CERITA GURU: Mengapa (Harus) Finlandia?
Pasi Sahlberg, pakar pendidikan yang menulis tentang pendidikan Finlandia pun tidak merekomendasikan Finlandia sebagai satu rujukan sistem pendidikan.
Laila Nursaliha
Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.
18 September 2024
BandungBergerak.id – Dalam beberapa dekade terakhir, apa yang diterapkan oleh Finlandia selalu digadang-gadang sebagai sistem pendidikan terbaik di dunia. Hal itu disebabkan oleh skor PISA (Programme for International Student Assesment) yang menempati posisi teratas. Banyak lini masa memasang Finlandia sebagai negara rujukan untuk urusan pendidikan.
Mantan wakil presiden RI, Jusuf Kalla (JK) dalam diskusi terpumpun mengenai menggugat anggaran pendidikan, menyinggung bahasan mengapa harus Finlandia dan Swiss. Masih banyak negara lain seperti China, India, dan Filiphina, yang bisa menjadi benchmarking untuk pendidikan Indonesia.
Pemaparan JK senada dengan apa yang dipaparkan oleh Suparno, Dewan Pakar Pendidikan dan Guru (P2G) dalam Tadarus Pedagogi. Ia berbagi cerita tentang pengalaman memasuki konferensi internasional dengan masing-masing negara memiliki negara benchmark dan tujuan pendidikannya. Masalahnya, sepertinya belum terjadi kesepakatan mau dibawa ke arah mana pendidikan kita. Tarik-menarik antarkepentingan ini kerap terjadi. Political will para pemangku kebijakan pun menjadi satu dari banyak deretan pertanyaan selama ini.
Baca Juga: CERITA GURU: Kata Mereka (Kekhawatiran) ini Berlebihan
CERITA GURU: Bernegosiasi dengan Anak
CERITA GURU: Mengapa Guru Sulit Merdeka?
Uji Coba Mandiri di Sekolah Pinggiran
Dalam beberapa tahun terakhir, tim guru selalu mengikuti perkembangan isu pendidikan. Beruntungnya, karena bekerja di sekolah swasta, kami memiliki keleluasaan untuk menentukan apa yang cocok dalam mengelola sekolah kami dengan kultur kami masing-masing.
Dimulai dari kurikulum 2013, Prof. Hamid selalu mewanti-wanti bahwa kami harus mendalami dan memahami ide dari kurikulum sebelum kepada teknis. Sejujurnya, apabila kami mengikuti pelatihan yang diselenggarakan untuk implementasi kurikulum dan berbagai pengarahan, ia lebih banyak mengulas perkara teknis dalam penyusunan administrasi, alih-alih yang menyasar kepada ide kurikulum. Tentu saja, pendekatan ini masih berlangsung setelah ganti kurikulum.
Hingga suatu saat, kami berkenalan dengan Reggio Emilia, Headstart, Montessori, Waldorf, dan berbagai macam teori pendidikan anak usia dini lainnya. Hal yang pertama kami soroti adalah ia memiliki landasan filosofis yang perlu kami pahami sebelum kami melaksanakan praktik dan tekniknya di kelas. Sayang, tak banyak praktisi yang tahu tentang bagaimana konteks dari masing-masing teori dan pendekatan. Oh iya satu lagi: tumbuh dan berkembangnya teori ini dan bagaimana ia berhasil diterapkan dalam suatu wilayah.
Setiap tahun ajaran baru, kami selalu mencoba model baru, seperti Sentra. Awalnya kami memang masih melakukan pendekatan berbasis kelas dengan pendekatan klasikal dan kelompok. Pertimbangannya, hanya itu yang memungkinkan dilaksanakan secara maksimal. Tentu saja itu tidak menjadi masalah sampai ada aturan bahwa sekolah PAUD diwajibkan menggunakan pendekatan Sentra.
Awal tahun ajaran 2022-2023, kami sepakat untuk membuka area Sentra. Hanya beberapa sentra saja: sentra bahan alam, sentra main peran, dan sentra persiapan. Area ini hanya bertahan selama tiga bulan. Hasilnya memang bagus, anak-anak menjadi lebih antusias setiap harinya. Namun, makin hari para guru makin terpapar kelelahan secara cukup serius.. Ditambah lagi, pendekatan ini cukup menguras anggaran sekolah. Memang, penerapannya bisa disiasati dengan penggunaan barang bekas, tapi lagi-lagi masalah ruang yang tidak memungkinkan. Mengumpulkan barang bekas, membuat ruangan kami penuh.
Dalam sesi evaluasi, kami berkesimpulan bahwa area sentra ini tidak cocok dengan kami yang masih berbagi kelas dengan kelas sore. Semuanya tidak bisa digunakan secara permanen sehingga para guru repot menyiapkan berbagai macam mainan setiap harinya seperti penjaja makanan di jalanan. Setiap hari kami harus memasang tenda, menata makanan, menyiapkan kompor, dan aktivitas lainnya. Tidak efisien, dan tidak maksimal untuk diterapkan di TK. Imbasnya, energi para guru keburu habis di persiapan sebelum memasuki tugas krusial berikutnya: membersamai dan membimbing peserta didik.
Dalam sesi akreditasi, asesor memberikan komentar bahwa pembelajaran di sekolah kami meskipun sudah cukup bagus, tapi belum memberikan kebebasan kepada anak. Dari sanalah saya berpikir bahwa kami memerlukan sumber daya yang banyak. Yang terjadi, bukan kami tidak memberikan kebebasan seperti yang diinginkan oleh mereka, tetapi semata karena sumber daya yang minim.
Tahun ajaran selanjutnya, kami mencoba yang lebih realistis, menyesuaikan dengan kondisi kami. Pendekatan sentra dimodifikasi oleh guru menjadi satu area yang lebih kecil, yaitu di ruang kelas. Sedikit memadumadankan dengan Montessori agar lebih sederhana. Konon, Montessori memerlukan alat yang mahal. Bisa kita lihat, pelatihan-pelatihan untuk pembelajaran tak ada yang sesuai dengan anggaran pengembangan kompetensi guru di sekolah yang pas-pasan. Mainannya juga mahal. Setidaknya begitulah stigma yang ada di masyarakat Indonesia.
Suatu saat, dalam perkuliahan, Prof. Hamid berkata “Montessori adalah seorang yang cerdas. Ia melatih anak contoh berpikir tingkat tinggi melalui mainan-mainannya.”
Kami pun kembali membuka buku-buku asli tulisan Montessori. Letak permasalahannya adalah bukan pada mainannya, tapi: “Apa tujuan mainannya? Bagaimana konsep mainannya? Bagaimana ia membelajarkan anak dan bagaimana guru membelajarkan?” Tanpa ini, guru tidak dapat memaksimalkan media pembelajaran. Saya pun berkontak dengan senior yang sedang di Spanyol. Anaknya sedang sekolah TK dengan pendekatan Montessori. Lalu kami belajar melalui cerita tentang bagaimana mereka menerapkan Montessori tanpa mengeluarkan biaya yang banyak dan mahal.
Bukan Sekadar Mengimplementasikan Teori
Hingga saat ini, tim guru berpikir dan terus merumuskan penyesuaian antara keinginan, anggaran, dan kemampuan. Satu lagi: masyarakat. Hal ini juga didasarkan pada nasihat Prof. Hamid: mengajar seorang anak, perlu satu metode yang amat dikuasai oleh guru secara personal. Pilihan metode merupakan satu pilihan otoritas guru yang tak dapat diintervensi oleh pihak lain. Pada intinya adalah semua tujuan tercapai.
Tentu saja, kami tak bisa hanya memikirkan anak tapi membiarkan gurunya sendiri menderita. Lama kelamaan, sistem yang begitu pada akhirnya merugikan anak karena gurunya sudah lelah sebelum berjuang di ruang kelas.
Dari beberapa uji coba yang kami laksanakan, ada banyak faktor yang ternyata harus kami pikirkan. Bukan sekadar mengimplementasikan sebuah teori, konsep, dan sebagainya. Untuk berjalan maksimal, ada prasyarat yang perlu diperhatikan. Pertama, sumber daya manusia seperti kompetensi guru utamanya pengetahuan pedagogik, pengetahuan akan pembelajaran isi. Sebab, anak yang memiliki kebebasan memerlukan guru yang berwawasan luas dan cara penyampaian yang tepat.
Kedua, sarana dan prasarana. Mau tidak mau, hal ini cukup berpengaruh terhadap keberlangsungan pembelajaran. Ketiga, anggaran. Kekuatan anggaran menjadi faktor penentu penyediaan kesejahteraan dan perlengkapan lainnya. Keempat, paradigma masyarakat. Kelima, dukungan pemerintah dan pejabat yang berkompeten. Saya pikir, akan menguras waktu bila kita terus-menerus harus berkompromi dengan birokrasi dan pejabat yang tak mengerti secara luas pelaksanaan pendidikan. Istilah Sundanya adalah “cape hate”.
Mengapa harus Finlandia? Sampai saat menulis ini pun, saya masih berpikir “mengapa?” Pasi Sahlberg yang bisa dikatakan menulis tentang pendidikan Finlandia pun tidak merekomendasikan Finlandia sebagai satu rujukan. Ia meminta pembaca agar berpikir tentang sistem pendidikannya sendiri. Alasannya, masing-masing wilayah memiliki ciri khas, karakter, dan tujuannya sendiri.
Sudah saatnya kita berpikir lagi tentang arah pendidikan dan cara-cara yang tepat untuk wilayah kita sendiri. Sehingga kita tak hanya menjadi bangsa pemakai dan nggumunan dengan cara-cara orang lain. Barangkali, sebenarnya di tengah kemerdekaan belajar ini kita belum merdeka karena masih mengekor sana sini.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru