• Narasi
  • CERITA GURU: Cara Lain Mengajarkan Sejarah dan Geografi

CERITA GURU: Cara Lain Mengajarkan Sejarah dan Geografi

Bagi saya, ruang belajar haruslah menciptakan kultur literasi yang kuat. Saya beruntung bisa mengajar sejarah dan geografi dengan menggunakan cara saya sendiri.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Siswa Kelas XI PPI 24 Rancaekek sedang melakukan wawancara kepada rumah Ketua RW. Di Kampung Jambu Leutik, Rancaekek. (Foto: Hafidz Azhar)

25 September 2024


BandungBergerak.id – Di penghujung timur kota Bandung, terdapat bangunan sekolah yang berdiri sejak tahun 1989. Sekolah ini lebih dikenal sebagai pesantren ketimbang sekolah biasa pada umumnya. Nama pesantren memang sangat kentara dengan pelajaran agama bahkan lazim menggunakan sistem mondok atau asrama. Tetapi tidak untuk Pesantren Persatuan Islam (PPI) 24 Rancaekek. Selain bermuatan agama, sekolah yang terletak di Kampung Babakan Cerme, Desa Linggar, Kecamatan Rancaekek ini menyuguhkan juga berbagai pelajaran umum seperti matematika, biologi, geografi dan sejarah. Dari deretan pelajaran tersebut saya sendiri mengajar sejarah dan geografi untuk tiga angkatan.

Tidak seperti sejarah, saya tidak mempunyai concern secara khusus terhadap pelajaran geografi. Kendati basic studi saya kajian budaya, mengajarkan geografi di kelas tentu berbeda dengan sekadar menghubungkan dampak kerusakan bumi dengan kebiasaan buruk masyarakat terkait lingkungan. Akhirnya ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya yang ditugaskan untuk mengajar siswa Kelas XI dan XII.

Sebetulnya, saya baru mengajar di PPI 24 semester sekarang pada bulan Juli yang lalu. Itu pun atas ajakan kawan saya, Naufal. Naufal selalu menekankan bahwa di PPI 24 semua guru tidak diberikan materi khusus apalagi berkaitan dengan metode belajar di kelas. Tiap-tiap guru diberi keleluasaan dan kebebasan dalam menyampaikan materi juga dalam berkreasi, asalkan itu relevan dengan pelajaran.

Saya ingat prinsip Ki Hajar Dewantara bahwa belajar itu mesti menyenangkan. Di samping itu, bagi saya sendiri ruang belajar haruslah menciptakan kultur literasi yang kuat, sehingga tidak saja menyenangkan bahkan diupayakan dapat mencapai kualifikasi yang baik. Melalui prinsip ini saya ingin mencoba menerapkan cara lain mengajarkan sejarah dan geografi, baik yang berlangsung di dalam kelas maupun di luar sekolah.

Baca Juga: CERITA GURU: Bernegosiasi dengan Anak
CERITA GURU: Mengapa Guru Sulit Merdeka?
CERITA GURU: Mengapa (Harus) Finlandia?

Mengajar Geografi dan Sejarah

Seperti biasa, hari pertama saya memperkenalkan diri kepada siswa. Setelah itu saya membuka pertanyaan tentang kesan mereka selama belajar geografi. “Membosankan, Pak”, ungkap sebagian siswa.

Sama halnya dengan pelajaran geografi, tidak sedikit dari siswa menyampaikan kesan serupa dalam mempelajari sejarah. Keluhan ini, tentu saja, sebagai bentuk protes agar saya menampilkan pola belajar yang berbeda. Langkah pertama yang saya lakukan adalah memberikan buku tipis berjudul Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya untuk mereka tanggapi lewat catatan ringkas sebanyak tiga halaman. “Semua harus menulis!”, tegas saya.  Langkah ini tampaknya cukup efektif, meskipun ada beberapa orang yang merasa kesulitan karena belum terbiasa.

Pada pelajaran geografi, mula-mula saya menugaskan para siswa untuk menulis catatan perjalanan. Tugas ini sederhana. Setiap berangkat ke sekolah para siswa mencatat apa yang mereka lihat berkenaan dengan kasus kerusakan lingkungan. Misalnya, sampah yang tidak tertampung, polusi udara yang kian kotor atau sungai-sungai yang tercemar limbah pabrik yang banyak ditemui di kawasan Rancaekek.

Jika ditilik secara harfiah, geografi sendiri berasal dari istilah graphein yang bermakna menggambarkan atau melukiskan. Kata ini lalu digabungkan dengan istilah geo, bumi, sehingga dua kata ini bisa berarti upaya penggambaran problem-problem mendasar terkait tanah, udara dan air yang ada di bumi sekaligus berhubungan langsung dengan manusia.

Ihwal sejarah, saya tidak banyak menceritakan soal rekaman peristiwa besar yang telah tercatat. Setelah menuliskan ulasan buku, mereka juga dituntut untuk mencari tahu memori kolektif mengenai tempat yang paling terdekat. Bisa di rumah sendiri atau kampung halamannya, termasuk sekolah tempat mereka belajar.

Pada minggu kedua, saya memberitahu para siswa agar bersiap-siap untuk belajar di luar. Mendengar kabar ini mereka tampak begitu senang dan bersorak. Saya lalu membuatkan kelompok supaya kegiatan belajar ini lebih terarah. Setiap kelas biasanya terdiri dari 4 sampai 5 kelompok. Tiap-tiap kelompok mendapat bagian untuk mencari tahu ihwal toponimi, kondisi sosial 20 hingga 50 tahun terakhir, sisi geografis, termasuk juga perubahan kondisi lingkungan.

Belajar di Luar Sekolah

Dari tiga angkatan yang saya ampu, pembagian didasarkan pada efektivitas materi yang mudah dicapai. Misalnya, Kelas X saya tugaskan untuk menggali latar belakang kemunculan sekolah. Kelas XI mendapat tugas untuk menggali seluk-beluk Kampung Jambu Leutik dan Babakan Cerme. Sementara Kelas XII ditugaskan untuk mencari tahu sisi geografis Desa Linggar dari masa ke masa.

Kampung Jambu Leutik dan Babakan Cerme sendiri jaraknya masih berdekatan dengan sekolah. Hal ini yang memungkinkan para siswa untuk bisa bolak-balik mencari informasi pada saat jam pelajaran bergulir. Semula, tidak ada harapan lebih dari kegiatan belajar seperti ini, tetapi yang saya lihat ada kerja sama yang baik di antara mereka secara bahu-membahu untuk memperoleh berbagai macam data terkait. Antusiasme dalam mencari data tersebut ditunjukkan melalui wawancara pada beberapa orang narasumber. Seperti yang dilakukan oleh semua kelompok Kelas XI A. Mereka berjalan sendiri dan menjelajahi beberapa rumah tokoh setempat yang sekiranya dapat diperoleh informasi. Akhirnya terdapat satu rumah yang mereka tuju, yaitu rumah milik ketua RW yang berada di Kampung Jambu Leutik. Seraya memanfaatkan jam pelajaran yang relatif singkat, mereka bertaruh dengan waktu dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Hasil dari wawancara yang mereka gali tentu akan mendapat output yang diuji oleh sesama siswa, baik berupa presentasi maupun karya esai sepanjang 1.000 kata. Ada satu momen kala seluruh siswa yang mengikuti kelas saya dipertemukan dalam acara bernama Studium Generale. Acara ini bukan saja sebagai hasil akhir siswa untuk memuntahkan semua penelusuran yang mereka dapat sebelumnya, melainkan sebuah seremonial bernuansa historis dengan diisi oleh pameran arsip dan dokumentasi lawas, perpustakaan jalanan, bazar buku serta pembacaan puisi dari siswa yang berlangsung pada 12, 13 dan 14 September. Acara ini dikelola oleh 12 orang panitia yang saya ambil dari kelas 10, 11 dan 12 berdasarkan musyawarah di grup Whatsapp yang kami buat.

Saya beruntung bisa mengajar sejarah dan geografi dengan cara saya sendiri. Ke depannya saya ingin terus menciptakan iklim baru supaya siswa tidak hanya paham terhadap apa yang disampaikan tetapi juga dapat menikmati materi pelajaran yang saya berikan.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Hafidz Azhar, atau membaca artikel-artikel lain tentang guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//