• Narasi
  • CERITA GURU: (Masih) Menyoal Membaca

CERITA GURU: (Masih) Menyoal Membaca

Program literasi di pendidikan formal baru bertahan di level artifisial. Pelajaran membaca merupakan serangkaian keterampilan yang perlu diajarkan lebih panjang.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Ilustrasi buku dan literasi. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

17 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Seperti pada artikel yang sebelumnya, penurunan minat baca bukan terjadi hanya pada guru. Tapi sudah dipikirkan oleh Ajip Rosidi setidaknya sejak tahun 1995. Pemisahan buku-buku non fiksi dan buku fiksi. Kemudian menganggap buku non fiksi lebih bagus dan lebih berguna daripada buku fiksi. Data UNESCO terus diulang-ulang dan peringkat visa terus diungkit.

Toh, selama ini, masyarakat merasa baik-baik saja tanpa membaca. Alih-alih mencintai buku dan lainnya, ada sebuah ungkapan “banyak baca buku gak menjamin jadi baik” begitu kata teman saya. Pemerintahnya pun tak begitu resah ketika warganya kurang membaca. Begitu pun orang dewasa di sekitarnya. Sudah difasilitasi dengan adanya loker baca, malah dikunci karena khawatir terjadi kerusakan.

Meskipun kami jungkir balik di sekolah mengajarkan membaca, tapi rumah dan lingkungannya akan menyumbang lebih banyak. Bagaimana belajar mencintai buku dan bahan bacaan lainnya, dan sebagainya. Nyatanya itu tidak berlaku bagi anak-anak yang secara alamiah lahir di keluarga pembaca. Setidaknya ia memiliki wawasan tertentu mengenai buku-buku bacaan. Kami para guru tak perlu repot-repot menunjukkan jalan bagaimana agar anak mencintai buku? Ia tumbuh sendiri di dalam rumahnya yang hangat dengan bara diskusi buku. Tak peduli masih kecil atau sudah besar, keluarga tersebut tumbuh dengan berbagai macam literasi.

Kali ini, saya ingin melihat soalan membaca yang saat ini dimaknai lebih luas. Dan berkait kelindan dengan pengajaran di sekolah. Sudah sejauh apa pengajaran membaca secara terstruktur di sekolah?

Baca Juga: CERITA GURU: Cara Lain Mengajarkan Sejarah dan Geografi
CERITA GURU: Guru, Peserta Didik, dan Pihak Ketiga
CERITA GURU: Mempertanyakan Minat Baca Guru

Tak Ada pelajaran Khusus Membaca

Malam itu, di tahun 2016, saya berniat membuat perencanaan studi. Saya pun tergiur untuk melanjutkan di luar negeri. Tapi, kiranya jurusan apa yang membuat saya tertarik? Tentu saja, saya menemukan satu jurusan yang bernama Reading and Literacy. Tentu saja, beberapa tahun kemudian tak lagi menjadi pertimbangan hanya dengan pertanyaan, “Nanti lulus mau ngapain?”

Masih pada tahun yang sama, saya tergabung dalam komunitas bernama Read Eat Society yang setiap pertemuannya membahas buku. Di awal-awal pertemuan, Mas Arwiyn, senior kami pernah ada membaca Mortimer J. Adler berjudul How to Read a Book. Secara tidak langsung, buku tersebut dijadikan panduan untuk bagaimana caranya kami membaca buku, memperlakukan sebuah buku, dan bisa membaca secara lebih berkualitas.

Buku tersebut memang menyajikan tentang cara mengenali membaca, hingga tahapan-tahapan membaca dari yang paling sederhana hingga yang paling tinggi yaitu membaca sintopikal. Setidaknya, kami bisa menghemat waktu dan menentukan buku-buku mana saja yang layak dibaca berulang kali, mana buku yang bisa dibaca dengan cepat, dan mana buku yang dibaca harus dengan panduan. Dengan kata lain, memang banyak hal yang bisa dilakukan dan dipelajari dari cara membaca saja. .

Beberapa bulan setelahnya, Dosen UIN Sunan Kalijaga, Ahmad Rafiq, mengadakan daras buku Walter J. Ong yang berjudul Kelisanan dan Keaksaraan. Meskipun sedikit demi sedikit dan mengakrabi dengan konteks turunnya Al-Quran, dalam perjalanannya membuat saya berpikir tentang proses membaca. Setiap Jumat kami akan berkumpul untuk membahas halaman per halaman. Melalui buku tersebut dan penjelasan dari Pak Rafiq, saya mendapatkan sebuah gambaran mengenai “bagaimana proses kodifikasi dari aksara kepada makna”.

Berkecimpung ke dunia anak usia dini membuat saya berpikir ulang tentang pelajaran membaca. Selain karena pertanyaan anak-anak yang cenderung sulit dijawab dengan bahasa orang dewasa, kita juga perlu mempelajari tahapan perkembangan. Tentu saja ada yang harus diolah sebagai manusia yang dididik. Apa perbedaan perkembangan alamiah dan perkembangan yang perlu diajarkan?

Khusus untuk bahan bacaan, teman-teman yang meneliti kurikulum alternatif, mengkaji buku-buku yang dijadikan kurikulum. Sekurang-kurangnya, di usia TK, anak-anak sudah mengenal sejarah dunia. Atau sejarah tentang negaranya. Tentunya program tersebut merupakan program membaca yang dilakukan oleh anak-anak homeschooling.

Semenjak itulah baru disadari, selama ini kita belum memiliki usaha yang lebih untuk soalan membaca. Kemampuan membaca yang diharapkan orang tua pun baru puas di level membaca dalam artian menerjemahkan kode-kode. Atau sekedar memenuhi tuntutan masuk sekolah dasar tertentu. Orientasi sekolah untuk bekerja terasa semakin menguat ketika harapan orang tuanya sudah bisa bekerja.

Menyiapkan Peserta Didik untuk Menyelam lebih Dalam

Tradisi membaca merupakan bagian dari budaya ilmiah. Selama ini, di sekolah pada umumnya, tradisi membaca masih belum begitu kuat mengakar. Sebuah permasalahan yang sering muncul tapi tak kunjung selesai (atau diselesaikan?). Termasuk bagian di dalamnya adalah literasi, maka akarnya adalah membaca dan berpikir. Jika tidak dikuatkan fondasi ini, dan memiliki arahan yang benar, maka bagaimana nanti peserta didik akan membaca dengan benar?

Sekitar dua tahun lalu, Prof. Hamid Hasan menyampaikan kurikulum social studies di Selandia baru di kelas kami. Selandia baru memiliki satu persiapan yang panjang untuk anak-anaknya bisa berliterasi. Mereka menyiapkannya sejak jenjang terendahnya. Selain dikenalkan dengan buku-buku, anak-anak juga dikenalkan tentang tugas dan apa saja yang harus dilakukan dengan buku. Seperti membuat rangkuman, menceritakan kembali, menganotasi, mengkritisi isi buku, membandingkan, dan berargumen dengan data.

Puncaknya di jenjang SMA, lulusan anak SMA ini sudah bisa membuat sebuah argumen yang berbasis data ataupun teori. Tentu saja sudah bisa membuat makalah yang baik. Karena tahapan-tahapan yang sudah dibina di jenjang bawahnya. Sehingga, ketika memasuki perguruan tinggi, mereka tinggal meneruskan dan lebih mudah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Keresahan ini adalah pukulan telak kepada guru (termasuk saya), rekan-rekan sekelas, dan pendidikan kita. Selama ini yang kita dapatkan hanya sebuah tugas seperti membuat makalah, membaca, merangkum, tetapi tidak diajari bagaimana caranya mereka membaca yang benar.

Sayangnya, sampai saat ini program literasi yang menyangkut di pendidikan formal baru bertahan di level artifisial: membuat spanduk bertuliskan literasi, menyediakan pojok buku, dan membaca 10 menit setiap hari. Saya tak tahu apa yang terjadi di ruang kelas. Yang pasti, pelajaran membaca merupakan serangkaian keterampilan yang perlu diajarkan lebih panjang. Saya sepakat dengan apa yang pernah dikatakan oleh Prof. Hamid, selama ini peserta didik dibiarkan belajar sendiri. Tak boleh salah dan dihukum atas kesalahan gurunya. Mari kita bantu dan temani peserta didik kita untuk belajar tentang bagaimana seharusnya mereka belajar.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//