• Narasi
  • CERITA GURU: Baju Seragam Guru

CERITA GURU: Baju Seragam Guru

Baju seragam menjadi beban finansial tersendiri bagi guru baru dengan penghasilan rata-rata 10-20% dari UMK. Untuk apa pengadaan dan pemakaian baju-baju seragam itu?

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Ilustrasi. Upah guru honorer masih jauh panggang dari api. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

10 Juli 2024


BandungBergerak.id – Bayangan tentang seragam tak pernah sepenuhnya ada di benakku. Sempat beberapa tahun menjadi guru paruh waktu, memang membuatku tak pernah berpikir tentang seragam. Ketika memasuki sekolah pun saya bahagia karena tak ada kewajiban mengenakan seragam.

Bisa dibilang saya termasuk yang tidak bersemangat dalam mengenakan seragam. Seperti dosen saya, Prof. Dr. S.B. Wahyono, ia termasuk juga yang anti menggunakan seragam. Selain kadang seragam tidak sesuai dengan kaidah gaya berpakaian pribadi, ia juga mengurangi kebebasan berekspresi. Selama berkuliah sampai bergabung dalam guru paruh waktu, saya tak perlu risau tentang seragam. Karena seragam bersifat tidak mengikat.

Sejauh itu, hidup kami baik-baik saja, sampai akhirnya di sekolah tempat saya mengajar, bergabung dalam Ikatan-ikatan yang bersifat kedinasan. Mulai seragam coklat yang biasa dipakai oleh Aparatur Sipil Negara (ASN), batik, pakaian hitam putih bahkan celana/rok jeans, seragam pramuka, dan seragam-seragam lainnya.

Sejujurnya, tak pernah kami pakai di sekolah. Menemani anak usia dini bermain dan belajar, membutuhkan pakaian yang sederhana serta mendukung untuk bergerak aktif. Bukan jenis seragam formal yang membatasi pergerakan dan tidak nyaman dipakai.

Dengan kebaikan hati kepala sekolah kami, kami tak pernah mengenakan seragam tersebut. Sebab sekolah kami bukan instansi pemerintah. Kami tak memiliki kewajiban mengenakan seragam itu dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun ada seragam, hanya dresscode saja. Sehingga kami masih bebas menentukan model, gaya, sesuai dengan selera kami.

Tak berlangsung lama, pergaulan bersama teman sejawat antar sekolah pun mensyaratkan baju seragam. Hingga beberapa bulan terakhir ini, kami pun dihadapkan dengan acara beruntun dengan proyek pembuatan seragam.  Dimulai dari membeli kain yang dibutuhkan, mengukur baju, hingga menjahit kepada profesional yang bisa membuatkan seragam. Sekurang-kurangnya, untuk membuat seragam formal, diperlukan biaya sekitar Rp 400.000 sampai Rp 500.000.

Tak cukup pakaian, sepatu sampai warna tas pun memerlukan warna yang sama. Beruntung apabila sudah sesuai. Jika belum memilikinya, tentu harus segera mengeluarkan biaya untuk membeli perlengkapannya. Kami tidak tahu bahwa pengadaan seragam ini merupakan satu hal yang normal atau tidak. Hanya saja, bagi kami, terlalu banyak biaya yang dikeluarkan hanya untuk sekedar mengadakan seragam.

Alih-alih menjadi satu pengukur yang tidak melibatkan kelas, seragam akhirnya menjadi satu beban finansial tersendiri bagi guru baru yang berpenghasilan rata-rata hanya 10-20% dari UMR.

Dalam jurnal yang ditulis Wilken dan Aardt (2012) membahas bahwa pembelian seragam memang memerlukan biaya produksi yang mahal.  Dengan asumsi, biaya produksi yang cukup mahal sepadan dengan kualitas baju yang dihasilkan : tidak cepat rusak, katanya. Sebab seragam ini akan dipakai setiap hari dan bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama. Namun, hal ini menjadi beban finansial bagi orang tua murid. Tapi, jika seragam guru, hal ini berimplikasi pada beban finansial guru itu sendiri.

Pada dasarnya, seragam bukan sesuatu hal yang esensial. Baik untuk guru maupun peserta didik. Pada zaman dahulu, manusia tetap bisa melakukan proses belajar mengajar tanpa adanya seragam. Ketika Inggris memasuki masa modernisasi pendidikan, beberapa sekolah mulai menggunakan seragam. Penggunaan seragam pertama kali dilakukan oleh golongan segelintir orang di Inggris. Kemudian diadopsi di seluruh Inggris pada abad 16-an. Hal ini menunjukkan karakter kelas terdidik yang bersekolah di Inggris.

Secara beruntun, setelah Inggris memberlakukan aturan seragam, diadopsi oleh banyak negara dan mulai lumrah digunakan. Termasuk di Indonesia. Masuknya sistem pendidikan kolonial, sekaligus membawa seragam kepada rakyat pribumi, memberikan satu kasta baru dalam sejarah pendidikan Indonesia. Seragam merupakan penanda yang menyeragamkan serta menjadi penanda identitas. Secara masif aturan seragam diadaptasi oleh negara di dunia pada masa sekitar tahun 1980-an.

Ada beberapa hal mengapa penggunaan seragam ini menjadi pertimbangan dan dilaksanakan. Wilken dan Aardt, melakukan penelitian mengenai persepsi siswa, guru, dan orang tua di Vanderbijlpark, Afrika selatan. Setidaknya ada delapan faktor yang diperhitungkan dalam persepsi sebuah seragam yaitu fungsi, keuntungan/kerugian ekonomi, kompetisi, hemat waktu, standar dan perilaku akademik, keamanan, serta keuntungan sosial.

Penggunaan seragam erat kaitannya dengan proses penyamarataan lingkungan agar tidak terjadi ketimpangan antara status ekonomi. Selain itu, penggunaan seragam dikaitkan dengan kedisiplinan. Itulah yang dikaitkan dengan peserta didik. Namun, untuk seragam guru, saya belum banyak menemukan hal-hal yang dirasa berkaitan dengan performa kompetensi mengajarnya.

Baca Juga: CERITA GURU: Gagal Paham Belajar Mencuci Baju
CERITA GURU: Rapor Narasi
CERITA GURU: Bertemu Guru-guru Gokil

Bukan Hanya Seragam Dinas

Bukan hanya untuk alasan mengajar sehari-hari, seragam-seragam lain pun bermunculan. Setiap acara hampir selalu dibuat seragam. Acara pun menawarkan seragam berupa pakaian kasual seperti kaos. Untuk yang berkerudung ditambah dengan kerudungnya. Saat acara bermain, maka disediakan kaos yang tersedia untuk dibeli. Alasannya demi identitas dan kekompakan. Meskipun saya tak pernah sejalan.

Pengadaan seragam batik kecamatan, seragam batik kabupaten (mungkin ada juga batik tingkat provinsi?) hanya menambah ongkos pengeluaran saja. Tak jarang, karena sekolah pun tak bisa menutupi biaya pengadaan pakaian, membuat para guru diberikan pinjaman berjangka beberapa bulan untuk seragam yang hanya akan dipakai sekali dan entah kapan lagi akan kami pakai.

Usaha guru untuk mengurangi baju pun menjadi jauh dari harapan. Mengosongkan isi lemari hanya untuk baju-baju yang hanya sering dipakai pun terasa semakin sulit. Karena saban waktu dipenuhi oleh baju-baju seragam yang jarang sekali dipakai.

Kadang saya berpikir, apakah guru-guru di luar negeri sana pun perlu membeli seragam yang mengimpit jiwa serta tak nyaman dipakai? Mungkin, mereka pun memiliki satu set seragam, namun hanya dresscode yang tidak sampai diatur secara lebih rinci mengenai modelnya. Masing-masing, memiliki gayanya.

Beberapa pikiran masih bertengger di kepala saya. Seragam itu wajar, hanya saja apabila kebanyakan, apalagi setiap acara memerlukan seragam, tentu jadi cukup menjengkelkan. Seperti dokter yang hanya memiliki jas putih sebagai penanda sebagai profesinya. Atau profesi lain yang mensyaratkan baju profesional biasa.

Barangkali, dengan perilaku penyeragaman pakaian ini, para guru sudah menyumbang fast fashion dan konsumtif pada hal-hal yang tidak perlu. Meskipun memakai seragam sudah menjadi tradisi dan kemudian mendarah daging dalam masyarakat kita, apa efek yang diharapkan dengan pengadaan dan pemakaian baju-baju seragam itu? Selain untuk menguras kantong, menambah pikiran, dan juga memenuhi lemari pakaian.

HAMKA, dalam satu bukunya, menuliskan “Untuk apa kau sisir rambutmu tapi tak pernah kau sisir otakmu?” Upaya menyisir rambut sudah banyak diupayakan dan dilakukan. Kadang lupa, manusia memiliki otak yang tak kalah penting untuk disisir.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//