CERITA GURU: Murid Merdeka Belajar, Guru Belajar (untuk) Merdeka
Tulisan ini merupakan refleksi atas pelaksanaan Kurikulum Merdeka dalam momentum bulan bahasa. Keresahan guru Bahasa Sunda menghadapi transisi pemerintahan baru.
Faza Fauzan Azhima
Seorang guru honorer dan penikmat kebudayaan. Memiliki ketertarikan pada musik (khususnya musik tradisional), seni pertunjukan, dan kearifan lokal.
30 Oktober 2024
BandungBergerak.id – Merdeka Belajar merupakan sebuah inti dari Kurikulum Merdeka. Kurikulum Merdeka mulai disosialisasikan kepada berbagai elemen di dunia pendidikan pada 2022, termasuk pelatihan kepada guru-guru untuk mengimplementasikan Kurikulum Merdeka di masing-masing satuan pendidikan. Pada tahun yang sama, Kurikulum Merdeka secara bertahap mulai diterapkan oleh sekolah-sekolah pada jenjang dasar hingga menengah. Saat ini hampir semua sekolah menerapkan Kurikulum Merdeka sebagai perangkat panduan untuk guru-guru di kelas dalam kegiatan belajar mengajar.
Saya sebagai guru mata pelajaran bahasa Sunda, ingin berbagi pengalaman dalam proses penerapan Kurikulum Merdeka tersebut. Tulisan ini merupakan refleksi dari momentum bulan bahasa serta kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pemangku kebijakan yang bertanggung jawab atas Kurikulum Merdeka, Rekomendasi Kongres Bahasa Indonesia XII, dan menyongsong Kementerian Pendidikan baru.
Baca Juga: CERITA GURU: Guru, Peserta Didik, dan Pihak Ketiga
CERITA GURU: Mempertanyakan Minat Baca Guru
CERITA GURU: (Masih) Menyoal Membaca
Ironi Kurikulum Merdeka
Pada kegiatan pelatihan Implementasi Kurikulum Merdeka pada 2022, awalnya saya merasa kurikulum ini dapat memudahkan guru terutama dalam hal administratif. Sesuai dengan konsep yang disosialisasikan pada saat itu yakni dalam proses pembelajaran guru memiliki keleluasaan untuk memilih berbagai perangkat pembelajaran sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan belajar dan minat peserta didik.
Rencana Perangkat Pembelajaran (RPP), atau dalam istilah Kurikulum Merdeka “modul ajar”, bisa dibuat dengan sederhana. Namun seiring dengan pengembangan dan penyempurnaan kurikulum merdeka ini, banyak hal-hal yang menyulitkan bagi guru secara administrasi. Modul ajar tidak sebebas ketika awal disosialisasikan, justru sekarang dalam redaksi modul ajar saja harus memuat kata-kata spesifik seperti “pembelajaran berdiferensiasi”, “disiplin positif”, dan lain-lain yang justru hanya bersifat redaksional. Perangkat pembelajaran tersebut kemudian harus diunggah di Platform Merdeka Mengajar (PMM).
PMM adalah sebuah aplikasi penunjang bagi guru dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka. Alih-alih menunjang, PMM ini justru membebani guru dengan tugas administratif yang rumit dan kaku. Pada setiap semester, guru harus mengunggah perencanaan kegiatan sampai tahap praktik kinerja yang pada akhirnya akan menentukan predikat kinerja guru. Salah satu tahapan dari kegiatan tersebut adalah mengunggah sertifikat hasil pelatihan atau lokakarya. Tak sedikit kemudian undangan “pelatihan-pelatihan bersertifikat” berseliweran di grup Whatsapp. Tak sedikit pula pelatihan tersebut hanya demi untuk menggugurkan kewajiban guru untuk mengunggah sertifikat pelatihan, hanya formalitas.
Pada Kurikulum Merdeka terdapat kegiatan untuk menguatkan pencapaian Profil Pelajar Pancasila yang dikemas dalam Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila atau biasa disebut P5. Tujuan dari P5 itu sendiri adalah mengeksplorasi ilmu pengetahuan, mengembangkan keterampilan, serta menguatkan pengembangan enam dimensi profil pelajar Pancasila dan mempelajari secara mendalam tema-tema atau isu penting untuk kemudian melakukan aksi nyata sebagai respons terhadap isu-isu tersebut sesuai dengan perkembangan dan tahapan merdeka belajar. Pada praktiknya kegiatan P5 tidak mengarah kepada esensi namun lebih kepada selebrasi.
Kurikulum yang memilih diksi “merdeka” merupakan sebuah ironi karena dalam praktiknya banyak yang cenderung mengekang. Misalnya kebijakan sistem zonasi yang masih diadopsi oleh Kemendikbud yang menerapkan Merdeka Belajar. Sistem zonasi sebenarnya mulai digunakan ketika zaman Mendikbud Muhadjir Effendy masa jabatan 2016-2019, namun ironisnya sistem tersebut masih digunakan oleh Mendikbud selanjutnya Nadiem Makarim untuk penerimaan peserta didik baru. Tujuan sistem zonasi adalah pemerataan pendidikan namun hal itu tidak diikuti dengan fasilitas dan infrastruktur yang mendukung. Kebijakan sistem pendidikan yang diterapkan tidak diikuti dengan kelayakan infrastruktur, birokrasi, pemerataan guru di sekolah, dan pemahaman masyarakat. Pada akhirnya sistem zonasi sangat tidak efektif untuk diterapkan saat ini, pemerataan yang diharapkan tidak terjadi justru yang terjadi adalah praktik “donasi” untuk bisa mendapatkan kursi sekolah.
Guru Bahasa Sunda Kota Bandung
Tentang pemerataan guru yang juga sangat memengaruhi sistem pendidikan, formasi PPPK untuk Guru Bahasa Sunda di kota Bandung pada tahun ini tidak dibuka. Sementara di Kabupaten Bandung saja, formasi PPPK guru bahasa Sunda dibuka. Padahal masih banyak guru honorer Bahasa Sunda yang mengajar di sekolah negeri kota Bandung. Beberapa sekolah juga kekurangan guru bahasa Sunda. Bahkan di beberapa sekolah, mata pelajaran Bahasa Sunda diampu oleh guru mata pelajaran lain. Lebih mengkhawatirkan lagi, subjek mata pelajaran Bahasa Sunda pada formasi PPPK hanya menjadi bagian dari Seni Budaya. Dengan kebijakan tersebut guru PPPK Seni Budaya bisa mengampu mata pelajaran Bahasa Sunda dan begitu juga sebaliknya.
Bahasa Sunda dalam dunia pendidikan sepertinya masih dianggap sebelah mata. Padahal salah satu Rekomendasi Kongres Bahasa Indonesia XII pada 2023 lalu adalah meliputi bahasa dan sastra daerah. Rekomendasi tersebut adalah penetapan undang-undang bahasa daerah untuk menjamin pewarisan dan pelestarian bahasa dan sastra daerah melalui jalur pendidikan formal, non formal, dan informal, dan ditetapkannya rencana induk dan peta jalan pewarisan dan pelestarian bahasa dan sastra daerah secara menyeluruh dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dan menguatkan kemitraan komunitas dan pegiat pelindungan bahasa dan sastra daerah supaya berkembang lebih sehat dan berdaya guna untuk menghasilkan karya bernilai tinggi. Seharusnya dengan adanya rekomendasi Kongres Bahasa dan peraturan daerah yang mewajibkan pelestarian bahasa daerah, guru bahasa Sunda bisa mendapat perhatian lebih baik.
Merdeka Belajar berfokus kepada student wellbeing, tanpa memperhatikan kesejahteraan guru. Guru dibebankan masalah administrasi yang memberatkan, tanpa diberi kesempatan untuk berkembang dan lebih sejahtera. Guru honorer di kota Bandung masih ada yang diupah dengan sangat tidak layak. Apakah konsep student wellbeing bisa tercapai jika kesejahteraan gurunya pun tidak diperhatikan? Saya rasa semua sepakat untuk berkata: Tidak!
Realita di lapangan output peserta didik pun menurun dengan ditemukan sejumlah kasus di antaranya peserta didik menengah membaca saja masih mengeja, dan menghitung operasi matematika sederhana juga belum bisa. Di beberapa kelas yang saya ajar misal hampir sebagian besar peserta didik masih kebingungan membedakan antara kata dan huruf. Mengklasifikasi huruf konsonan dan huruf vokal pun kadang masih kebingungan.
Bandung adalah kota yang multikultural. Karakter peserta didik yang nyunda, nyakola, nyantri, nyantika perlu ditanamkan. Mempertahankan karakter bisa dimulai dari mempelajari bahasa daerah seperti kata semboyan “bahasa menunjukan bangsa” atau dalam bahasa Sunda “basa téh ciciren bangsa”. Guru bahasa Sunda sangat bisa berperan penting dalam menanamkan karakter dan nilai-nilai kesundaan kepada peserta didik dengan basis etnopedagogi.
Tahun ini merupakan transisi pemerintahan baru, sudah ada pernyataan dari pemangku kebijakan yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, bahwa akan dilakukan pengembangan pelayanan pendidikan yang bermutu. Sesuai dengan tradisi setiap pergantian kabinet, Kurikulum Merdeka kemungkinan besar akan mengalami “penyempurnaan” kembali. Hanya saja setiap pergantian pemerintahan yang baru, guru bahasa Sunda selalu diliputi keresahan tentang eksistensinya dalam dunia pendidikan Indonesia. Lantas bagaimanakah nasib guru, guru honorer, dan khususnya guru Bahasa Sunda sebagai salah satu pemangku kepentingan dalam pelestarian bahasa Sunda kota Bandung di bawah naungan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah yang baru?
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang Cerita Guru