. Pertanyaan soalan peringkat, kenaikan kelas, dan remedial.
Laila Nursaliha
Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.
26 Juni 2024
BandungBergerak.id – Sebelum mengisi rapor di semester ini, para guru memeriksa umpan balik dari orang tua mengenai isi rapor peserta didik. Kebanyakan yang tidak dibubuhkan tandatangan, yang berarti tidak dibaca oleh orang tua murid. Bisa dihitung jari, siapa saja orang tua yang menuliskan umpan balik maupun yang menandatangani hasilnya tersebut.
“Buat apa kita nulis panjang-panjang tapi orang tua juga tidak membacanya?” ujar salah seorang guru.
Setelah berdiskusi dengan orang tua di forum orang tua siswa, didapati juga keluhan bahwa rapor narasi yang sekarang diberlakukan ini membuat orang tua pusing. Harus membaca, tapi isinya tidak dapat dimengerti. Akibatnya, kebanyakannya rapor tidak dibaca. Kenyataan itu membuat para guru semakin yakin untuk mempersingkat tulisan rangkuman laporan.
Kami, para guru, berembuk bagaimana caranya agar bisa merangkum. Baik, kalau begitu kita rangkum menjadi kelebihan anak dan kekurangannya di mana saja dalam tahapan perkembangannya. Di TK, tentu saja penilaian kami mengacu kepada tahapan perkembangan anak yang cukup luas. Sehingga para guru memang terbiasa menceritakan hal secara panjang lebar dari sisi anak tersebut bisa sampai sedetail-detailnya. Sepertinya itu sudah cukup daripada mengacu kepada format narasi yang tersedia.
Saya pun menjadi berpikir, ketika membaca rapor adik saya yang duduk di bangku Sekolah Dasar, isi rapor narasinya memang, menurut saya, tidak menarik sebagai suatu laporan. Sebagai contoh : siswa cukup/baik/kurang mengerjakan kompetensi yang dipelajari. Saya mencari adakah perilaku adik saya yang di luar kebiasaan? Apa kurangnya dan lebihnya sebagai sebuah pribadi yang sedang belajar. Pada dasarnya saya kurang memedulikan nilainya, tapi prosesnya. Selama beberapa tahun membaca rapor narasi, rasanya begitu saja, nyaris tak ada perubahan kecuali kompetensi yang dicapainya.
Baca Juga: CERITA GURU: Digitalisasi dan Ilusi Pemerataan Akses Pendidikan
CERITA GURU: Secuplik Kenangan tentang Pak Iwan
CERITA GURU: Gagal Paham Belajar Mencuci Baju
Butuh Pengenalan yang Mendalam
Rapor narasi yang diberlakukan di sekolah beberapa waktu belakangan ini, menjadikan guru memiliki perhatian lebih kepada anak satu persatu. Untuk guru di jenjang PAUD, hal ini memang sesuai dengan apa yang dihadapinya sehari-hari. Dia bisa menghimpun cerita dan mengenal anak secara mendalam karena memang terlibat di dalamnya. Jumlah siswanya cenderung sedikit, sehingga guru bisa menaruh perhatian kepada anak-anak.
Proses ini memerlukan keterlibatan aktif guru dalam seluruh kegiatan anak di sekolah. Saat di kelas, saat makan, istirahat, bermain, dan siapa yang melakukan antar jemput hari tersebut, guru mestinya tahu. Proses pengenalan mendalam itu tidak terjadi secara satu atau dua hari, ia terus diusahakan dan juga didiskusikan dalam setiap rapat dan obrolan mengenai perkembangan anak di forum guru. Guru yang lain pun mengamati dan memberikan bantuan serta solusi untuk proses pencapaiannya.
Berbeda lagi jenjang dan konteksnya, saya membayangkan apabila saya guru Sekolah Dasar. Satu guru memegang 40 siswa per kelas bahkan lebih sampai 60 siswa. Betapa repotnya! Menganalisis satu persatu anak mengenai latar belakangnya, kemampuannya, hingga bagaimana cara ia belajar itu membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Baru masalah pengajarannya, belum kepada dalaman-dalaman jiwa peserta didik yang memerlukan perhatian.
Sayangnya, para guru yang sudah terlibat banyak administrasi ini akan sulit memiliki waktu untuk menelaah siswanya satu persatu apalagi untuk mendiskusikannya bersama rekan sejawat. Ia perlu berjuang maksimal mengerahkan tenaganya. Proses pengenalan yang mendalam kepada peserta didik akan lebih sulit.
Bukan hanya mengenal siswa, sebelum guru mengisi rapor tersebut, membuat sebuah rubrik penilaian. Apabila rubrik penilaian ini sudah dibuat, maka membuat konversi ke dalam bentuk angka dan kualitas pun akan memudahkan para guru. Dalam artian, inilah yang berbasis proses. Tentu saja, ini akan mengalami kesulitan apabila guru belum terbiasa melakukan atau membuat rubrik penilaian.
Proses mengisi rapor narasi memang memerlukan waktu dan perhatian yang tidak sedikit untuk memperhatikan satu persatu detail kepribadian siswa. Sama seperti mengisi rapor yang sebelumnya dengan menggunakan angka. Sayangnya, meskipun beribu kali pembagian rapor kadang sedikit sekali perubahan hasil dari rapor itu. Rapor belum berfungsi secara maksimal sebagai sarana penilaian.
Berbasis Hasil vs. berbasis Proses
“Rengking sabaraha?”
“Naek kelas teu?”
“Aya nu beureum nilaina?”
Pertanyaan umum dari setiap pembagian rapor dari dulu hingga sekarang tampaknya belum berubah. Pertanyaan soalan peringkat, kenaikan kelas, dan remedial.
Konon, rapor narasi yang menggunakan narasi sebagai hasil dari proses penilaiannya itu akan mereduksi anggapan masyarakat terhadap pembelajaran berbasis hasil serta fokus terhadap pencapaian anaknya sendiri. Pada kenyataannya ternyata tidak semudah itu mengubah persepsi masyarakat.
Pada hari pembagian rapor, akan saja ada pengumuman peringkat kelas dari 1-10 oleh wali kelasnya. Kemudian orang tua akan mencari tahu dengan membandingkan nilai anaknya dengan nilai temannya. Bagi saya, sama saja antara isian rapor yang sebelumnya dan isian rapor yang digunakan sekarang : tidak mengubah apa-apa.
Jebakan akan hasil dan peringkat semakin diperkuat dengan banyaknya pemeringkatan di mana-mana. Meskipun dalam tingkat pendidikan rendah hal itu mulai direduksi dengan adanya zonasi, tapi di tingkat pendidikan tinggi makin melambung dengan adanya sistem pemeringkatan universitas.
Aroma kompetisi masih begitu kuat mengakar dan mendarah daging dalam masyarakat kita. Mengubahnya di akhir dan sistem evaluasi meskipun akan mengubah sistem pengisian, apabila tidak diketahui secara mendasar apa yang menjadi landasan penggunaannya, bisa dinilai tetap akan pada kebiasaan.
Seperti jenis isian rapor narasi yang menggunakan paradigma pembelajaran berbasis proses sedangkan rapor sebelumnya menggunakan paradigma pembelajaran berbasis hasil. Bisa jadi, ada yang lebih sesuai daripada menggunakan kedua pendekatan itu. Yaitu pendekatan yang dikuasai oleh gurunya dan sesuai dengan masyarakatnya.
Urusan rapor bukan hanya urusan menilai dengan menguraikan kata-kata ataupun menghitung dengan hitungan matematis dan statistik. Urusan rapor adalah urusan proses belajar dan bagaimana paradigma belajar. Namun, balik lagi seperti idiom yang populer “man behind the gun” ini lebih penting daripada jenis rapor ini sendiri. Baik pembuat rapor maupun pembaca rapor.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang guru