• Narasi
  • CERITA GURU: Mengapa Guru Sulit Merdeka?

CERITA GURU: Mengapa Guru Sulit Merdeka?

Istilah mikromanjemen mewakili dunia guru dan pendidikan hari ini. Yakni bagaimana manajemen yang dilakukan oleh pejabat daerah pada guru-guru di bawahnya.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Ilustrasi. Upah guru honorer masih jauh panggang dari api. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

11 September 2024


BandungBergerak.id – Pertama-tama, kita perlu mengapresiasi mengakui bahwa jauh sebelum dilancarkannya Merdeka Belajar, sebagian guru sudah merdeka di ruang kelasnya sendiri. Ia memiliki otonomi penuh untuk menentukan ke mana arah tujuan peserta didik dan bagaimana ia mengelola kelasnya itu. Tapi setelah program Merdeka belajar ini diluncurkan, masih banyak guru yang belum merdeka menentukan arah untuk mendampingi peserta didiknya ke arah yang lebih baik dan lebih bermakna. Jangankan menentukan arah, gurunya sendiri pun tak tahu tujuannya ke mana.

Dimulai dari hal-hal yang seharusnya menjadi otonomi guru: model dan metode belajar. Terkadang ia masih perlu penyeragaman yang mendalam hingga ke ruang-ruang kelas. Pembelajaran berbasis proyek, yang mestinya tak menjadi satu kewajiban masing-masing guru, sekarang menjadi kewajiban tersendiri. Kadang, saya pun merasa tidak nyaman ketika pihak luar harus mengurusi urusan kelas yang menjadi daerah otonomi saya sebagai guru. Tapi, entah bagaimana semuanya harus diseragamkan. Saya pikir, ini sebagai penyeragaman gaya baru.

Urusan ini membuat saya menjadi “rungsing” dan berdiskusi dengan rekan senior yang berbeda profesi. Ia adalah insinyur. Ada satu hal yang membuat obrolan kami menjadi tersambung dan terhubung, yaitu kesejahteraan ketika bekerja. Apa dan bagaimana kita bisa merasa aman, nyaman, damai, Sentosa, serta menjadi diri sendiri. Bahasan khas dunia pekerjaan bagi para milenial masa kini. Kemudian ia berpesan

“Cari aja yang manajerialnya bagus, gak micro-manage, percaya sama bawahan, bisa bantu dan dapat diandalkan saat susah.” Lelaki lulusan Universitas Gadjah Mada itu, memberikan pesan-pesan kepada saya yang mungkin akan berguna dalam proses mencari pekerjaan. 

Satu istilah micro-manage yang ia sampaikan membuat pikiran saya menemukan satu titik benang merah atas kemerdekaan guru ini. Ini mewakili apa yang saya rasakan dalam dunia guru dan pendidikan hari ini. Istilah ini mengingatkan saya kepada istilah-istilah yang ada sebelumnya seperti surveilance teacher, helicopter parenting, dan istilah-istilah yang berkaitan dengan kontrol yang berlebihan. Micro management ini menjadi lebih pas karena berurusan dengan bagaimana manajemen yang dilakukan oleh pemerintah, kita sebut saja pejabat daerah, kepada guru-guru di bawahnya. 

Baca Juga: CERITA GURU: Guru TK Laki-laki, sebuah Anugerah
CERITA GURU: Kata Mereka (Kekhawatiran) ini Berlebihan
CERITA GURU: Bernegosiasi dengan Anak

Memahami Micromanagement dan Dampaknya

Etymonline.com menuliskan Istilah micromanagement muncul setidaknya pada tahun 1978. Di sana dijabarkan mengenai penggabungan antara kata micro dan manage yang sudah terlebih dahulu ada sekitar tahun 1570an. Ia muncul ketika industri menjadi satu gerbong yang perlu diikuti oleh perkembangan dunia. Ia muncul dalam berbagai bidang, utamanya yang lebih mengedepankan efektivitas dan efisiensi. Pengerjaan terhadap hal-hal detail mnejadi satu hal yang dirasa amat penting 

Biasanya, gaya kepemimpinan yang micro-management menginginkan hal yang detail dan menginginkan pembaruan. Keberadaan benda-benda seperti catatan progress, laporan, status, dan lain-lain. Instrumen isian tersebut digunakan oleh atasan untuk memantau kinerja bawahannya, tapi jika dilakukan terlalu rigid dan kaku sesuai format, maka akan menjadi bumerang tersendiri. Bisa dilihat dari bagaimana repotnya membuat laporan harian, laporan mingguan, bulanan, sampai tahunan. Semuanya mesti terdokumentasi.

Szast dan Morska mengidentifikasi micromanager memiliki karakteristik yang khusus di antaranya kurangnya kepercayaan diri dalam mendelegasikan tanggung jawab, tidak mempercayai orang lain, perfeksionis dan biasanya menganut prinsip “kerjakan sesuatu yang bagus atau tidak sama sekali”.

Pendelegasian setengah-setengah menjadi praktik yang menjadi sorotan sehingga menjadikan pekerjaan guru menjadi banyak. Salah satu contoh praktiknya adalah tentang pengaturan rencana pembelajaran harian yang terlalu rinci, spesifik, dan kaku. Jika dilakukan secara detail, maka akan mengganggu fleksibilitas guru dalam merespons kebutuhan siswa di kelasnya. Hal lain yang menjadi urusan mikro yang menjadi pusat perhatian adalah pengawasan berlebihan terhadap metode pengajaran. Inspeksi mendadak ke kelas. Tuntutan metode pembelajaran tertentu tanpa pertimbangan tujuan pembelajaran dan karakteristik pembelajaran cenderung menjadi memaksakan. Dan masih banyak hal-hal lain yang menjadi pekerjaan bagi manajer agar tidak terlalu mengekang.

Dampak yang sering terjadi pada penerapan mikromanajemen adalah kelelahan mental, ilusi keefektifan, ketidakberdayaan untuk menghasilkan solusi secara cepat, membatasi kreasi, menghambat transformasi, dan ketidakmampuan untuk menempatkan dan melayani dukungan organisasi. Sehingga guru-guru yang terlibat mikromanajemen kurang memiliki motivasi untuk membawa perbaikan dan kritis kepada kebijakan-kebijakan yang akan diluncurkan oleh pemerintah.

Menciptakan perketatan dengan monitoring berlebihan dan proses penerimaan, Gagal mengembangkan potensi sumber daya yang dimiliki, mengurangi kualitas produksi kerja. Membuat pekerja menderita, dan pekerja menjadi tidak memiliki hubungan dengan tempat kerja

Trust Issue

Kepercayaan merupakan satu hal yang krusial. Meskipun tidak semua, pelaku atau sistem mikromanajemen  memiliki akar ketidakpercayaan terhadap bawahannya. Kerepotan itulah yang ditimbulkan sebab adanya semacam trust issue.

Finlandia, negara yang digadang dengan pendidikan terbaik adalah pelaku dari tindakan menaruh kepercayaan kepada guru. Sehingga semua urusan kependidikan di lapangan diserahkan kepada guru. Bukan hanya memberikan guru perketatan dan hal-hal rigid untuk mengontrol.

Dalam buku In teacher we Trust, Pasi Sahlberg dan Timothy D. Walker mengutip tulisan Valivarji yaitu satu Guru Finlandia diberi kepercayaan berupa kemerdekaan pedagogis yang diperlukan dalam kelas dan sekolah, mendapatkan hal yang sama, menikmati substansial dalam mengatur kerja mereka dalam pagar kurikulum inti nasional. Dalam artian mereka memiliki kemerdekaan di kelas.

Berbeda dengan ada yang di lapangan di masa kini. Kita belum memiliki Isi pembinaan yang lebih ideal dan memerdekakan. Setiap pertemuan guru masih cenderung kepada bimbingan teknis dan birokratis dan melaksanakan kebijakan. Dengan alasan tidak mencari masalah, guru lebih baik patuh dan sebisa mungkin bisa diterima.

Tidak semua sarjana memiliki suara yang sama terkait mikromanajemen. Dalam studi yang dilakukan oleh Malangon dan Ramos melakukan sebuah studi tentang manajemen yang ada dalam tataran middle management, dan guru-guru yang menjadi binaannya. Hasilnya cukup berbeda. Untuk efektivitas dalam tataran middle management hal ini lebih efektif untuk mengarahkan bawahannya agar lebih produktif. Dalam penelitian, Ramos dan Malangen menemukan bahwa mikromanajemen secara signifikan efektif dalam meningkatkan dan produktivitas, efektif dalam kompetensi, dan kurang efektif saat membahas mengenai kepuasan bekerja.

Tentu saja, mengubah paradigma merupakan tugas pertama ketika akan melakukan perubahan. Bukan hanya perubahan dari guru yang merupakan ujung tombak di ruang kelas. Namun, pemimpin pendidikannya itu pula yang perlu mulai menaruh kepercayaan guru-guru dan mengubah paradigmanya dari dirinya sendiri.

Kepemimpinan dalam pendidikan sering kali seperti sebuah kotak hitam yang jarang dibahas. Namun, ia memegang peranan penting selain guru dalam mengurus urusan pendidikan. Kualitas dan performa guru ditentukan pula oleh arahan pemimpin pendidikan yang paham betul akan apa yang dilakukannya untuk pendidikan. Merdeka itu bukan hanya kepentingan segelintir pihak belaka. Agar guru bisa menjadi merdeka, maka perlu ada dua pihak : guru dan pemimpin di bidang pendidikan.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//