CERITA GURU: Belajar Bersama Pramoedya Ananta Toer dan Ajip Rosidi
Kami sedang belajar bersama Pram dan Ajip. Meski jasadnya tidak hadir, suara mereka seolah terdengar dengan jelas lewat dua buku yang sedang dibicarakan.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
12 Februari 2025
BandungBergerak.id – Bulan ini bulannya Pramoedya Ananta Toer (Pram). Sebab, ia dibicarakan di mana-mana. Di kota, di desa, di toko buku, di komunitas, di kedai, tidak terkecuali di sekolah tempat saya mengajar. Pram dibicarakan karena dia orang hebat. Ia hebat karena ia menulis dan melawan, terus melawan dengan pena dan menghasilkan banyak karya. Sudah ratusan ia hasilkan. Ada roman, cerita pendek, esai, sejarah dan memoar. Malah semasa hidupnya, Pram sempat dicalonkan sebagai nominasi peraih Nobel Sastra.
Jangan lupakan Ajip Rosidi. Ia juga orang hebat. Januari silam Ajip diperingati, bertepatan dengan pemberian Hadiah Sastra Rancagé. Karyanya banyak. Tidak hanya fiksi, ia menulis sejarah, biografi, otobiografi, kajian budaya, terutama soal bahasa dan sastra Sunda. Sampai kini tulisan Ajip tentang budaya Sunda masih menjadi pembicaraan yang menarik di kalangan pengkaji Kesundaan. Karyanya kerap dijadikan rujukan atau menjadi bahan penelitian terkait bahasa, sastra dan karakteristik orang Sunda.
Pram sendiri lahir pada 6 Februari 1925. Ia wafat pada 30 April 2006. Sedangkan Ajip lahir pada 31 Januari 1935 dan wafat di tengah wabah Covid-19 pada 29 Juli 2020. Selama hidupnya, kedua sosok ini memiliki hubungan pertemanan yang cukup baik. Sebut saja, misalnya, saat Pram menikah, Ajip menjadi salah seorang saksi pada pernikahannya yang kedua. Lalu, ketika Pram tidak memiliki uang, ia datang ke rumah Ajip untuk meminta beras. Kisah ini direkam secara jelas dalam Mengenang Hidup Orang Lain (2010).
Betapa pun itu saya membayangkan, bahwa Pram dan Ajip masih hidup di tengah-tengah kita. Tentu saja, bukunya masih dibaca orang. Dengan kata lain Pram dan Ajip tidak sepenuhnya menghilang. Yang mati hanya jasadnya, karyanya akan terus hidup selama dibaca orang.
Baca Juga: CERITA GURU: Sebab Belajar Sejarah bukan saja Soal Narasi Masa Lalu
CERITA GURU: Maafkan jika Belum Optimal
CERITA GURU: Belajar Asal Usul dan Proses Melalui Proyek Membuat Mi Sehat
Belajar Bersama
Saat perayaan Seabad Pram terus berdengung di lini massa, saya menjadikan momen ini untuk mengenalkan kembali Pram di sekolah. Pun demikian dengan Ajip. Belum genap dua minggu sejak pemberian Hadiah Sastra Rancagé, saya memutuskan untuk membawa Ajip ke sekolah.
Memang bukan rahasia umum, banyak pelajar yang belum mengenal nama Pramoedya dan Ajip, termasuk para pelajar PPI 24 Rancaekek. Hal ini membuat saya terpantik untuk melakukan penelusuran, siapa saja yang pernah bersinggungan dengan dua tokoh besar itu. Alhasil bisa dihitung, hanya empat-lima orang mengenal Pram dari novel, sementara beberapa orang mengaku sempat mendengar nama Ajip Rosidi tetapi tidak pernah membaca karyanya.
Diskusi Pram dan Ajip baru pertama kali digelar di PPI 24 Rancaekek. Bersamaan dengan jam pelajaran sejarah pada Sabtu pagi 8 Februari 2025, saya memanfaatkan kegiatan ini di luar, di area lapangan hijau yang dikelilingi pohon dan rumput ilalang. Dari sekolah lokasi ini bisa ditempuh sekitar 500 meter.
Karya Pram berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2006), menjadi buku pilihan. Buku itu diuraikan oleh Ifkar Azkia Rachman dari kelas 12 IPS. Sementara karya Ajip berjudul Di Tengah Keluarga (2003) menjadi pilihan dan diulas dengan panjang lebar oleh Hafizah Hanin.
Diskusi berlangsung dengan santai. Pukul 10.40 WIB anak-anak sudah khusyuk menyimak pemaparan kedua pembahas itu. Sepintas saya melihat Pram dan Ajip ikut serta dalam diskusi ini. Keduanya menjelma menjadi lembaran tulisan dan menyodorkan kisah-kisah masa lalu dengan gaya yang berlainan. Tentu saja, kami sedang belajar bersama Pram dan Ajip. Meski jasadnya tidak hadir, suara Pram dan Ajip seolah terdengar dengan jelas lewat dua buku yang sedang dibicarakan.
Buku tersebut secara umum berkaitan dengan sejarah. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, menghimpun data-data penting ihwal pembangunan Jalan Raya Pos dari Anyer hingga Panarukan. Ini terjadi pada masa Gubernur Jenderal Marsekal Herman Willem Daendels (1762-1818). Daendels sendiri terkenal sebagai si Tangan Besi. Sebagai bukti proses pembangunan Jalan Raya Pos banyak menewaskan ribuan orang dari rakyat bumiputra. Menurut Pram jumlah rakyat bumiputra yang tewas sebanyak 12.000. Data ini merujuk pada sumber dari Inggris, bahkan Pram menduga lebih banyak lagi karena tidak ada penelitian yang spesifik menyebut angka korban jiwa dari pihak Bumiputera.
Berbeda dengan karya Pram, Di Tengah Keluarga menghimpun sembilan cerita pendek yang terdiri dari dua bab. Meski kumpulan cerita, buku ini menggambarkan masa kecil Ajip hingga beranjak remaja. Selain itu buku ini pun memuat latar Jatiwangi pada dekade 1950-an, dan memotret perubahan sosial yang Ajip sebut sebagai kawasan Jalan Raya Pos Daendels. Sebut saja, misalnya, pada Jati tak Berbunga Lagi, Ajip menjelaskan sebuah kota bernama Jatiwangi. Menurut Ajip, “Kota itu kecil saja, Cuma sebuah kota kewedanaan. Terletak di Jalan Raya Daendels Cirebon-Bandung. Sembilan puluh dua kilo meter di sebelah timur Bandung. Tiga puluh delapan di sebelah barat Cirebon”.
Tidak hanya itu, Ajip mengaku bahwa Jatiwangi sebagai tanah kelahirannya. Ia menulis, “Betapa pun itu, Jatiwangi sebagai kota kelahiranku. Suatu kebetulan yang takkan terlupakan. Dan tak ada yang lebih menarik pada Jatiwangi dibandingkan dengan kota-kota lain semacamnya.”
Ditutup dengan Puisi
Asep Tauhidin memandu acara ini. Ada juga Tuhfah Inayatul yang membacakan puisi Mata Luka Sengkon Karta. Dengan lantang suara Inay saling mendahului kicauan burung dan desir angin. Lalu usai bait terakhir dibacakan, Inay disambut oleh tepuk tangan yang begitu meriah.
Acara diskusi ini berakhir pada 13.30. Matahari kian memanas, lalu kami pun kembali ke sekolah.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan menarik lain Hafidz Azhar, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru