CERITA GURU: Mempertanyakan Minat Baca Guru
Minat baca dan literasi tidak terlepas dari aktivitas perbukuan. Lembaga pendidikan perlu menginstitusionalkannya jika ingin membudaya dan lestari eksistensinya.
Laila Nursaliha
Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.
10 Oktober 2024
BandungBergerak.id – Andai kata membaca bukan sesuatu hal yang penting, maka tidak akan ada satu capaian khusus untuk kegiatan manusia yang bernama membaca. Perkembangannya dari yang paling sederhana membaca gambar hingga menguliti dalaman-dalaman. Bahkan secara khusus, ada kurikulum yang dinamakan 3R (Reading, Writing, Arithmetics). Sepenting itu membaca hingga menjadi indikator khusus untuk dijadikan sebuah mata pelajaran di sekolah.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, semangat untuk menggenjot minat baca warga negara Indonesia telah menjadi fokus utama. Atas nama literasi dan numerasi kini semuanya diwajibkan untuk bisa membaca. Berbagai program pemerintah telah diimplementasikan untuk mendukung upaya ini, mulai dari pengadaan buku hingga pelatihan metode pembelajaran literasi.
Kepentingan membaca kian menjadi-jadi ketika dunia memasuki satu fase bernama knowledge of Economy. Pengetahuan menjadi satu komoditas dimana modalnya adalah membaca. Dunia semakin cepat memproduksi pengetahuan. Manusia juga dituntut makin cepat untuk beradaptasi dengan berbagai macam informasi dan teknologi yang baru. Kurang lebih disanalah pentingnya membaca.
Namun, di tengah antusiasme meningkatkan minat baca anak ini, ada satu aspek krusial yang sering kali luput dari perhatian: bagaimana dengan minat baca para guru? Pertanyaan ini menjadi sangat relevan mengingat merekalah yang menjadi role model utama dalam membentuk kebiasaan membaca anak-anak. Bagaimana mungkin seorang guru dapat memberikan pengalaman membaca yang menyenangkan jika ia sendiri tidak memiliki hubungan yang baik dengan buku?
Baca Juga: CERITA GURU: Mengapa (Harus) Finlandia?
CERITA GURU: Cara Lain Mengajarkan Sejarah dan Geografi
CERITA GURU: Guru, Peserta Didik, dan Pihak Ketiga
Minat Baca Guru
Keresahan tentang minat baca guru sebenarnya bukanlah hal baru. Sejak 1995, Ajip Rosidi telah menyoroti pentingnya membina guru agar gemar membaca, terutama karya sastra. Pandangannya yang visioner ini berangkat dari kesadaran bahwa guru adalah sosok yang dipercaya untuk mendidik generasi penerus bangsa. Ia telah memperhatikan minat baca sastra dan pengajaran membaca rakyat Indonesia sejak lama.
Ia juga berkomentar mengenai budaya membaca di Indonesia mengenai kegemaran dan ketekunan membaca itulah yang kian rendah dimiliki oleh bangsa kita –kecuali membaca yang ringan-ringan, atau membaca buku-buku teknis seperti buku-buku komputer, buku-buku manajemen, buku-buku memasak, dan semacamnya.
Menurut Ajip Rosidi, membaca buku teknis, manajemen, buku “how to” merupakan membaca yang ringan dan sifatnya hiburan. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Mortimer J. Adler bahwa membaca pun memiliki tingkatannya sendiri dari membaca sebagai hiburan hingga membaca sintopikal. Sebuah tingkatan membaca yang paling mendalam.
Sejalan dengan keresahan yang dirasakan oleh Ajip Rosidi, saya teringat pengalaman saya ketika menyelesaikan tugas akhir, syarat menjadi sarjana. Didukung oleh dosen pembimbing saya, Dr. Pujiriyanto, saya mengangkat tema penelitian mengenai minat baca guru sekolah. Agar lebih mengerucut, waktu itu memotret di sebuah kecamatan di Yogyakarta. Seharusnya, dengan hadirnya banyak universitas, dekatnya akses perpustakaan dan toko buku di sebuah teritori tertentu seharusnya membuat para guru lebih baik dalam soalan minat baca.
Idealnya, memang profesi guru tidak lepas dari urusan membaca dan menulis. Kemampuan baca inilah yang kemudian berimplikasi kepada pengembangan profesi guru. Sebaik apa pun fasilitasnya, tampaknya tetap bawaan personal seperti hobi, lingkungan pendidikan, keluarga sangat mempengaruhi bagaimana minat baca tersebut tumbuh. Dari sana juga menjadikan saya berpikir apakah membaca itu memang sebuah budaya yang kemudian bisa diusahakan atau hanya sebagai tugas sekolah belaka?
Selain bawaan secara personal, program pemerintah kemudian sangat mendorong tentang bagaimana guru membaca. Beban kerja guru di sekolah dan peranan lainnya di rumah secara domestik cukup membawa pengaruh kepada ketersediaan waktu dirinya untuk membaca. Salah satu kesulitan guru untuk membaca adalah peranan sekolah untuk menyediakan perpustakaan yang cukup untuk sumber-sumber bacaan guru.
Kurang lebih tiga tahun ini, dengan adanya program merdeka mengajar, ada sebuah pola baru untuk membuat guru “terpaksa” harus belajar lagi. Entah efektif atau tidak, mungkin sudah mulai membangkitkan minat belajar dan kemudian diharapkan minat baca guru kepada sumber-sumber yang lebih sahih dan relevan untuk pembelajaran di kelasnya. Bukan sekedar bimbingan teknis mengenai administrasi guru.
Membaca Apa?
Kembali lagi kepada minat baca guru. Ketika kita tanya apakah guru membaca atau tidak? Tentu saja akan menjawab: “baca”. Tapi, apa yang dibaca? Beberapa akan ada yang menjawab adalah membaca status di sosial media, membaca story Whatsapp, dan sebagainya. Meskipun akses informasi sudah ada dalam genggaman, namun tak cukup membuat semuanya menjadi mudah mengakses.
Selain faktor guru, meminjam dari Ajip Rosidi, pembinaan membaca di dunia pendidikan Indonesia bukanlah sesuatu hal yang serius dan ditanamkan sejak dini. Tidak ada panduan khusus yang digunakan untuk mengajarkan tata cara membaca, buku apa saja yang perlu dibaca, dan standarisasi isi dari perpustakaan yang berada di sekolah. Padahal, Indonesia memiliki khazanah sastra yang cukup banyak untuk dikenalkan dan dipertahankan eksistensinya.
Ketika kita ulas beberapa kurikulum negara lain, karya-karya sastra klasik ada bahkan diwajibkan dalam beberapa pelajaran di sekolahnya. Baik di tingkat usia dini, sampai di tingkat menengah atas. Penyusun kurikulum sekolah lain, menjadikan peserta didik akrab dan mendarah daging mengenai sastra.
Peranan sastra dan membaca secara mendalam, Alfred North Whitehead menjelaskan bahwa sastra sangat penting untuk mengembangkan daya imajinasi, berkomunikasi, dan menyampaikan ide. Sastra bukan hanya asupan materil seperti halnya pendidikan teknik tetapi juga asupan rohani. Kang Ajip juga menambahkan bahwa sastra merupakan tingkat ruh tertinggi dalam sebuah masyarakat ketimuran.
Pandangan guru dan pengurus perpustakaan sekolah yang hanya memerlukan buku teks, merupakan hal yang fatal. Banyak pelajar hanya diharuskan menghafalkan batasan-batasan istilah namun tidak diakrabkan dengan karya sastra itu sendiri. Salah satu kendalanya adalah ketersediaan bahan bacaan di sekolah. Kebanyakan sekolah hanya menyediakan buku-buku bacaan yang dianggap menunjang pembelajaran. Tapi, beberapa buku non-teks malah kekurangan. Mungkin sedikit sekali sekolah yang memiliki perpustakaan lengkap jenis ini.
Minat baca dan literasi tentunya tidak terlepas dari aktivitas perbukuan. Jika ingin membudaya dan dilestarikan eksistensinya perlu diinstitusionalkan oleh lembaga pendidikan. Terinspirasi kembali dengan bacaan buku yang ditulis oleh Ajip Rosidi, saya pikir para guru pun perlu berbenah diri dan terus membaca lebih dalam untuk memaksimalkan potensi dirinya untuk diberikannya kepada peserta didiknya.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru