CERITA GURU: Guru, Peserta Didik, dan Pihak Ketiga
Melakukan literasi yang matang serta pembatasan terhadap data-data anak dan data pribadi menjadi penting untuk mencegah hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.
Laila Nursaliha
Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.
2 Oktober 2024
BandungBergerak.id – Meskipun permasalahan data, privasi, dan keamanan online sudah menjadi perhatian bersama, namun konten-konten itu masih saja ada. Beberapa hari yang lalu, ketika sedang melihat lini masa, saya melihat postingan tentang sudut pandang guru Gen Z yang sering membuat konten bersama anak didiknya. Di video itu diperlihatkan bagaimana anak-anak menari seiring dan seirama dengan gurunya. Salah satu pembenarannya adalah mereka mengikuti perkembangan zaman dan bisa belajar serta melatih aspek psikomotor. Apakah guru harus memaklumi semua perilaku Gen Z dengan dalih mengikuti perkembangan zaman? Tentu saja tidak. Bisa jadi, hal-hal tersebut membahayakan anak didik.
Perkembangan zaman tidak serta merta menjadi dalih bagi perilaku-perilaku yang berisiko. Literasi mengenai data dan privasi memang masih belum banyak dibahas terutama di sektor pendidikan. Kecuali bagi orang-orang yang memiliki kesadaran dan pengetahuan tentangnya, maka ia akan menjadi isu penting untuk dibincangkan dan dilindungi. Aspek privasi inilah yang juga jarang dibahas oleh rekan guru dan perkumpulannya serta dampak-dampaknya.
Mari kita kilas balik tentang apa yang terjadi ketika pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia. Semua orang dipaksa mengikuti “perkembangan zaman”. Hasilnya, ada banyak masalah yang ditimbulkan, khususnya mengenai perlindungan data. Di antaranya adalah penjualan data kepada pihak ketiga yang digunakan sebagai basis algoritma dan target sasaran pasar.
Baca Juga: CERITA GURU: Mengapa Guru Sulit Merdeka?
CERITA GURU: Mengapa (Harus) Finlandia?
CERITA GURU: Cara Lain Mengajarkan Sejarah dan Geografi
Privasi dan Keamanan Anak
Dalam paper-nya, Nain dan Monkgol (2007) menyebutkan bahwa konsep privasi online untuk anak muncul seiring dengan penandatanganan konvensi Hak Anak dari United Nation oleh beberapa negara pada tahun 1980. Menurutnya, hal ini yang menjadi salah satu tonggak dasar mengapa kita perlu mengakui adanya hak anak bahkan dalam jagat maya.
David Archad, penulis buku tentang Hak Anak, mengaitkan posisi anak yang memiliki dua pandangan yaitu hak anak untuk dilindungi sekaligus anak bisa berpartisipasi dalam berbagai kegiatannya. Sehingga anak pun memiliki daya aktif dalam bersuara, bukan hanya pasif yang dipandang lemah dan tidak memiliki daya upaya.
Semenjak pembelajaran dilaksanakan secara daring, sepertinya belum muncul kesadaran dari pengguna terkait keamanan data, privasi, dan sebagainya. Termasuk dari pihak penyelenggara pendidikan, salah satunya sekolah. Semakin lama, situasi daring ini dimanfaatkan oleh pihak sekolah untuk melakukan pemasaran sekolah tanpa menimbang akibat yang akan ditimbulkan.
Dari data yang didapatkan dari The Conversation, Indonesia merupakan salah satu negara yang terang-terangan menjual data anak kepada perusahaan iklan. Data Human Rights Watch tahun 2022, hampir semua platform daring menjual diam-diam data pengguna kepada pihak ketiga yaitu pengiklan.
Apa saja data yang dimaksud? Children’s Online Privacy Protection Act merumuskan bahwa informasi personal seperti alamat surel, nama lengkap, lokasi, perpesanan, hobi dan ketertarikan, nomor telepon, foto, video, dan file audio termasuk data yang harus dilindungi. Termasuk data wajah. Dalam sistem digital, banyak risiko yang diperoleh apabila sering mengunggah foto anak, yaitu memancing tindak kriminal baik secara fisik maupun non fisik, pencurian data anak, hingga kepada rasa percaya anak. Sering kali anak tidak dilibatkan dan dimintai izin untuk diceritakan kisahnya kepada khalayak umum.
Hal ini pun dukung oleh Priadi Surya, dosen Manajemen Pendidikan UNY, yang berkomentar bahwa ia menemukan perbedaan antara praktik dokumentasi di Indonesia dan luar negeri. Di negara yang sudah cukup literasi digital, ia menemukan persetujuan untuk mengambil foto anak kepada orang tuanya.
Perilaku orang tua di luar negeri itu sudah sejalan dengan peraturan di negara-negara seperti Amerika memiliki lembaga seperti Family Educational Rights and Privacy Act (FERPA). Sedangkan di Indonesia, baru memiliki Undang-undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Itu pun belum mencakup persoalan-persoalan yang mendetail.
Kebanyakan perilaku orang tua di Indonesia, malah terjadi kebalikannya. Orang tua selalu meminta foto dari gurunya, tentu saja untuk dijadikan status dan cerita dalam platform media sosialnya. Kemudian oleh pihak sekolah, hal ini dimanfaatkan sebagai sarana pemasaran yang cukup efektif. Setali tiga uang, gambar-gambar yang seharusnya menjadi satu privasi bagi anak malah menjadi satu sarana pemasaran yang efektif bagi beberapa sekolah. Bahkan direkomendasikan.
Lalu, mengapa harus perhatian kepada data dan privasi anak? Minimnya kesadaran dan pengetahuan dunia siber di kalangan masyarakat, menjadikan masyarakat masih abai dalam perlindungan data pribadi. Dalam dunia pendidikan, tentu saja termasuk lembaga pendidikan, guru, dan orang tuanya. Hanya beberapa sekolah saja yang menerapkan perlindungan data ini. Seperti tidak boleh merekam atau memotret kegiatan anak secara sembarangan.
Pihak Ketiga
Keberadaan pihak ketiga kemudian divalidasi oleh penyelenggara pendidikan yang memerlukan adanya dokumentasi berupa foto maupun video. Ketika proses monitoring dan akreditasi, selalu saja diminta bukti berupa foto atau video. Sepertinya, jika tidak ada foto atau video dianggap tidak ada dan tidak dilakukan oleh para guru. Tingkat validitasnya menjadi berkurang.
Pentingnya dokumentasi berupa foto maupun video, selalu diceritakan dengan candaan Ibu Pengawas, “Ketika anak terjatuh, apakah perlu segera menolong si anak atau memotretnya terlebih dahulu?” Begitulah candaan dari Ibu Pengawas. Alih-alih bercanda, saya pun merasa bahwa pertanyaan ini pernah muncul dalam kelas Jurnalistik: menolong dulu atau merekam dulu?
Saya hanya bisa nyengir saja mendengar candaannya. Karena semuanya harus divideokan, terekam, dan berbagai kejadian sekolah harus diketahui serta bergambar. Tapi kita bisa analogikan dengan bayangan orang dewasa sedang terjatuh dan terluka, biasanya mereka akan meminta kamera tidak perlu ikut campur mengambil potret wajah apalagi video ketika menangis, menahan sakit, apalagi berdarah-darah.
Padahal, terdapat hak pemilik data yang jarang disampaikan dalam kesempatan tersebut. Di antaranya hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk mendapatkan akses, hak untuk memperbaiki/membetulkan, hak untuk menghapus (data), hak untuk pembatasan proses, hak untuk pemindahan data, hak untuk keberatan, dan profiling. Segala bentuk pengambilan gambar bisa dikatakan
Beberapa kali saya mendapati anak murid yang menggemaskan. Saya pikir akan bagus jika itu direkam dan menjadi satu dokumentasi. Tapi beberapa kali saya juga mendapati penolakan dari anak didik yang tidak mau wajahnya tertangkap oleh kamera. Ketika guru mulai mengeluarkan gawai berkamera, ia mulai melipir tak mau mengikuti pembelajaran. Bisa saya terjemahkan bahwa berekspresi dengan ada pihak ketiga itu adalah sesuatu yang tidak aman dan tidak nyaman. Padahal, banyak kejadian anak yang bersifat spontan dan tak bisa ditunggu oleh kamera.
Pada akhirnya, mengikuti perkembangan zaman tak selalu bermakna baik. Selalu ada konsekuensi dan etika dalam penggunaannya. Keberadaan pihak ketiga di antara guru dan peserta didik menjadi sesuatu yang serius dan perlu menjadi pembahasan, karena berimplikasi pada anak tidak memiliki ruang aman untuk bebas berekspresi. Pembelajaran yang diharapkan bisa memaksimalkan potensi anak malah bisa menghambat kinerja anak.
Hidup dalam era digital ini pengguna, baik guru dan orang tua serta peserta didik, memerlukan satu pengetahuan tentang perlindungan konsumen ketika berurusan dengan barang-barang digital dan pihak lain. Karena kita tak tahu apa yang akan dilakukan oleh pihak ketiga itu. Maka, melakukan literasi yang matang serta pembatasan terhadap data-data anak dan data pribadi menjadi penting. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.
Seperti apa yang dituliskan oleh Nairn dan Monkgol, pengetahuan menjadikan konsumen/pengguna memiliki daya dan kontrol terhadap apa yang mereka berikan kepada pihak lain. Di sinilah peran penting orang tua untuk menjaga data-data anak. Sebab, secara hukum, anak masih memerlukan wali dan tidak bisa memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Sebagai guru, saatnya kita mengenalkan tentang literasi digital dan keamanan untuk jiwa anak.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru