• Narasi
  • CERITA GURU: Mendidik dengan Kebaikan Hati

CERITA GURU: Mendidik dengan Kebaikan Hati

Pendidikan guru bukan hanya sekedar pendidikan tentang cara belajar di kelas (transfer learning) tetapi juga tentang mendidik nilai-nilai.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Ilustrasi kuliah. (Ilustrator: Alfonsus Ontrano Irakaswar/BandungBergerak/Mahasiswa di Institut Teknologi Sumatera)

24 Juli 2024


BandungBergerak.id – Kampus pendidikan bisa dikatakan “pabrik guru”. Setidaknya itu yang dikatakan oleh Prof. Dakir di ruang kelas kami beberapa tahun silam. Salah satu dosen kami yang pernah bertemu dengan Kihajar Dewantara itu, selalu menekankan kualitas guru. Penentu baik tidaknya guru salah satunya adalah lembaga penghasil guru yaitu Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. .

Tahun 2012 adalah tahun di mana pandangan saya tentang Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus  berubah. Saat saya memasuki Fakultas Ilmu Pendidikan di Kampus Mantan IKIP Yogyakarta. Sesuai namanya : pengenalan kampus. Selama satu pekan, kami mengenal kampus mulai lingkungan Universitas hingga jurusan. Kami juga dibekali tentang pengenalan bagaimana tip cara bertahan dan belajar di kampus dan mulai berpikir tentang “Apa yang akan kami lakukan di kampus?” begitulah kira-kira.

Bedanya, OSPEK yang seram dan kejam di fakultas ini tidak berlaku. Pemandunya ramah, berikut dosen dan warga kampus. Bahkan, saya bisa menemukan tempat aman bagi anak rantau yang pertama kali jauh dari kampung halaman. Tak perlu jauh-jauh mencari tempat bercerita, semuanya bisa dikomunikasikan dengan Kakak pemandu. Dari mulai kesulitan penugasan sampai kesulitan hidup selama masa orientasi. 

Tahun depannya, saya mendaftar menjadi panitia. Segala yang saya alami berkebalikan. Dari mulanya saya yang menjadi mahasiswa baru, kemudian saya yang melayani mereka kali ini. Bergilir. OSPEK ini didesain untuk pengenalan kampus dan tanpa kekerasan apalagi kekejaman. Tidak ada hukuman yang menguji adrenalin apalagi hingga mengancam nyawa. Menurut senior saya, itu diarahkan langsung oleh wakil dekan bagian kemahasiswaan. Dr. Suwarjo.

Baca Juga: CERITA GURU: Bertemu Guru-guru Gokil
CERITA GURU: Baju Seragam Guru
CERITA GURU: Menghafal Nama Murid

Tak Pelit Berbincang dan Berkomunikasi

Seperti jargonnya, humanis edukatif dan religius, Lingkungan kami pun bernuansa demikian. Memperlakukan warga kampus secara humanis. Wakil dekan bagian kemahasiswaan, pernah bercerita bahwa ia pernah membantu mahasiswa yang kesulitan mengakses teknologi. Seminimalnya, mahasiswa pernah melihat komputer dan menyalakan laptop hanya untuk pekerjaan sederhana. Namun, mahasiswa ini tidak pernah melihat benda yang demikian.

Dosen Bimbingan dan Konseling yang baik hati itu, membantu mahasiswa tersebut sampai bisa beradaptasi dan bisa mengoperasikan laptop. Tentu saja, itu akan berpengaruh kepada tugas-tugasnya. Namun Pak Warjo, begitulah kami menyapanya, tetap membantu mahasiswa tersebut sejauh yang ia bisa usahakan. Di sanalah saya belajar tentang “Apa pun bisa dikomunikasikan”. Institusi pendidikan bisa memberikan keamanan.

Berkat kasih sayang dalam membina mahasiswa, saya pun memiliki satu pengalaman yang tak pernah terlupakan. Waktu itu, saya meninggalkan lokasi kompetisi mahasiswa berprestasi fakultas. Dengan alasan tertentu, saya pamit kepada dosen lain dan pamit pergi. Lokasi kompetisi yang terletak di Kulon Progo cukup jauh ke lokasi tujuan saya di Kaliurang. Motor teman pun saya pinjam dan pergi meninggalkan lokasi.

Sekitar satu jam berkendara dan tiba di Kaliurang, saya mengecek gawai. Beberapa panggilan tak terjawab dari nomor tidak dikenal. Kemudian berdering lagi, yang menandakan kebulatan tekad untuk menghubungi saya. Ternyata, penelepon itu adalah Pak Warjo. Saya sudah bersiap meminta maaf dan pasrah jika memang beliau hendak memarahi saya.

Dalam hitungan sepersekian detik, menunggu beliau memulai pembicaraan. Semuanya di luar terkaan saya. Suara di seberang sana, menanyakan kabar. Pulang naik apa, sebab lokasinya terlampau jauh, dan apakah sampai dengan selamat. Dengan suara lembutnya, seperti seorang Bapak, ia mengutarakan alasan menghubungi saya. Ia mengkhawatirkan apa yang terjadi.

Nuansa cemas dan gelisah membuat perasaan “Oh begini rasanya dipedulikan”. Saya pun melanjutkan aktivitas saya dengan hati yang berkaca-kaca. Memang menghadapi mahasiswa bandel, nekat, dan menyebalkan hanya dengan satu kepedulian yang cukup berarti. Di sanalah titik tolak, mulai berpikir bahwa emosi yang muncul ketika saya berbuat begini bukan hanya marah. Tapi juga ada cemas dan khawatir yang diterjemahkan sebagai kasih sayang.

Jika diingat kembali, pertemuan dan interaksi saya dengan Pak Warjo tidaklah banyak. Kami bertemu apabila berkegiatan di kampus dan tentunya yang akan berhubungan dengan beliau di sana. Meskipun begitu, setiap pertemuannya selalu menarik. Ia selalu menyisipkan satu hikmah dan satu kesan yang membuat kami, mahasiswanya, bisa terbuka dan menerima pendidikan darinya.

Guru Besar yang Menghampiri Mahasiswa

Kebaikan hati pun pernah saya dapatkan ketika menunggu di lobi sambil membaca buku. Seorang lelaki berambut putih datang menghampiriku. Usianya sudah mulai senja. Namun ia masih energik untuk ukuran usianya. Menggunakan kacamata tanpa bingkai, memakai seragam biru baru keluar dari ruang dekanat. Ia tampak memerhatikan seluruh isi lobi tempat mahasiswa biasanya berkumpul atau beraktivitas.

“Wah, Ini buku bagus! Jarang saya melihat mahasiswa yang masih mau membaca buku seperti Anda,” katanya kepadaku.

Seketika, lelaki itu meminta izin bergabung dan mengambil posisi duduk di meja hadapanku. Setelah obrolan kecil, ia mulai bercerita tentang buku yang sedang saya baca. Selain tentang bukunya, tampaknya ia memiliki satu ikatan dengan penulisnya. Kami bertukar pikiran tentang budaya ilmu. Bahasan buku yang tengah dibaca. Hingga ia pun kehabisan waktu dan perlu melanjutkan kembali aktivitasnya.

Tak percaya dengan apa yang saya terjadi, rasa penasaranku menjadi mencari siapa sosok lelaki dari fakultas tetangga kami itu? Tak pernah saya dapati wajahnya selama di fakultas. Hasil pencarianku menunjukkan lelaki yang penuh dengan ilmu dan berpengetahuan itu adalah Prof. Husain Haikal. Seorang guru besar bidang sejarah di Fakultas Ilmu Sosial. Mungkin dalam iklim belajar di luar negeri, hal tersebut sudah lazim. Tapi biasanya, dosen-dosen sibuk dan jarang mengajak diskusi mahasiswa secara sukarela. Rasa syukur menyelimuti jiwa. Meskipun itu adalah pertemuan satu-satunya dengannya.

Di kampus itu, khususnya di fakultas hijau yang berlambang Fio si burung hantu. Pendidikan guru bukan hanya sekedar pendidikan tentang cara belajar di kelas (transfer learning) tetapi juga tentang mendidik nilai-nilai. Jika calon gurunya pun sebelumnya tidak diperlakukan secara humanis, bagaimana akan kesulitan ia menyampaikan kembali kepada anak didiknya? Pendidikan untuk guru, tentunya bukan hanya tentang metode pembelajaran. Tapi tentang bagaimana mendidik jiwa yang terbungkus dalam luaran raganya.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//