CERITA GURU: Bernegosiasi dengan Anak
Orang tua yang membohongi anaknya akan membuat sang anak sulit percaya pada orang-orang di dekatnya. Apa pun itu, tidak ada alasan pembenaran untuk membohongi anak.
Laila Nursaliha
Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.
4 September 2024
BandungBergerak.id – Zura. Anak 4 tahun yang kini duduk di kelas A. Meskipun ia telah mengalami masa percobaan setahun sebelumnya, ternyata belum cukup baginya untuk beradaptasi dengan cara kerja sekolah. Masuk kelas pada waktunya, mengerjakan kegiatan yang telah dirancang oleh guru, bermain, bersosialisasi , dan segudang aktivitas lainnya tanpa ditemani orang tua. Intinya belajar mandiri, untuk anak usia dini.
Bisa dikatakan masa-masa awal semester ini adalah masa kritis dan adaptasinya. Hal ini diperlukan agar bisa mengenal pembelajaran dan permainan yang ada di sekolah. Tentu saja kami tak pernah memaksa anak untuk bersekolah. Namun, ketika orang tua memutuskan anaknya untuk bersekolah di TK, maka seminimalnya kami hanya ingin anak-anak bisa mengerti dirinya dalam pergaulan dan sistem sosialnya. Tahu aturan dan sopan santun terhadap diri sendiri dan sesama. Tahu barang kepunyaannya dan tak mengganggu sekitar.
Pagi itu, masih dalam waktu circle time, Zura memisahkan diri dari anak-anak yang lain, membawa tasnya dan keluar. Kupikir ia bersama guru yang lain atau bersama bude. Melihat Ibu Kepala sekolah meminta mengecek Zura ke luar, saya pun ikut ke luar. Ternyata Zura tidak bersama siapa-siapa. Kami menyisir seluruh area sekolah dari mulai kelas, masjid, toilet, dan tempat-tempat yang bisa dijadikan tempat persembunyiannya. Kami berpikir keras kira-kira anak ini pergi ke mana. Sementara itu, rekan saya yang biasa dipanggil Ummi Ufa, mengecek ke jalan arah pulang rumahnya. Sedangkan saya mengambil gawai kemudian menyusul untuk keluar sekolah. Khawatir prosesnya akan jauh dan lama.
Benar saja, sekitar 50 meter dari sekolah, sudah berdiri Ummi Ufa yang sedang membujuk Zura untuk kembali ke sekolah. Anak perempuan itu, mulai memukul rekan saya karena tak terima jalan pulangnya dijegal oleh gurunya. Ia ingin segera pulang, bertemu dengan budenya. Sambil menghampiri, saya hanya menyaksikan tanpa banyak komentar. Saya pikir, ajakan Umi Ufa untuk Zura agar kembali ke sekolah dan menunggu Bude di sekolah sudah cukup.
Zura merupakan tipikal anak yang marahnya lama. Tak serta merta marahnya bisa dialihkan begitu saja. Kami berbagi tugas, Umi Ufa Kembali ke sekolah dan saya bertugas membujuknya kembali ke sekolah. Jalanan sempit yang cukup dilalui dua orang sisi-sisinya tembok. Di sanalah kami berdiam dan mulai proses negosiasi bersama dengannya. Perlahan aku mencondongkan badan dan berjongkok agar bisa setara mengobrol dengannya.
“Zura marah atau kesal ya? Aku tahu kok, Zura marah. Tidak apa-apa marah. Tapi tidak boleh pulang sendirian.”
Menurut beberapa ahli, menegaskan dan membenarkan perasaan anak itu diperlukan. Agar ia bisa mengenali jenis emosi yang muncul dalam dirinya. Mulailah tebak-tebakan yang terjadi dengan emosinya. Tentunya, dalam hal ini guru perlu menjadi pengamat yang baik. Dia masih terdiam wajahnya kesal. Saya Kembali membujuknya ke sekolah dengan jalan memutar menuju ke sekolah bukan menuju ke rumahnya. Bujukan itu pun tak diterimanya.
“Bohong!” katanya sembari mulai menitikkan air mata.
Saya diam. Sepertinya menambah kata-kata hanya akan membuatnya semakin kesal dan tidak mengubah keadaan. Hening. Kami sama-sama diam. Dia diam karena marah dan kesal. Saya diam karena memang perlu menunggu hingga kemarahannya reda. Dan berpikir tentang rasa kecewa dan marah yang saya terima ketika mulai membujuknya.
Baca Juga: CERITA GURU: Berusaha Melampaui Ruang Kelas
CERITA GURU: Guru TK Laki-laki, sebuah Anugerah
CERITA GURU: Kata Mereka (Kekhawatiran) ini Berlebihan
Jangan Membohongi Anak
Bukan untuk pertama kalinya, anak-anak menuduh orang dewasa berbohong. Dalam beberapa pekan terakhir kali saja, beberapa ungkapan kekecewaan muncul dari anak tentang perilaku orang dewasa yang mereka rasa telah dibohongi. Oleh ibunya, ayahnya, mungkin gurunya?, dan orang dewasa di sekitarnya. Selama ini, saya mencoba memaklumi orang dewasa membuat sebuah bujukan tipis-tipis. Namun saya cukup mengutuk orang dewasa yang berbohong kepada anak-anak. Selain perilaku yang tidak baik, itu pun cukup menyakitkan hati meskipun banyak dibalut dengan frasa “untuk kebaikan anak”.
Anak-anak berasumsi bahwa orang dewasa semuanya sama: sering berbohong. Ia menjadi memiliki isu kepercayaan kepada orang-orang di sekitarnya karena perilaku orang tuanya sendiri. Setidaknya saya menangkap satu garis merah di antara beberapa kejadian setelah ini. Entah karena orang tuanya sengaja berbohong, atau karena ketidaksengajaan orang dewasa membohongi anak-anak.
Seperti Ima, yang dibujuk oleh ibunya agar mau bersekolah dengan iming-iming boleh jajan cireng. Padahal, menurut aturan sekolah, peserta didik tidak diperbolehkan membeli jajanan di luar.
Atau orang tua yang sengaja bersembunyi agar anaknya mau sekolah. Salah satu bentuk kebohongannya adalah orang tua/pengantar tersebut tidak pamit kepada anaknya. Diam-diam mereka meninggalkan anaknya di sekolah. Hingga meledaklah tangis dan amarahnya. Keesokan harinya, mereka menjadi ketakutan ditinggalkan oleh orang tuanya, karena satu kebohongan itu.
Setelah tenggelam dalam beberapa pikiran yang menyentak, tak terasa beberapa menit berlalu. Untungnya, tak ada satu orang pun yang lewat. Suasana pekuburan samping masjid yang sepi, masih tetap sepi karena kami tidak melakukan apa pun. Setelah dirasa cukup aman, Zura pun saya peluk dan dibawa kepangkuan saya. Namun, masih belum mau beranjak. Dia bersandar padaku, saya bersandar pada tembok. Tembok ini adalah penyelamat saya. Jadi, saya tak terlalu banyak mengeluarkan tenaga untuk menopang tubuh saya dan tubuhnya Zura.
Sinar matahari membuat kulit Zura yang putih menjadi lebih cerah untuk dilihat. Urat-urat nadi bermunculan, warnanya yang hijau terlihat cukup jelas. Membuat ide bagus untuk membuka percakapan yang lain
“Zura! Lihat di tangan Zura! Ada apa ya garis yang melintang dan warnanya hijau ini?”
“Oya?“ Matanya mulai berbinar mengamati tangannya juga tanganku. Dia memeriksa semua aliran urat nadi.
“Itu namanya urat nadi. Warnanya bermacam-macam ada yang hijau, ada yang ungu, ada juga berwarna biru. Kamu tahu urat itu isinya apa?”
Ia terus mengamati dan membandingkan urat nadi yang ada di tangannya dan tanganku. Hingga ia tertarik pada jam tanganku. Ia belajar memasang dan melepas jam tangan.
Pejalan kaki mulai bermunculan. Saya merasa perlu membawa Zura ke sekolah agar lebih aman dan lebih leluasa untuk berkegiatan. Saya tawarkan Kembali untuk bernegosiasi lagi untuk kembali ke sekolah, kali ini saya tawarkan untuk menggendongnya
Tiba-tiba ia menyerahkan tasnya padaku. Tanda ia bersepakat. Kali ini, saya tak siap jika harus menggendong dan membawa tasnya. Padahal maksud saya tadinya adalah tasnya tetap digendong sama anak ini. Apalah daya, akhirnya saya yang gendong. Sampai sekolah, Bude sudah menanti Zura di sekolah. Saya ketar-ketir badan habis energi dan perlu istirahat sampai pulang. Penyebab utama adalah posisi gendong yang tidak nyaman. Saya jadi paham, kenapa banyak ibu-ibu yang lebih cepat pegal. Karena satu ini, posisi gendong yang tidak ergonomis. Tangannya gak pegangan erat ke pundak saya.
Beberapa saat bersama Zura membuat saya merasakan emosi yang lebih kuat dari anak-anak. Satu kekecewaan mendalam yang mungkin dipikirkan anak-anak. Anak-anak bukannya tak bisa dinegosiasi. Tapi Ia terlanjur memiliki masalah kepercayaan terhadap orang-orang di dekatnya. Memang masalah kesadaran inilah yang sulit didapatkan dalam pengasuhan. Perilaku pembenaran untuk berbohong kepada anak, perlu dikutuk. Memang akan menemui jalan terjal membiasakan orang dewasa mendidik anak dengan hal-hal yang benar. Tapi, itulah risiko jalan panjang ketika mendidik anak. Bukan membuat anak supaya tetap diam.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru