CERITA GURU: Sebab Belajar Sejarah bukan saja Soal Narasi Masa Lalu
Mengajar siswa tentang sejarah tidak melulu soal narasi masa lalu. Sejarah juga berkaitan dengan isu-isu kekinian.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
4 Desember 2024
BandungBergerak.id – Jarum jam yang berdetak mengarah pada angka satu. Anak-anak sudah selesai merancang ruangan. Baris demi baris kursi ditata dan disusun sebagai pembatas. Tidak ada yang istimewa di bagian depan, hanya ditaruh layar untuk memantulkan cahaya dari proyektor.
Hari itu, tanggal 29 Oktober 2024. Kami mengadakan kegiatan refleksi atas peristiwa Sumpah Pemuda. Acara yang bertajuk "Sumpah Pemuda di antara Kami" adalah kolaborasi antara Kelas Sejarah dan Geografi dengan Kelas Pendidikan Kewarganegaraan yang digelar di Aula PPI 24 Rancaekek.
Saya sendiri tidak banyak bercampur tangan. Seluruh rangkaian acara dikerjakan oleh siswa kelas XI. Misalnya, Revan dan Fadhlan bertugas sebagai pembawa acara. Olkan dan Nurliani menyampaikan orasi. Ada juga Fazlan membacakan Ikrar. Selain pembawa acara, tiga orang terakhir turut memanaskan suasana ruangan. Mereka tampak berapi-api dengan penuh penghayatan. Tangan kiri mengepal menunjuk ke sana ke mari, sedangkan tangan satunya lagi memegang secarik kertas dengan mulut berkomat-kamit seperti sedang mendeklamasikan puisi.
Sambil diiringi musik, Wanggi Hoed memainkan tubuhnya dengan memberikan isyarat. Olkan dan Nurliani masih berorasi, dan Wanggi terus mengiringi keduanya. Siswa yang lain tampak khusyuk menyaksikan teman-temannya di depan. Sebagian orang mengibarkan bendera Palestina sebagai simbol dukungan kemanusiaan. Di bagian paling belakang anak-anak membentangkan poster dengan tulisan beragam. Beberapa baris dari bagian depan mengibarkan bendera Merah Putih yang menjadi perlambang persatuan Indonesia.
"Ini kesempatan kita untuk menyampaikan unek-unek", ungkap seorang siswa seraya memegang kertas yang kosong untuk ia tuliskan.
Satu hal yang perlu ditekankan, bahwa kegiatan ini adalah bentuk ikhtiar untuk memantik kesadaran, memahami masa kini dari peristiwa masa lalu. Momen Sumpah Pemuda merupakan serpihan sejarah yang terus berjalan. Sebab, pada hakikatnya, sejarah ialah repetisi yang dapat dirasakan dari waktu ke waktu. Diakui atau tidak, pengulangan kejadian di masa lalu kerap terjadi pada masa ini. Hal itulah yang sering saya ungkapkan kepada siswa bahwa sejarah bisa menjelma kembali sebagai bentuk yang lain. Mungkin, semacam penjajahan gaya baru yang selalu bergentayangan.
Sejatinya, spirit Sumpah Pemuda ialah menolak segala bentuk kolonialisme, membangun kesadaran kolektif, lalu menyampaikan semua gagasan dari kesadaran itu. Kita bisa mengambil semangat zaman pada peristiwa Sumpah Pemuda itu. Melawan kolonialisme! Bukankah penjajahan masih tampak berkeliaran dalam kehidupan kita saat ini?
Sebut saja pembabatan hutan, pengerukan lahan, penggusuran rumah, penyalahgunaan kekuasaan dan juga perundungan yang kian menjadi puncak gunung es. Belum lagi di belahan Jazirah Arab, terdapat satu negara yang tidak diakui oleh negara-negara adidaya. Tersebutlah ia sebagai Negara Palestina. Di negeri ini jutaan orang mati dan jutaan penduduk lainnya mengungsi akibat pemusnahan massal oleh Zionis Israel.
Baca Juga: CERITA GURU: Cara Lain Mengajarkan Sejarah dan Geografi
CERITA GURU: Murid Merdeka Belajar, Guru Belajar (untuk) Merdeka
CERITA GURU: Cantik itu Putih?
Menonton film animasi
Fazlan membacakan Ikrar dengan diikuti oleh siswa lainnya. Tangannya yang erat memegang mikrofon. Tersebutlah Ikrar itu:
- Kami santri dan santriwati PPI 24, menjunjung tinggi akhlak dan etiket bermasyarakat.
- Kami santri dan santriwati PPI 24, menolak eksploitasi lingkungan, atas nama apa pun!
- Kami santri dan santriwati PPI 24, mengutuk pembantaian Israel terhadap Rakyat Palestina dan semua penjajahan negara lainnyademi terwujudnya perdamaian di seluruh dunia.
- Kami santri dan santriwati PPI 24, mengutuk kesewenang-wenangan, persekongkolan politik, pembangkangan dan pengkhianatan terhadap hukum untuk kepentingan keluarga.
- Kami santri dan santriwati PPI 24, berkomitmen dalam menegakkan kesetaraan demi menjunjung persamaan hak.
Hidup Pelajar Indonesia!
Hidup Rakyat Indonesia!
Free Palestine!”
Pembacaan Ikrar sekaligus menutup rangkaian orasi. Lagu Bersemi Sekebun dari Efek Rumah Kaca dan Ucok mengiringi Wanggi. Seketika Wanggi Hoed kian menjadi saat Ikrar itu dibacakan pada baris terakhir. Ia membayangi siswa, mengarahkannya supaya bendera-bendera itu terus dikibarkan ke atas.
Selepas pertunjukan tersebut, seluruh siswa duduk bersama-sama secara lesehan. Mereka menyaksikan sebuah film animasi besutan Firza, siswa kelas XI yang memiliki kelihaian dalam reka cipta visual. Film tersebut berisi tentang muasal tercetusnya Ikrar Sumpah Pemuda, dengan durasi kurang lebih 15 menit. Pada detik ini seketika suara menjadi sunyi, semua mata tertuju pada layar berukuran 2x1 meter persegi. Lampu sorot dari atas dimatikan, hanya cahaya yang muncul dari arah proyektor.
Jarum jam menunjukkan ke arah angka 2. Suara tepuk tangan terdengar dari para siswa. Ini pertanda bahwa film telah usai. Revan dan Fadhlan kembali ke depan memberikan aba-aba agar semua siswa berbaris di luar. "Ya, inilah momen yang ditunggu-tunggu", ucap seorang siswa sambil membentangkan posternya.
Konvoi mengelilingi rumah warga
Pada sesi terakhir ini, seluruh siswa bersiap-siap melakukan konvoi ke luar sekolah. Mengelilingi sepanjang Jalan Babakan Cerme di Desa Linggar dan menyusuri gang-gang yang melewati rumah-rumah warga. Satu per satu anak-anak keluar dari aula sambil membawa berbagai atribut laiknya massa yang akan berunjuk rasa. Tentu saja, kami sedang berunjuk rasa, kendati yang kami lakukan sebatas aksi secara damai.
Olkan kembali ke depan. Ia didapuk untuk mengatur massa aksi yang akan berkonvoi. Olkan memegang mikrofon lalu dihadapkan ke mulut untuk membangkitkan ghirah siswa lainnya dengan berjalan sambil membentangkan poster dan bendera Palestina.
“Free, free Palestine! Free,free Palestine!”, seluruh massa aksi berteriak secara serentak. Beberapa saat kemudian salah seorang siswa mengambil mikrofon dan menyanyikan lagu Bandung Lautan Api. Aba-aba ini lalu diikuti oleh semua siswa. Warga yang menyaksikan ada juga yang ikut terbawa suasana. Seketika menjadi riuh, sehingga membuat jalanan tersendat.
Hari itu terik panas matahari cukup menyengat, tampak raut muka yang lelah dari para siswa. Setibanya di halaman sekolah suara azan mengumandang sekaligus menandakan jam mengarah pada angka 3. Sekilas, kegiatan ini tampak bernuansa seremonial, tetapi sungguh, saya sangat senang anak-anak bisa mengungkapkan seluruh pikiran yang ada di kepalanya. Demikianlah cara lain saya mengajarkan sejarah kepada mereka. Sebab, sekali lagi, ini bukan saja soal narasi masa lalu, namun berkaitan juga dengan isu-isu yang menjelma sebagai penjajahan di masa kini.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan menarik lain Hafidz Azhar, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru