CERITA GURU: Cantik itu Putih?
Konsep tentang cantik mempengaruhi konsep diri, kepercayaan diri, dan nilai diri. Bukan hanya anak, orang dewasa pun masih bergulat dengan hal-hal yang demikian.
Laila Nursaliha
Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.
27 November 2024
BandungBergerak.id – Suatu hari, di awal tahun pembelajaran. Kami menempatkan tema tubuhku dengan memiliki satu spesifikasi khusus yaitu warna kulit. Pembelajaran mengenai keberagaman menjadi bahasan yang akan semakin ditingkatkan di sekolah agar peserta didik bisa mulai mengenal dan menerima berbagai macam jenis manusia di sekitarnya.
Setelah mengenalkan beragam macam anggota tubuh, guru TK itu mulai memancing beberapa pertanyaan kepada peserta didiknya “Coba, amati punggung tangan kalian. Warna kulitnya apa ya?”
Anak-anak mengulurkan tangannya untuk melihat warna kulit punggung tangan mereka. Terdapat beberapa warna bermunculan dari mulai yang terang hingga gelap. Begitulah spektrum warna kulit manusia.
Bagi guru yang sedang mengajar, hal itu merupakan satu kesempatan yang baik untuk mengenalkan keberagaman. Untuk tema keberagaman warna kulit, kelas itu cukup mewakili beragam warna kulit. Inti pembelajarannya adalah warna kulit berbeda namun semuanya sama sebagai manusia. Tentu saja, itu bagian dari identitas diri yang tak dapat dipisahkan.
“Ih, si eta mah hideung! Jelek!” Ucap salah seorang siswa. Menunjuk kepada temannya yang memiliki kulit sawo matang. Secara warna, berarti ia memiliki kulit yang spektrumnya lebih gelap daripada temannya.
Seketika anak yang sedang diam pun, mulai mengerutkan wajahnya. Bu guru khawatir momen ini akan menjadi satu peristiwa yang membuat jiwa anak tersebut menjadi rendah diri.
“Semua warna kulit itu bagus, teman-teman. Tidak ada yang jelek.” Bu guru kembali meneruskan pelajaran dan kembali. Sebuah peristiwa beberapa menit yang cukup memerlukan satu penuntasan masalah dan pengambilan keputusan yang cepat dan tepat. Kemampuan guru menjaga hati anak-anak di sini, cukup dipertaruhkan.
Baca Juga: CERITA GURU: Mempertanyakan Minat Baca Guru
CERITA GURU: (Masih) Menyoal Membaca
CERITA GURU: Urgensi Guru BK di Sekolah Dasar
Persepsi Cantik dan Konsep Diri
Sejak buku ajar format baru diluncurkan, atau munculnya iklan-iklan yang menampakkan pesona keindahan alami perempuan Indonesia tak lantas menggeser persepsi bahwa cantik itu putih di kalangan masyarakat. Utamanya anak-anak.
Buku ajar Kurikulum 2013, mulai memperkenalkan warna-warna kulit yang tidak lagi seragam. Hal ini memiliki tujuan bahwa masyarakat Indonesia memiliki bentuk fisik yang beragam. Rambutnya tak lagi hitam dan lurus, namun ditambahkan berbagai macam variasi yang mewakili keragaman jenis identitas masyarakat Indonesia. Kulitnya pun tak hanya putih tapi juga dalam spektrum terang sampai gelap.
Belakangan mulai muncul iklan-iklan produk perawatan diri yang mengusung bahwa cantik bukan hanya putih, tapi menjadi diri sendiri. Begitu pun dengan hadirnya beberapa tokoh variasi dari Disney seperti Princess Moana yang memiliki dimensi cantik yang berbeda. Jika dirunut kejadiannya, anak-anak sekarang seharusnya merupakan bagian dari masyarakat baru yang mengonsumsi iklan dengan berbagai macam ragam.
Namun obsesi kecantikan yang identik dengan standar tertentu belum memudar. Varian yang baru muncul yaitu adanya perawatan kulit, operasi plastik, yang membuat terobsesi menjadi lebih cantik.
Sikap mengenai persepsi ini, semakin hari semakin diresapi oleh anak-anak yang mulai beranjak dewasa seperti anak sekolah dasar. Obsesi untuk menjadikan kulitnya putih membuat anak-anak ini rela membeli serangkaian produk kecantikan. Alasannya agar kulitnya menjadi lebih putih katanya. Padahal, sampai kapan pun warna kulitnya memang akan tetap menempati kulit yang sama.
Anak berkulit sawo matang dengan mata bulat layaknya kecantikan film Disney itu mulai merasa tak percaya diri ditambah jenis rambut ikal yang dimilikinya. Bagiku anak ini mencerminkan satu keindahan dan kecantikan eksotis yang apabila ia memiliki warna kulit putih, malah menjadi tak terlihat. Tapi, anak ini memiliki satu ketidakpercayaan diri ketika harus bersanding dengan anak-anak lainnya yang kulitnya lebih terang.
Bukan hanya warna kulit, bentuk dan warna rambut pun sudah mereka jaga agar sesuai dengan persepsi cantik dengan warna kulit putih dan memiliki rambut yang lurus. Bagi anak yang merasa konsep diri yang minim, hal itu membawanya untuk mengubah bentuk dirinya kepada bentuk yang diharapkan dan dipersepsi bahwa bentuk yang mereka idamkan adalah bentuk yang cantik.
Beberapa anak terobsesi melalui mainan yang dipakainya sebagai simulasi skincare. Mereka menggunakan lem di kulitnya lalu dikelupasnya sebagai permainan bentuk perawatan kulit. Lucu memang, seperti impian anak-anak yang ingin memiliki kulit seperti di iklan. Alasannya adalah malu karena kulit mereka tidak secerah mereka.
Pembelajaran tentang “Kecantikan”
Konsep tentang cantik mempengaruhi konsep diri, kepercayaan diri, dan nilai diri. Bukan hanya anak, orang dewasa pun masih bergulat dengan hal-hal yang demikian. Tak bisa dipungkiri bahwa konsep lama sudah terlanjur mendarah daging dalam keseharian. Merujuk kepada pergaulan kebanyakan, sudah tertanam Konsep bahwa putih adalah cantik dan simbol kebersihan, membuat anak terkadang merasa rendah diri di hadapan teman-temannya.
Inilah yang ditekankan oleh Nurul Ummatun Kamal, yang menanamkan sejak dini kepada anaknya bahwa cantik bukan hanya soalan fisik atau merujuk kepada standar tertentu. Ia juga mulai memupuk definisi-definisi lain yang lebih bermakna seperti hadirnya inteligensi, nalar yang berfungsi, bukan sekedar penampilan artifisial yang berbentuk berbagai macam perawatan. Sehingga, daripada memberikan contoh terkait penggunaan barang-barang yang terafiliasi dengan konsep kecantikan memerlukan perawatan yang melelahkan, ia mengajarkan kepada anaknya untuk bermain menikmati masa kanak-kanak dan melakukan pencarian ilmu.
Dosen Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta itu, memiliki mina kajian tentang konsep kecantikan yang baru-baru ini berkembang semakin masif. Dari mulai cantik itu putih hingga fenomena menolak penuaan. Padahal, ke semuanya itu merupakan satu hal yang alamiah terjadi dalam kehidupan manusia. Tentu saja, merusak citra diri dan lama kelamaan mengejar sesuatu hal yang “fana”.
Dalam artikel yang ditulis oleh Tony Eaude, cantik adalah kualitas atau kombinasi dari kualitas kombinasi antara bentuk, warna, dan proporsi. Guru yang berkiprah sudah lebih dari dua puluh tahun di UK itu, menjelaskan bahwa anak-anak belajar dengan aktif, berimajinasi, melakukan percobaan, dan berkreasi. Anak-anak belajar berdasar persepsi daripada konsep. Ia menyarankan bahwa guru memang harus membangun contoh-contoh kualitas dan yang bisa melayani sebuah efek katalis.
Perkembangan seni, berkembang secara bertahap. Anak-anak membutuhkan waktu untuk merefleksikan sebuah pengalaman, dan terkadang berdiskusi dengan orang lain.
Pada akhirnya, sudah berapa kali harus kukatakan kepada anak-anak itu, bahwa masing-masing diri memiliki satu kecantikan yang khas tidak memiliki dampak yang signifikan. Mungkin diserap sebagai sebuah materi pelajaran tapi belum tentu mengakar hingga ke dalam benak. Seperti apa yang dikatakan oleh Eaude, anak-anak itu mempersepsikan dan menyerap. Saya dan para guru pun memiliki PR untuk membuat strategi baru yang bisa dipersepsi anak-anak. Sebab, penampilan guru salah satu bagian penting yang akan menjadi pengalaman anak.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru