• Narasi
  • CERITA GURU: Tangan Guru

CERITA GURU: Tangan Guru

Bersalaman dengan murid bukan sekadar ritual penghormatan semata. Namun sebuah interaksi yang kompleks, melibatkan aspek psikologis, budaya, dan bahkan kesehatan.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Ilustrasi. Upah guru honorer masih jauh panggang dari api. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

18 Desember 2024


BandungBergerak.id – Menjadi guru,  kadang seperti menjadi selebritas di kalangan anak-anak. Di mana pun kami bertemu maka sebuah kebiasaan yaitu mereka akan melambaikan tangan lalu mencoba menghampiri gurunya. Setidaknya itu yang saya rasakan ketika mengajar beberapa kelas di jenjang Sekolah Dasar (SD). Bagian tubuh guru setidaknya menjadi area yang sering bersentuhan dengan anak-anak seperti tangan, badan, dan kaki. Namun yang paling sering adalah tangan.

Dalam tradisi yang lebih lazim di masyarakat, pertemuan guru dan murid atau orang muda yang bertemu dengan orang tua ditandai dengan salim. Sebuah kebiasaan yang sudah berlangsung lama di kalangan masyarakat Indonesia. Memiliki akar budaya dari kalangan santri maupun masyarakat Solo dengan tradisi sungkemannya. Salim merupakan salah satu etiket yang dianggap sebagai penghormatan dari yang lebih muda kepada yang lebih tua.

Jika sedang tak mau berpapasan, maka saya harus mengatur strategi keberangkatan dari pemilihan jalan, pemilihan waktu, agar tak berjumpa dengan anak-anak. Meskipun tidak sedang jam pelajaran, selalu saja ada pertemuan di jam istirahat ketika mereka sekolah, jam pulang, bahkan jam bersama guru lain. Rasa bersalah ini hadir jika saya muncul di depan mereka. Sebab, konsentrasi kelas bisa buyarkan. Apalagi bagi anak-anak kelas rendah yang fokusnya belum  terbangun dengan baik.

Saking antusiasnya anak-anak terhadap gurunya, mereka tak lagi menghiraukan lalu-lalang kendaraan yang melaju di jalan nasional tempat kami sering berpapasan. Tentu saja hal itu membahayakan diri mereka sendiri. Akhirnya, saya perlu melihat situasi dan suasana sehingga dari kejauhan saya sudah menginstruksikan mereka untuk menunggu di seberang jalan. Meskipun sudah diberitahu berulang kali, tetap saja masih saja ada yang membandel.

Baca Juga: CERITA GURU: Cantik itu Putih?
CERITA GURU: Sebab Belajar Sejarah bukan saja Soal Narasi Masa Lalu
CERITA GURU: Sang Pencipta Seribu Profesi

Makna Sentuhan

Fenomena kedekatan antara murid dan guru ini membuat saya berpikir ulang tentang makna sentuhan dan tradisi salim di masa kini. Menurut cerita-cerita guru jaman dulu, murid-murid malah menghindari untuk bertemu gurunya. Namun sekarang, anak-anak malah lebih antusias atau malah cuek ketika bertemu gurunya. Maka, tidak mengherankan ketika para senior guru mengajarkan beberapa "strategi" untuk menyambut antusiasme murid-murid ini.

“Sebagaimana hajar aswad, tangan guru perlu dilumuri oleh wewangian.” Itulah kata senior saya ketika di asrama mahasiswa setiap saat hendak ke sekolah. Meskipun masih mahasiswa, kami pergi ke sekolah sekedar untuk observasi, mengajar tambahan, atau menggantikan guru yang tidak hadir. Sambil bercerita dengan berseri-seri, ia mengoleskan beberapa wewangian di tangannya. Biar wangi dan anak-anak pun menjadi betah, katanya.

Beberapa tahun kemudian, kami lulus pada tahun berbeda. Saya pun diminta untuk membantu mengajar di sekolah dasar. Waktunya sebelum pulang sekolah ketika matahari beberapa derajat sudah melewati batas tengah hari. Terkadang saya tidak begitu percaya diri dengan tangan yang terlihat kering, atau tersisa bau sambal bekas makan siang. Maka, untuk menyiapkan pertemuan tersebut saya pun mengikuti strategi ala-ala senior: mengoleskan sedikit pelembab dan parfum di tangan.

Di balik kedekatan fisik ini, ternyata terdapat beragam cara yang dikembangkan para guru untuk menghadapi situasi. Salah satunya adalah sebuah tradisi kecil yang saya pelajari dari senior-senior pengajar, yakni tentang bagaimana mempersiapkan diri secara fisik dan mental menghadapi sentuhan dengan para murid.

Buah dari wangi parfum itu, cukup membantu kepercayaan diri saya ketika menyodorkan tangan kepada anak-anak. Kupikir mungkin terlalu berlebihan, tapi cukup membuat anak-anak senang. Mungkin benar, wewangian merupakan salah satu peningkat suasana hati yang lumayan efektif.

Peserta didik laki-laki biasanya lebih sulit dikendalikan. Mereka beringsut keluar meskipun saya masih mengintip di depan pintu untuk melihat sekaligus izin kepada guru kelas yang juga guru saya. Hingga setelah beberapa lama, saya pun menyadari ada sesuatu yang tidak biasa : perilaku murid laki-laki.

“Bu! Salim Bu!” Anak-anak mulai mengantre, sebagian menyerbu untuk mulai mencium tangan gurunya. Seperti biasa, sambil salim, pikiran saya mulai mengamati keadaan dan fokus dalam kelas.

“Eh, kamu kan udah salim, ngapain salim lagi?”

Pantas, mengapa salim ini tak kunjung selesai sebab anak-anak berputar bolak balik hanya untuk salim.

“Soalnya tangan Ibu mah wangi!” Sambil diendus-endusnya tanganku macam barang miliknya. Matanya dipejamkan dan seolah-olah ia sedang menikmatinya. Tanganku tak bisa kutarik begitu saja, sebab tangan saya terjebak dalam pegangan tangan mereka.

Pertemuan selanjutnya, saya tak menerima salaman dari murid laki-laki sekolah dasar kelas atas. Kalaupun menerima, tentu dengan syarat dengan menjaga kesopanan. Saya menyadari, harga diri sebagai guru yang mendampingi anak-anak merasa dilecehkan. Kalau diingat ingat, membuat bergidik juga dibuatnya. Meskipun mereka masih dalam usia anak-anak.

Teman saya, seorang perempuan juga pernah mengalami hal serupa. Ia juga mengajar, namun di jenjang yang lebih tinggi, di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sudah bisa dipastikan, dengan jurusan Teknik Komputer dan Jaringan, mayoritas peserta didiknya adalah laki-laki. Ia termasuk guru perempuan yang bertahan mengajar sekumpulan anak laki-laki. Kami pun bertukar cerita tentang perilaku anak laki-laki usil dan jahil ini

Didukung oleh perangainya yang memang membuat orang segan, strategi ia untuk membuat kesepakatan pun lebih berjalan secara mulus. Beberapa guru perempuan yang sebelumnya mengajar, tak jarang pulang dengan bersimbah air mata. Tak tahan oleh tingkah laku remaja laki-laki yang sedang usil-usilnya. Biasanya keesokan harinya, guru tersebut mengundurkan diri.   

Bukan Sekadar Ritual Penghormatan

Bayangan saya dengan anak laki-laki usia SD pun, sudah membuat ngeri. Apalagi harus mengajar siswa yang sudah lebih besar usia perkembangannya. Itulah alasan mengapa saya tidak pernah akan melamar ke SMK meskipun terbuka kemungkinan bisa mengajar di sana.

Lumrah kasus terjadi kekerasan yang sering terjadi adalah kekerasan guru terhadap murid. Dalam kasus tangan guru, berapa banyak murid perempuan yang diusili oleh guru laki-laki ketika salim dan cium tangan? Saya prediksi ada cukup banyak. Tapi kalau murid terhadap guru, awalnya kupikir itu adalah bagian dari kesalahan guru tidak bisa mendidik siswanya.

Tapi kalau murid terhadap guru, bagaimana? Waktu itu, belum terpikir bahwa guru mungkin bisa meminta bantuan terkait hal-hal yang demikian. Secara struktur, guru memiliki kuasa lebih banyak atas murid. Dalam perspektif gender, masih terjadi perbedaan sudut pandang tentang cara menghormati guru laki-laki dan guru perempuan. 

Seiring waktu berjalan, perspektif saya tentang salim pun berubah. Dari sekadar ritual penghormatan, kini saya mulai melihatnya sebagai sebuah interaksi yang lebih kompleks, melibatkan aspek psikologis, budaya, dan bahkan kesehatan.

Akhir-akhir ini pun, saya mengamati anak-anak usia TK yang begitu takzim mencium tangan gurunya. Khususnya tangan saya yang mereka minta untuk salim. Macam-macam tingkah anak-anak itu mulai anak-anak yang terpaksa, sekedar formalitas, sebab ingin segera pulang. Hingga anak-anak yang begitu berlebihan menciumi tangan gurunya.

Sering kali, beberapa anak meninggalkan jejak di punggung tangan kemudian akan tersentuh oleh anak yang lainnya. Saya kadang merasa kasihan sebab anak setelahnya tak tahu apa yang telah dilakukan oleh anak-anak sebelumnya kepada tangan gurunya. Jika dipikir-pikir, hal ini akan menimbulkan pertukaran bakteri yang begitu cepat melalui tanganku. Itu juga yang pernah dikeluhkan oleh guruku: pertukaran bakteri.

Terlepas dari semua etiket yang ada, tak seperti tangan dokter yang harus selalu steril ketika menyentuh pasien, tangan guru pun idealnya memperhatikan aspek-aspek norma sosial dan kesehatan. Termasuk kenyamanan untuk para peserta didik, begitu pun peserta didik yang memperhatikan tangannya sebelum menyentuh tangan orang lain. Tangan guru membawa restu bagi muridnya. Tetap saja, restu bisa dihadirkan dalam tangan-tangan yang rida dan merasa aman.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//