CERITA GURU: Menilik (Kembali) Wacana Pengurangan Mata Pelajaran Sejarah
Guru sejarah menjadi pemandu para siswa mengarungi ke dalam tiga zaman: koreksi masa lalu, relevansi masa sekarang, dan membuat rencana matang untuk masa depan.

Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
26 Februari 2025
BandungBergerak.id – Ada hantu berkeliaran di Indonesia –hantu mata pelajaran (mapel) sejarah. Sejumlah kekuatan telah berhimpun ke dalam satu persekutuan suci untuk berupaya mengusir hantu ini. Padahal, jika ditilik dengan perspektif agak positif, begitu banyak kegunaan yang bisa didapat dari hantu ini. Salah satunya bisa membebaskan kita sebagai jelata untuk lepas dari ikatan lama: politik massa-mengambang.
Peristiwa itu masih relatif baru. Kira-kira empat atau lima tahun lalu, usaha percobaan memukul pertama kali tiba-tiba muncul tepat pada saat wabah pandemi. Sejumlah pengajar sejarah di Indonesia mendapat kabar yang cukup mengejutkan. Kala itu beredar wacana soal ketidakwajiban pelajar di tingkat SMA/sederajat untuk mengambil mata pelajaran sejarah. Ia ibarat hantu yang biasa muncul di dalam satu program di televisi, dan layak diusir paranormal dari kediamannya selama ini.
Sungguh disayangkan, terutama jika mengingat mata pelajaran sejarah yang sebetulnya mampu dipergunakan untuk memantik kesadaran; punya arti penting dalam upaya merawat memori kolektif; bisa melatih daya kritis, sebagaimana dipertegas studi Robert Phillip dengan judul Reflective Teaching of History (2003), yang menyebutkan bahwa pembelajaran sejarah punya arti penting bagi masyarakat.
Pasalnya, menurut Rob, belajar sejarah adalah belajar tentang manusia dan segala aspek kehidupan yang melingkupinya. Dari situ kemudian tumbuh kesadaran tentang hakikat budaya dan dinamika peradaban. Syukurnya, wacana pengurangan mapel sejarah tersebut diiringi pemberitaan yang sekaligus menjadi viral, dan memantik keriuhan di media sosial, dan memicu sejumlah tanggapan dari berbagai elemen masyarakat.
Banyak pihak yang tidak setuju dengan dihapusnya sebagian yang tercantum di dalam mata pelajaran sejarah tersebut. Salah satunya adalah Peter Carey, seorang ahli yang dengan penuh ketekunan menelusuri riwayat Pangeran Diponegoro. Dalam uraiannya kemudian, beliau memberi penjelasan bahwa, keberatan publik ini sebenarnya agak mengejutkan di tengah masifnya ketidakpedulian para elite dan sebagian orang terhadap (persoalan) sejarah mereka sendiri. Di sisi lain, ini juga menjelaskan betapa banyak orang Indonesia yang menaruh harapan dan perhatian kepada sejarah.
"Tugas generasi muda adalah mengambil tindakan agar jangan sampai hal ini terjadi," katanya, merespons polemik penyederhanaan kurikulum, yang salah satu poinnya memangkas materi yang ada dalam mata pelajaran sejarah, seperti terangkum dari esainya yang dimuat oleh Tirto.ID, disitat pada Sabtu, 1 Februari 2025.
"Tugas generasi tua yang sekarang memegang posisi-posisi kepemimpinan adalah menyediakan sumber daya agar sejarah memiliki tempat terhormat dalam kehidupan bangsa."
Seiring waktu, wacana tersebut kemudian dibantah oleh Mas Menteri (Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi kala itu) yang lantas memastikan bahwa tak akan ada realisasi untuk menghapus mata pelajaran sejarah dalam kurikulum merdeka yang pada saat itu sedang disiapkan. Seturut pengakuannya, beliau hanya ingin menjadikan mata pelajaran sejarah menjadi suatu hal yang relevan untuk generasi muda, dengan menggunakan pendekatan menarik. Yang teranyar, berdasarkan keputusan Nomor 032/H/KR/2024, muncul mata pelajaran sejarah tingkat lanjut yang sebetulnya secara esensial sama saja dengan materi yang beberapa waktu lalu berupaya dilindungi dari wacana penghapusan: sejarah peminatan.
Baca Juga: CERITA GURU: Maafkan jika Belum Optimal
CERITA GURU: Belajar Bersama Pramoedya Ananta Toer dan Ajip Rosidi
CERITA GURU: Nasib Study Tour, antara Rekreasi dan Tujuan Pendidikan
Tidak lebih Penting dari Odading
Pada waktu yang kurang lebih berdekatan, muncul kehebohan soal kuliner khas Bandung, Odading dan Cakue, buatan Mang Oleh (konon bernama lengkap Sholeh) yang kala itu juga sempat ramai diperbincangkan. Dalam beberapa video yang viral di media sosial, dengan gaya eksentrik, ia berkelakar bahwa dengan mengonsumsi odading buatannya itu, maka mampu merasa sebagai Iron Man. Berbagai tanggapan atas tingkah lakunya yang nyeleneh pun bermunculan.
Antrean pembelinya mendadak panjang, dan mendapat kesan positif sekaligus negatif dari berbagai kalangan. Buat saya, kemunculan dua momen yang berdekatan itu menghadirkan satu kesimpulan sementara, bahwa pihak yang mampu merasakan sensasi menjadi Iron Man (dalam tanda petik) selain konsumen odading adalah guru honorer, wabilkhusus sejarah. Ada sejumlah alasan tentu saja.
Pertama, merekalah yang langsung merasakan berbagai kemuraman. Pada tataran akar rumput, mereka juga pihak yang merasakan urgensi memahami sejarah dengan baik sebab bersentuhan dengan generasi penerus (terbukti masih ada yang meyakini Hitler benar telah melakukan praktik pembantaian terhadap yang liyan, dan ia kemudian lari ke Garut!). Belum lagi harus menghadapi polemik kecacatan historis yang biasa muncul menjelang akhir bulan ke sembilan.
Kedua, dalam derajat yang nyaris pasti, mereka nekat dan terus berupaya menghemat pemasukan yang –disadari bahwa rasanya edan banget– harus diterima di masa sulit seperti sekarang. Selain itu, guru sejarah yang bertugas di sekolah-sekolah daerah perlu memiliki metode khusus agar materi sejarah dapat tersampaikan dengan baik. Tujuannya tak lain dan tak bukan hanya untuk menguatkan pola pengajaran guru sejarah yang inovatif, menarik, kekinian, dan mampu menitipkan daya nalar kritis.
Itu sesuai dengan penjelasan yang telah dielaborasi lebih jauh oleh Alfred Leslie Rowse, yang mengatakan bahwa, tugas guru sejarah itu bukan hanya mengajar, tapi harus ajek menjadi teladan dengan berwawasan luas, agar bisa mengantarkan siswa ke dalam suatu zaman yang bergerak secara dinamis. Artinya, tatkala mengajar, para guru ini sebenarnya sedang menjadi pemandu para siswa, untuk mengarungi ke dalam tiga zaman: koreksi masa lalu, relevansi masa sekarang, dan membuat rencana matang untuk masa depan.
Meskipun banyak sisi gelap yang tidak akan pernah terungkap. Namun justru itu dapat menjadi celah buat insan pembelajar sejarah. Nahas, untuk tidak menggunakan terminologi sial karena terlalu bar-bar dalam menjelaskan ini semua: mungkin dianggap tidak lebih penting dari odading.
Sudah Jatuh Tertimpa Stigma
Di sisi lain, ketika masih jadi mahasiswa, guru sejarah juga dipaksa (dalam tanda petik) untuk turut arahan dosen yang mewajibkan peserta didiknya membaca ratusan bahkan ribuan halaman buku yang harus ditilik secara seksama. Selain itu, juga berupaya mengakses dokumen ilmiah yang dapat dijadikan sebagai referensi untuk menganalisis berbagai persoalan dunia: analisa kejayaan serta runtuhnya peradaban, analisa terhadap kelahiran revolusi industri, pengaruh kapitalisme dalam berbagai bidang kehidupan mulai dari pertanian hingga seni, panduan taktik dan ragam ideologi politik, dan segudang masalah yang lainnya.
Dalam konteks perekonomian, mereka juga diwajibkan mempelajari gejala yang memicu ancaman resesi selain akibat pandemi. Misalnya, mempelajari krisis di 1960, 1997, dan 2008. Itu semua belum termasuk kajian dari pengantar ilmu sosial lainnya, semisal antropologi, sosiologi, psikologi. Sungguh mengerikan bahkan untuk sekadar membayangkan.
Sialnya (atau untungnya, tergantung saudara berdiri di pihak yang mana, jika meminjam frasa Sajak Pertemuan Mahasiswa dari WS Rendra), kita tumbuh dan dibesarkan di jaman yang telah berubah sedemikian rupa; tidak sedikit yang beranggapan kuliah hanya untuk meningkatkan taraf ekonomi. Segala sesuatu ditakar melewati kalkulasi untung-rugi. Turunannya, mendasari pandangan –sekaligus stigma– bahwa sejarah adalah jurusan paria: sebuah kasta yang ada di tingkat paling rendah, serendah-rendahnya.
Memang sejarah sebagai bidang ilmu pengetahuan punya kecenderungan kurang praktis, terutama jika bertolak dari asumsi kehidupan serba cepat, dan karenanya sulit berkompromi sekadar untuk memenuhi beban fiskal, yang barangkali dirasa memberatkan. Namun, dalam konteks hari ini, andai saja para pemimpin di republik tekun mempelajari sejarah, mungkin ada banyak kesalahan yang bisa dihindari. Pertanyaannya, ma(mp)ukah memposisikan sejarah sebagai sumber hikmah?
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru