• Narasi
  • CERITA GURU: Ketika Guru Merancang Pembelajaran Sesuai Kebutuhan Siswa

CERITA GURU: Ketika Guru Merancang Pembelajaran Sesuai Kebutuhan Siswa

Hubungan guru dengan kurikulum bisa dikatakan cukup rumit. Ia dua hal yang saling membutuhkan namun kadang tidak dipahami secara benar.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Ilustrasi guru. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

31 Juli 2024


BandungBergerak.id – Kurikulum tak pernah bisa mewujudkan dirinya sendiri. Ia perlu direalisasikan oleh banyak pihak hingga sampai di dalam kelas dan pembelajaran. Ketika Anindito menjadi pembicara kunci (keynote speaker)  di Simposium Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, ia membahas tentang kesetaraan dan keadilan dalam pendidikan dalam perspektif kebijakan. Kepala BSKAP itu, memaparkan beberapa poin tentang bagaimana upaya kebijakan pendidikan mereduksi ketimpangan di dalam masyarakat.

Acara yang digelar secara hybrid pada hari Jum’at- Sabtu, 26-27 Juli di Universitas Negeri Semarang Dalam rancang bangun kurikulum merdeka ini, guru berubah peranannya dari sekedar birokrat yang menjalankan kurikulum dari pusat menjadi memiliki kebebasan tersendiri di kelas. Melalui kurikulum merdeka, guru ditempatkan sebagai pengembang kurikulum di kelas. 

Selama ini, setidaknya yang tertangkap oleh pandangan mata saya, mengembangkan kurikulum lebih sering dipahami sebagai menyusun dokumen dan seperangkat administrasi. Jika ditanya lebih spesifik lagi, wakil kepala sekolah bagian kurikulum sering kali dipahami sebagai pengatur jam,  jadwal pelajaran, dan dokumen semata. Seolah-olah kurikulum hanya mengurusi soalan jam pelajaran dan administrasi guru.

Saya bisa membayangkan materi ini merupakan materi yang seharusnya sudah dibahas oleh kebanyakan profesional di bidang pendidikan. Namun jarang secara eksplisit diungkapkan bahwa guru sebagai pengembang kurikulum. Seolah-olah dua makhluk yang berbeda kemudian dipersatukan. Bisa jadi, hari-hari guru semakin menggairahkan sebab ia bisa menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didiknya.

Baca Juga: CERITA GURU: Baju Seragam Guru
CERITA GURU: Menghafal Nama Murid
CERITA GURU: Mendidik dengan Kebaikan Hati

Bagaimana Guru Memperlakukan Kurikulum?

Hubungan guru dengan kurikulum bisa dikatakan cukup rumit. Ia dua hal yang saling membutuhkan namun kadang tidak dipahami secara benar. Kurikulum menghendaki ide yang ada di sebaliknya agar bisa diterjemahkan dalam teknis yang lebih baik. Namun, guru terkadang melompati bagian yang paling krusial ini. Langsung melompat kepada daftar mata pelajaran, teknis pengajaran dan materi apa yang akan diajarkan. Jika memiliki mata pelajaran, maka langsung ke sana. Inilah hubungan yang tak kunjung akur dan menciptakan hubungan-hubungan rumit lainnya. 

Konsep “Start With Why” yang dipopulerkan oleh Simon Sinek sebenarnya sangat relevan dalam pengembangan kurikulum. Ketika mulai dengan “mengapa”, kita menggali lebih dalam tentang tujuan dan makna di balik setiap elemen kurikulum. Misalnya, alih-alih hanya fokus pada “apa” yang harus diajarkan dalam numerasi anak usia dini? Seorang guru bisa bertanya: “Mengapa siswa perlu belajar numerasi?” Jawaban atas pertanyaan ini bisa mengarah pada pemahaman bahwa numerasi bisa mengajarkan pemecahan masalah, berpikir logis, dan keterampilan abstraksi yang penting dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan pendekatan ini, guru dapat merancang pembelajaran yang lebih bermakna dan kontekstual. Misalnya, seorang guru anak usia dini bisa melakukan stimulus yang lebih mendalam dalam bacaan-bacaan literasi kepada peserta didiknya. Hal ini bisa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, mengorganisir ide, dan mengekspresikan diri. Ketika guru telah menemukan mengapa, maka ia akan lebih memahami bagaimana mengajarkannya dengan baik dan benar.

Sayangnya, dalam praktik sehari-hari, banyak guru yang langsung melompat ke “bagaimana” – bagaimana mengajar materi ini, bagaimana menilai siswa – tanpa benar-benar memahami “mengapa” materi tersebut penting. Akibatnya, pembelajaran sering kali menjadi mekanis dan kurang bermakna bagi siswa. Pendekatan “Start With Why'” dalam pengembangan kurikulum bisa membantu mengatasi masalah ini, membuat pembelajaran lebih relevan dan menarik bagi siswa.

Kita bisa menduga, bahwa selama ini ketika membaca kurikulum, tak banyak orang bahkan guru yang membaca mengenai ide kurikulum yang ada. Sehingga apa pun kurikulumnya, cara mengajarnya masih dalam pendekatan yang lama. Sebab ide yang dibawa tak pernah muncul apalagi meresap dalam tujuan pembelajaran yang ada. Selama ini, yang diperhatikan para guru adalah tentang format dan hal-hal yang menjadi luaran administrasi. Seperti teknis pengajaran, perubahan administrasi, dan hal-hal yang terkadang tidak berhubungan sama sekali dalam proses pembelajaran.

Ketika Guru Diberi Kebebasan Mengembangkan Kurikulum

Kebebasan dan kemerdekaan merupakan hak semua bangsa. Namun, masih banyak yang belum mengetahui bagaimana cara memperlakukan kebebasan itu dengan tepat Tidak memiliki tujuan yang jelas, tidak memiliki arah, sampai tidak memiliki sikap. Tetap saja akhirnya terbelenggu oleh penjajahan. Fenomena itu tak berbeda jauh dengan apa yang terjadi dalam kemerdekaan dalam kebijakan guru ini.

Pertama, urusan kompetensi guru sebagai pengembang kurikulum adalah urusan yang tak dapat ditawar. Ia perlu mengenal secara keseluruhan dan kebiasaan menempatkan satu tujuan pembelajaran dalam satu skema pengetahuan yang lebih besar. Kemudian ia perlu memecahkan masalah terdekat di sekitarnya.

“Takut salah”. Adalah respons ketidakpercayadirian yang ada ketika mulai menjajaki kebijakan baru. Alih-alih melakukan sesuatu yang sesuai kebutuhan, namun tetap saja kembali kepada  “format” yang telah tersedia. Beberapa contoh rekomendasi dari dinas dijadikan pakem dalam pembuatan pembelajarannya. Padahal, tentu saja, tidak sesuai dengan kondisi sekolahnya.

Saya pikir ini merupakan satu respons dari panjangnya pembiasaan cara memperlakukan guru secara instruksi langsung. Ia hanya dituntut memenuhi dokumen yang sesuai dengan format yang tersedia. Guru dipandang sekedar pelaksana kebijakan pemerintah. Maka, sehari-harinya guru hidup dalam bayang-bayang ketakutan apabila tidak sesuai dengan “format pemerintah”.

Sikap ini pun diperparah dengan perilaku seperangkat pejabat daerah. Kurang lebih begitulah yang saya tangkap tentang perjalanan kebijakan dari pusat hingga ke akar rumput. Seperti halnya proses komunikasi, sering terjadi miskomunikasi hal-hal di perantaranya: pejabat antara pusat dan daerah.

Saya ingat isi perbincangan dengan Prof. Hamid Hasan di ruang kerjanya pada tahun 2023. Hamid Hasan dikenal sebagai guru besar pendidikan sejarah dan pengembangan kurikulum, khususnya evaluasi kurikulum. Dalam kebanyakan kuliahnya, ia selalu menekankan kebebasan guru dalam menganalisis kebutuhan siswanya. Ia selalu menekankan bahwa guru perlu menyesuaikan pembelajaran beserta konteks yang melatarbelakanginya. Baik itu keluarga, budaya, sosial, dan ekonomi.

Dalam perbincangan yang singkat itu, Hamid bercerita tentang hubungan guru dan pengembang kurikulum. Ia mengibaratkan pengembang kurikulum dan guru seperti seorang arsitek dan teknik sipil. Arsitek merancang gambaran umumnya, teknis di lapangan diserahkan kepada insinyur teknik sipil. Memang sudah sepatutnya kebijakan yang ada mulai menaruh kepercayaan terhadap para guru di lapangan.

Tentu saja, keberhasilan transformasi ini terletak pada perubahan mindset, baik dari guru maupun sistem pendidikan secara keseluruhan. Perlu kita ingat, perubahan mindset ini bukan pekerjaan satu atau dua hari. Ia merupakan satu proses yang panjang dan berkesinambungan. Guru perlu didorong seperti layaknya profesional yang bertanggungjawab dan bisa menaruh berargumen atas segala macam pikiran dan pembelajaran untuk siswanya..

Kembali kepada guru dan kurikulum. Di dalam satu sistem pendidikan, kurikulum merupakan satu perangkat yang menunjukkan kepada jalannya pendidikan. Mengarahkan pendidikan kita akan di bawa ke mana seperti lintasan lari yang jelas arah dan tujuannya. Maka lintasan itu akan dilalui oleh guru dan siswa sebagai perjalanannya. Mereka tak bisa dipisahkan dan perlu menjadi satu kesatuan yang utuh.

Maka kurikulum tak bisa berdiri sendirian, ia akan menjadi rencana yang usang tanpa diterjemahkan ke dalam benak-benak muridnya.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//